Jakarta layak kebanjiran. Banjir terjadi karena terganggunya perimbangan antara air infiltrasi, run-off, dan evapotranspirasi akibat perubahan daya serap lahan. Gundulnya pepohonan dan massifnya permukaan lahan, apalagi pada lahan miring, merupakan faktor utamanya.
Hujan mengguyur Ibu Kota Jakarta sejak Kamis malam 31 Januari lalu dan seharian pada Jumat 1 Februari. Kejadian tahun 2004 terulang. Ketika itu, derasnya hujan juga menyebabkan terjadinya genangan yang melumpuhkan kehidupan kota Jakarta. Pada Jumat 1 Februari 2008, Jakarta pun lumpuh tergenang air. Kemacetan lalu lintas terjadi di mana-mana, penerbangan sangat terganggu, perekonomian terhenti, dan biaya hidup melonjak. Masyarakat menderita kembali.
Alam memang tidak pernah mengatur adanya banjir dalam siklus hidrologinya. Banjir terjadi justru karena ''kemajuan'' peradaban manusia dan ''keberhasilan''-nya membangun. Banjir telah menjadi rapor buruk yang tidak layak diperdebatkan karena merupakan hasil kerja kolektif semua pihak. Banjir, yang awalnya hanya dianggap air pasang karena akumulasi sesaat presipitasi yang akan cepat surut setelah hujan reda, kini menjadi bencana permanen. Banjir kini meluap dalam skala besar, menggenangi permukiman, menghanyutkan rumah dan harta benda, bahkan tak jarang menyebabkan korban jiwa.
Jakarta layak kebanjiran. Banjir terjadi karena terganggunya perimbangan antara air infiltrasi, run-off, dan evapotranspirasi akibat perubahan daya serap lahan. Gundulnya pepohonan dan massifnya permukaan lahan, apalagi pada lahan miring, merupakan faktor utamanya. Maka tidak salah, awalnya luapan air banjir Jakarta diduga karena rusaknya penutupan hutan dan lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS). Namun kenyataan pada 1 Februari 2008 tadi tidak demikian. Hujan lokal telah menggenangi Jakarta. Bahkan tidak menyebabkan kota pelanggan banjir, Bekasi, kebanjiran.
Ancaman banjir DKI Jakarta berasal dari berbagai penjuru. Tercatat, air limpas kiriman dari hulu dan bagian tengah DAS Ciliwung berjumlah 500 juta meter kubik setiap tahun. Banjir juga terjadi karena pertemuan air limpas presipitasi hujan dengan naiknya air pasang laut di daerah hilir.
Pengurukan areal rawa pantai untuk permukiman dan aktivitas komersial ataupun wisata sekelompok warga kelas atas juga terbukti memindahkan air bah ke daerah bawah yang sebelumnya tidak menderita kebanjiran dan menenggelamkan ruas jalan tol Sedyatmo. Faktor intensitas curah hujan dan durasinya tentu sangat berperanan pula menciptakan bencana itu.
Faktor lain adalah akibat tidak tertatanya permukiman jutaan masyarakat yang mengais rezeki dari menumpuknya uang pembangunan negara di Jakarta. Permukiman dibangun di mana saja yang memiliki akses cepat ke sumber perekonomian. Daerah lembah yang basah di daerah hilir atau bantaran sungai justru diminati karena harganya terjangkau.
Terjadilah komunitas yang sangat padat di daerah itu, dengan perilaku kehidupannya yang tidak mudah ditertibkan. Permukiman yang padat di bawah garis ambang luap air (GALA) itu telah lama dibiarkan pemerintah menantang alam. Salah satunya adalah permukiman Rawa Buaya, yang namanya saja mengisahkan fungsi lahan itu dahulu.
Banjir Jakarta juga terjadi karena ulah pengelola kota itu sendiri yang tidak memahami atau tidak peduli pada ancaman bencana banjir. Rencana tata kota dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam prakteknya cenderung mudah diabaikan. Pemerintah setempat juga hanya mampu membangun jalan umum dari bekas jalan setapak yang berliku, bergunung, dan berlembah mengikuti alur topografi asli tanpa pemikiran masalah kebutuhan aliran air.
