Banjir Kepung Kota-kota Kita

Sumber:Kompas - 11 November 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Banjir telah menjadi satu titik yang hendak dituju oleh kota-kota kita di daerah, dengan Jakarta sebagai "pemimpinnya". Saat ini hampir semua kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi dihantui banjir. Penyebabnya memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan pada ketidaksigapan kita menata lingkungan.

amis (8/11), Sungai Mempawah meluap di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hulu, Pontianak, Kalimantan Barat. Sedikitnya 80 keluarga diungsikan. Bulan sebelumnya, lebih dari 1.000 rumah warga di Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, terendam air setinggi 1,5-2 meter. Kerusakan hutan di kawasan hulu sungai-sungai di Kalimantan Barat menjadi penyebab banjir yang melanda kawasan ini.

Di Jawa Tengah, hujan deras yang mengguyur pada Rabu lalu telah menyebabkan bencana banjir dan longsor di sejumlah desa di Kecamatan Ayah, Kebumen. Lebih dari 100 rumah dilaporkan rusak.

Banjarmasin, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, selalu menjadi langganan banjir. Peristiwa terakhir, banjir melanda kawasan ini pada akhir Juli lalu. Harap dicatat, peristiwa itu adalah yang ketiga kalinya dalam dua bulan terakhir. Banjir akibat hujan yang turun dalam tiga hari merendam 300-an rumah di Desa Jilapatan dan Asam-asam. Tidak ada korban jiwa, tetapi ratusan warga terpaksa mengungsi.

Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalsel menilai, enam dari 12 daerah aliran sungai pada empat kabupaten di provinsi itu dalam keadaan sangat kritis. Kondisi itu diakibatkan hilangnya sebagian besar hutan yang berfungsi sebagai penyangga dan kawasan penyimpan air bagi sungai. Kini, keenam sungai tersebut mengalami pendangkalan yang cukup serius. Keenam daerah aliran sungai (DAS) itu kerap kekeringan pada musim kemarau dan tak bisa menampung luapan air saat musim hujan.

Di Medan, banjir bisa dipastikan terjadi tiap tahun. Rabu (19/9) dini hari, banjir akibat luapan Sungai Deli sedikitnya telah merendam ratusan rumah di enam kelurahan. Ketinggian air mencapai dua meter. Humas Pemerintah Kota Medan, Arlan Nasution, mengatakan, banjir di Medan susah diatasi karena sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. "Kami hanya bisa antisipasi kemungkinan jatuhnya korban," katanya.

Di sisi lain, pemerintah dinilai membiarkan kerusakan DAS Deli, khususnya di Kota Medan. Akibatnya, banjir semakin besar dan sering terjadi di beberapa daerah yang memang menjadi langganan banjir.

Wilayah "endemis"

Fakta di atas hanya sebagian kecil dari bencana banjir yang sempat muncul di media massa. Masing-masing desa dan kota punya catatan panjang, terutama terkait derita yang harus dipikul warganya di balik genangan air yang merendam wilayah hunian mereka. Kota Semarang adalah salah satunya.

Beruntung Kota Semarang memiliki orang seperti Jongkie Tio. Pemilik Restoran Semarang itu dikenal memiliki koleksi foto-foto lama Kota Semarang. Salah satunya yang dimuat dalam bukunya Kota Semarang dalam Kenangan (tanpa tahun terbitan). Dalam foto hitam putih tahun 1920 itu tampak jelas Stasiun Tawang di kawasan Semarang Utara itu kebanjiran. Riak-riak genangan air di halaman stasiun yang berdiri tahun 1914 itu membuat halaman stasiun seperti lautan.

Sekarang, 87 tahun kemudian, stasiun itu masih tergenang saat musim hujan. Saat awal hujan deras yang berlangsung antara satu hingga dua jam, Kamis (1/11) malam, halaman luar dan teras dalam stasiun kembali tergenang air. Pengelola stasiun sampai membuat "jembatan" darurat dari kayu untuk membantu penumpang naik ke kereta api.

Hingga Kamis siang, sejumlah wilayah "endemis" banjir masih tergenang walaupun matahari bersinar terik. Sebutlah seperti daerah di Jalan Ronggowarsito yang menuju Pelabuhan Tanjung Emas, atau di sekitar rel Jalan Raya Kaligawe. Padahal, kedua lokasi itu merupakan daerah vital. Akses menuju Pelabuhan Tanjung Emas untuk arus penumpang dan perdagangan barang ekspor impor praktis terhenti. Jalan Raya Kaligawe adalah akses utama jalur pantai utara Jawa Tengah.

Salah satu kawasan industri di Kota Semarang, Lingkungan Industri Kecil (LIK) Bugangan, juga kebanjiran. Beberapa perusahaan terpaksa harus bekerja di atas genangan air.

Bengkel BJ di Blok X, LIK Bugangan, air yang sudah semata kaki dirasa mengganggu usaha mereka. Sejak Jumat, belum ada satu pun pelanggan yang datang mereparasikan mobilnya. Dalam kondisi normal, paling tidak setiap hari ada 6-12 mobil yang diperbaiki.

