Banjir Lagi, Mengungsi Lagi...

Sumber:Kompas - 02 Februari 2009
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Seperti awal tahun 2008, pada awal 2009 kembali ribuan warga yang rumahnya terletak di pinggiran Bengawan Solo di eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, mengungsi ke tempat aman. Banjir menggenangi tempat tinggal mereka sejak Sabtu (31/1) dini hari.

“Semalam waktu hujan terus turun, kami memang sudah waswas. Apalagi melihat air sungai mulai naik. Makin malam, air makin naik. Untung kami segera memindahkan barang-barang di tanggul ini. Kalau tidak, hanyut seperti tahun lalu,” papar Sirep (30), warga Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.

Saat ditemui, Sabtu petang, Sirep berada di tenda darurat yang dibangun sendiri di atas tanggul sekitar 20 meter dari tepi Bengawan Solo, tak jauh dari rumahnya. Sirep berharap hujan tidak turun lagi dan menggenangi rumah agar ia dan keluarganya bisa mengembalikan barang dari tanggul.

Melihat hujan masih turun, Sirep belum berani mengembalikan barang-barang ke rumah, tempatnya tinggal bersama neneknya, Aryo Tumiyen (85), dan sepupunya, Yuli (17).

”Saat banjir datang, kami mengangkat sendiri barang-barang karena semua sibuk sendiri,” kata Yuli seraya membantu kakaknya membuka sebuah tenda pinjaman untuk menutupi beberapa barang.

Demi keselamatan, nenek yang sudah lanjut usia diungsikan ke rumah tetangga yang tak jauh dari tanggul. Sirep dan Yuli memilih tinggal di tenda darurat bersama ratusan keluarga lain.

Hingga Sabtu petang, Sirep dan Yuli bersama ribuan warga yang tinggal di pinggir Bengawan Solo, baik yang masuk wilayah Sukoharjo maupun Kota Solo, tinggal di tenda darurat.

Sejumlah ibu bersama anak-anak mereka tampak kelelahan. Pakaian yang dikenakan belum berganti. Beruntung sejak pagi mereka sudah menerima bantuan makanan dari posko.

”Saya keluar dari rumah sekitar jam 02.00 pagi, air waktu itu sudah sampai di paha. Kepala agak pusing,” ujar Ny Suwarni (42) sambil memeluk putra bungsunya, Rahmat (6), yang tiduran di tikar kecil.

Suwarni dan pengungsi lain belum berani pulang ke rumah yang kini ditunggui suami dan anak laki-laki mereka.

Industri batik

Banjir juga membuat Raminah mondar-mandir keluar masuk rumahnya yang tampak berantakan, Minggu. Kain dan baju yang dimasukkan ke karung ditumpuk di atas meja, bufet, dan lemari.

Sebagian sudah dibuka, tetapi belum sempat dirapikan. Jok-jok kursi yang basah dijemur di depan teras rumah. Lantai rumahnya belum kering benar. Air terus muncul dari sela-sela ubin keramik yang retak.

Lumpur masih menghias pekarangan rumahnya di Dusun Pilang, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, yang berjarak 50 meter dari Bengawan Solo. Saat itu, air sungai berwarna kecoklatan dan mengalir deras meski ketinggiannya sudah surut.

Dengan nada gemas, ia lantas menunjukkan tumpukan kertas-kertas bergambar motif batik yang rusak akibat terendam banjir. Kertas-kertas itu lupa ia selamatkan karena keburu mengungsi melihat air sudah makin tinggi memasuki rumah.

”Waktu itu listrik juga padam. Saya hanya sempat memindahkan kain batik ke atas lemari dan mengurusi anak-anak. Saya lupa memindahkan kertas motif itu,” kata Raminah, pemilik usaha Batik Putri Lestari.

Ia mempunyai 500-an kertas gambar motif batik yang dibelinya Rp 20.000 per buah. Raminah khawatir tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan jika suatu saat memesan kain batik dengan motif yang kertas gambarnya sudah hancur.

Selain itu, Raminah juga kehilangan peralatan membatik, seperti canting, kompor, gawangan, dan kursi rendah yang hanyut terbawa banjir. Tahun lalu kerugiannya akibat banjir tidak sebesar tahun ini.

”Tahun lalu, semua bisa diselamatkan. Hanya kain yang sudah dibatik, lilinnya pecah-pecah. Banjir tahun ini lebih besar dari tahun lalu. Sebenarnya setelah banjir lalu sudah dibangun tanggul, tapi ternyata sekarang air melampaui tanggul,” kata Raminah yang rumahnya kebanjiran setinggi dada orang dewasa.

Raminah dan keluarganya berani kembali ke rumah pada Minggu pagi.

Suwandi, pemilik usaha Batik Cita, juga kehilangan puluhan botol obat batik. Mesin pengaduk obat batiknya juga rusak karena terendam banjir setinggi 75 sentimeter.

Suwandi yang sehari bisa menghasilkan 100 potong kain batik juga harus merelakan proses produksi terhenti karena pekerjanya yang juga kebanjiran belum masuk kerja. Ia merugi jutaan rupiah. ”Perajin batik di kampung batik Pilang kebanyakan terkena banjir,” katanya.

Sementara Siti Alfiah (35) tidak bisa membatik dua hari karena rumahnya kebanjiran. Alfiah yang membatik dengan canting, mendapat upah Rp 60.000 per potong kain yang diselesaikannya 4-6 hari. ”Banjir sekarang tidak mendapat bantuan sama sekali. Kalau dulu masih ada bantuan, dua bungkus mi instan,” katanya.

Banjir pada awal 2009 ini di Solo menggenangi rumah sekitar 11.286 keluarga di lima kecamatan, yakni Jebres (4.140 keluarga), Banjarsari (650 keluarga), Laweyan (869 keluarga), Pasar Kliwon (4.241 keluarga), dan Serengan (1.386 keluarga).

Di Sukoharjo banjir menggenangi 4.130 keluarga di Kecamatan Gatak (536 keluarga), Polokarto (164 keluarga), Grogol (2.250 keluarga), Mojolaban (1.087 keluarga), dan Kartasura (93 keluarga). Sonya Helen S dan Sri Rejeki



Post Date : 02 Februari 2009