Saluran irigasi perkotaan tidak pernah terpikirkan lagi untuk dibuat. Peninggalah pemerintah kolonial Belanda zaman dulu pun mungkin telah tersumbat sampah dan tidak dirawat lagi. Izin pembangunan permukiman di daerah resapan di selatan terus diterbitkan tanpa pengawasan meluasnya bidang dasar bangunan. Danau, situ, dan rawa yang bermanfaat untuk peresapan dan ekosistem lingkungan telah tiada akibat diuruk dengan izin mendirikan bangunan yang sah. Perencanaan kota yang selayaknya bertujuan aman lingkungan terkalahkan oleh praktek manipulasi perizinan yang tidak berperi-social security.
Yang paling menyedihkan adalah ketika rawa-pantai diuruk dengan sebutan reklamasi oleh pemodal besar. Kegiatan yang kalau di Osaka, Jepang, menjadi pujian karena menghasilkan daratan baru yang aman dan dapat digunakan untuk membangun Bandar Udara (Bandara) Kansai yang megah dan pergudangan yang bermanfaat, di Jakarta justru menjadi sumber bencana banjir karena perhitungannya yang hanya pada tataran bisnis dan untuk kesenangan sekelompok kecil masyarakat. Pengurukan rawa menjadi permukiman mewah di pantai utara Jakarta menyebabkan pindahnya genangan air ke lokasi permukiman miskin dan menggenangi jalan tol Sedyatmo.
Kasus yang mencolok adalah pembangunan perumahan mewah Pluit, Pantai Indah Kapuk, dan sebuah permukiman mewah yang sedang gencar-gencarnya dipasarkan TV swasta untuk orang berduit. Sedangkan kasus yang paling kontroversial adalah rencana proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang dirilis sejak tahun 1985, yang konon akan menghilangkan muka air rawa-pantai seluas 27 juta meter persegi dan memerlukan sedikitnya 200 juta meter kubik tanah urukan.
Namun pemerintah terus mendorong pembangunan proyek tersebut. Bahkan, ironisnya, pada saat itu Menteri Negara Lingkungan Hidup dikalahkan oleh pengadilan tata usaha negara ketika mencoba menghalangi kelanjutan rencana megaproyek komersial yang diyakini publik akan menghasilkan keuntungan puluhan trilyun rupiah bagi pengembang dari aktivitasnya itu.
Banjir DKI Jakarta terjadi akibat akumulasi berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan buruknya perangai penyelenggara pemerintahan, termasuk masyarakatnya, yang cenderung mementingkan individu. Banjir telah menjadi bencana struktural yang tidak akan pernah dapat dihentikan dan mendorong pemikiran untuk memindahkan ibu kota ke tempat lainnya yang lebih aman dan nyaman. Banjir juga menjadi Ikon pesatnya pembangunan Jakarta.
Pemerintah DKI Jakarta tidak visioner atau kebijakannya kandas oleh ulah oknum pemangku jabatan-jabatan strategis di birokrasi itu (?). Melihat kompleksitas masalahnya, banjir Jakarta tidak lagi bisa ditanggulangi hanya dengan cara teknis dan fisik. Harus dilakukan perubahan kultur sosial serta perbaikan moral dan ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Visi pembangunan harus diperbaiki. Rancangan dan sistem penataan ruang harus environmental based, bukan hanya berbasis ekonomi dan kemewahan metropolis. Objek penyejahteraan pemerintah adalah masyarakat banyak, yang kehidupannya relatif marjinal, bukan untuk melayani komunitas kalangan atas.
Kini, yang mendesak dan terbaik dilakukan adalah menata permukiman padat, khususnya yang dihuni atau akan dihuni masyarakat kalangan bawah. Untuk kelancaran menuju Bandara Soekarno-Hatta, layak saja dibangun jalan layang yang mahal di atas jalan tol Sedyatmo, meskipun untuk membeli kursi yang layak bagi calon penumpang di ruang tunggu Terminal I Bandara Soekarno-Hatta saja pemerintah tidak mampu.