"Jalan masuk saja sudah tergenang air, mana ada pelanggan yang mau masuk ke sini," kata Andi Susanto, pemilik Bengkel BJ.

Seusai hujan deras yang mengguyur Kota Semarang pada Kamis malam lalu, jalan-jalan dan permukiman di 12 kelurahan pada enam kecamatandari 16 kecamatan di Kota Semarangtercatat terendam air. Bahkan, Kecamatan Semarang Tengah yang terkenal dengan kawasan "Simpang Lima"-nya juga digenangi air setinggi 30-70 sentimeter. Puluhan pengendara sepeda motor terpaksa menuntun tunggangan mereka dan pengendara mobil terpaksa membayar orang untuk mendorong mobilnya.

Kepala Subdinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang Fauzi berpendapat, banjir di Kota Semarang beberapa hari terakhir ini bukan karena luapan sungai. Banjir itu disebabkan mampatnya saluran-saluran di perkotaan karena sampah dan endapan lumpur.

"Kali Semarang sebagai pusat buangan air dari saluran-saluran tengah kota tidak meluap, bahkan tidak berada di titik tertinggi tanggul. Hal itu membuktikan saluran-saluran tersumbat sampah," kata dia.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan Kota Semarang, produksi sampah di Kota Semarang saat ini 4.651 meter kubik. Hal itu diperparah dengan jumlah sampah yang tidak terangkut.

Tahun 2005, Dinas Kebersihan Kota Semarang tidak mampu mengangkut sekitar 1.500 meter kubik sampah per hari. Apabila satu truk kontainer berisi 10 meter kubik, berarti sampah yang tidak terangkut ada 150 truk per hari.

Pada 2007, sampah yang tidak terangkut melonjak dua kali lipat menjadi 3.000 meter kubik. Hal itu menunjukkan sampah yang tidak terangkut ada 300 truk per hari. Beberapa sampah yang tidak terangkut itu diperkirakan tersebar di tempat buangan liar dan saluran-saluran di permukiman.

Banjir struktural

Pada umumnya, banjir itu disebabkan masalah struktural. Struktur Kota Semarang yang terdiri atas 60 persen kawasan perbukitan dan 40 persen daerah dataran rendah membuat kota ini memang hidup dengan banjir, terutama di Semarang bawah.

Secara struktural, kota ini juga dilalui 32 sungai yang setiap saat dapat meluap. Dua banjir kanal yang dibuat pada abad ke-19 oleh pemerintahan Hindia Belanda, yakni Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat, semakin tidak mampu menampung air karena sedimen yang dibiarkan menumpuk.

Ada dua masalah lagi yang melengkapinya, yakni penurunan tanah di Kota Semarang yang mencapai 1-20 sentimeter setiap tahun dan naiknya permukaan air laut 3-11 milimeter per tahun. Oleh karena itu, tak heran di Semarang dikenal istilah rob, yang mungkin kurang dikenal di luar Kota Semarang, yakni limpasan air laut ke daratan.

Ringkasnya, kata Robert J Kodoatieahli hidrologi dari Universitas Diponegorobanjir di Kota Semarang tidak sekadar disebabkan sampah dan endapan lumpur. Banjir itu disebabkan juga perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi permukiman, penurunan tanah, pengambilan air tanah, dan pengurukan daerah tambak.

Untuk menangani banjir di Kota Semarang, lanjut Robert, Pemerintah Kota Semarang dapat menerapkan dua cara, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi sangat cocok diterapkan di kawasan Semarang bagian utara yang membentang dari Banjir Kanal Barat hingga Banjir Kanal Timur.

"Adaptasi berarti mau menerima kenyataan bahwa kawasan itu selalu banjir. Masyarakat di kawasan itu tidak dapat lepas dari banjir, tetapi harus hidup bersama banjir," katanya.

Salah satu sistem adaptasi yang dapat diterapkan adalah konsep water front city. Konsep tersebut menghendaki masyarakat membuat rumah panggung dengan kondisi air di sekeliling mereka bersih.

Untuk menerapkan konsep ini, Pemkot Semarang perlu menyosialisasikan dan menjadi pemain utama penerapan konsep itu. Pemerintah dapat mencoba konsep itu di salah satu kawasan di Semarang bagian utara sebagai media percontohan.

Adapun mitigasi atau penanggulangan bencana, lanjut Robert, dapat diterapkan baik di Semarang bagian utara (Semarang bawah) maupun Semarang bagian selatan (Semarang atas). Di Semarang bagian bawah, pemerintah dapat memperbaiki sistem drainase kota dan pengerukan sungai-sungai. Di Semarang bagian atas, pemerintah dapat membuat daerah tangkapan air, seperti embung, sumur resapan, dan waduk.

Boleh jadi, resep serupa juga bisa diterapkan di kota-kota lain yang ada di tepi laut seperti Semarang. Meski tak harus selalu persis dalam penerapannya, paling tidak semangat dari gagasan semacam ini perlu dijadikan bahan renungan oleh para pengambil kebijakan.... (Aik/HEN/GAL/BUR)



Post Date : 11 November 2007