Jalan raya ditinggikan untuk menghindari genangan air yang membuat mogok mobil-mobil mewah. Tanggul-tanggul dapat saja dibangun untuk menahan luapan air limpas ke jalan raya dan permukiman mewah. Tapi perlu dipertanyakan, apa yang akan dilakukan secara langsung untuk permukiman rakyat miskin yang selalu menjadi langganan banjir?
Konon, hal itu bukannya belum ada, hanya belum terpikirkan. Upaya membuat tower-tower rumah susun di sekitar jalan tol dalam kota lebih dimaksudkan agar permukiman kumuh tidak menjadi tontonan orang yang melintas masuk kota Jakarta setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Bukan semata untuk menghindarkan permukiman mereka dari banjir. Masyarakat di permukiman padat dan kumuh di daerah-daerah yang berada di bawah ketinggian GALA seharusnya segera dipetakan dan diberi perlakuan yang tepat.
Kepadatan penduduk di daerah itu harus dikurangi dan pertambahannya dicegah. Kalau tidak bisa direlokasi ke daerah yang lebih tinggi dan higienis, perlu dibuatkan rumah-rumah panggung dan jaringan jalan yang berada pada ketinggian di atas garis luap air maksimal. Pengusaha penguruk rawa-pantai harus ikut bertanggung jawab. Pemerintah pun harus memiliki armada pertolongan sosial yang mampu melakukan evakuasi dan mengurusi masyarakat yang menjadi korban kemiskinan dan tidak mampu mendiami daerah bebas banjir yang mahal --mereka yang tidak memiliki alternatif untuk hidup lebih baik.
Pemerintah juga jangan menjadi armada ''pemadam kebakaran'' yang hanya pontang-panting panik pada saat terjadi banjir besar, dan kini tersenyum melupakan Jumat 1 Februari lalu yang dingin dan sangat basah itu. Penataan ruang Jakarta yang menjamin permukiman bebas dari luapan air limpas harus direevaluasi, dengan tetap dibarengi kesadaran bahwa kepentingan pribadi ataupun kelompok kecil masyarakat untuk bermewah diri harus dijauhi bersama.
Masyarakat luas harus dididik memahami masalah bencana lingkungan dengan tindakan-tindakan konservasi yang tepat, termasuk di-enforced untuk membangun sumur-sumur peresapan air hujan maupun air limbah rumah tangga agar jumlah air limpasan terkurangi, di samping untuk menabung reservasi air tanah di musim kemarau. Tindakan sipil-teknis terus dirancang secara tepat agar aliran air run-off dapat didistribusikan dengan baik dan tidak lagi merusak harta benda dan kehidupan penduduk dalam perjalanannya ke laut.
Pepohonan di perkotaan memang tidak selalu efektif membantu mencegah banjir, tapi perlu ditanam seluas-luasnya, didukung dengan daerah resapan air yang diperluas. Perencanaan dan tindakan terpadu hulu-hilir DAS yang masuk Jakarta tetap harus dilaksanakan, meskipun bukan lagi menjadi faktor utama banjir.
Pengulangan banjir besar Jakarta pada awal tahun 2008 itu mengingatkan tanggung jawab kita pada alam dan masyarakat. Pemerintah (DKI Jakarta) harus belajar ulang untuk menyusun pola dan program pembangunan yang lebih terencana, komprehensif, terarah, dan terpadu dalam pencegahan banjir Ibu Kota. Pemerintah pusat dan yang terkait agar bersama-sama membantu Pemerintah DKI Jakarta, setidaknya mengurangi intensitas banjir tersebut sejak dini. Oleh: Transtoto Handadhari Forestry economist, pemerhati lingkungan, lulusan UGM, Yogyakarta, dan UW at Madison, Amerika Serikat
Post Date : 14 Februari 2008
|