Banjir Jakarta, Karma Jakarta

Sumber:Koran Tempo - 06 Februari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Banjir di Jakarta yang tak kunjung usai dan merambah ke tempat-tempat strategis, seperti jalan tol menuju Bandara Cengkareng, akhirnya membuat gerah para petinggi pemerintahan. Tak kurang Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu melakukan pemantauan lewat udara dan mencoba mencari solusi atas kasus banjir, yang membuat resah masyarakat dan menampar reputasi Indonesia di dunia internasional.

Selain melakukan langkah darurat menguras luapan banjir di jalan tol dengan pompa dan mengoptimalkan muara untuk mengatasi banjir, salah satu kebijakan yang perlu segera dilakukan, menurut Wakil Presiden, adalah mempercepat penyelesaian pembangunan proyek Kanal Banjir Timur (KBT). Pemerintah Provinsi DKI, yang hingga kini baru berhasil membebaskan sekitar 70 persen dari total kebutuhan lahan 95 hektare, telah diberi lampu hijau untuk menerapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005.

Dengan menerapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Pemprov DKI Jakarta berhak memaksa warga masyarakat segera menyerahkan lahan miliknya demi pembangunan kepentingan umum. Bagi warga yang menolak, melalui pengadilan, hak warga atas tanah yang akan dipakai untuk kepentingan umum itu bisa dicabut, dan ganti rugi akan dititipkan ke pengadilan--terlepas warga yang bersangkutan puas atau tidak terhadap besaran ganti rugi yang diterima.

Di atas kertas, pembangunan proyek KBT diperkirakan bisa melenyapkan ancaman banjir sekitar 150 kilometer persegi dari total 650 kilometer persegi wilayah Jakarta yang selama ini selalu kebanjiran jika musim hujan tiba. Tapi yang menjadi masalah adalah sejauh mana rekayasa yang sifatnya teknis-planologis ini benar-benar dijamin efektif menanggulangi banjir yang senantiasa mengancam ibu kota negara ini.

Sebagai megapolitan, jujur harus diakui bahwa Jakarta sesungguhnya sangat rapuh dan tidak akan pernah siap menghadapi ancaman banjir yang memang sudah di luar kapasitas kemampuan Pemprov DKI Jakarta. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika setiap tahun Jakarta harus menerima kiriman banjir dari Bogor, sedangkan kondisi intern Kota Jakarta sendiri sudah benar-benar kehabisan stamina untuk mengendalikan aliran air setiap musim hujan tiba. Ketika banjir telah meluas hingga lebih dari 410 titik genangan, nyaris mustahil Jakarta dapat bebas dari banjir jika tidak ada keajaiban dan perencanaan yang benar-benar terpadu.

Dengan berbekal Perpres Nomor 36 Tahun 2005, mungkin benar bahwa pembangunan KBT akan dapat dipercepat, dan ancaman banjir yang melanda Jakarta akan dapat dikurangi. Meski demikian, tanpa didukung kebijakan yang konsisten dan peran serta wilayah hinterland di seputar Jakarta, niscaya hasilnya tidak akan pernah maksimal. Banyak bukti telah menunjukkan bahwa dalam lima-sepuluh tahun terakhir, alih-alih berkurang, yang terjadi di lapangan justru luas dan tinggi genangan banjir cenderung makin meresahkan.

Membangun kanal, memperbaiki pompa air atau bahkan membeli pompa air baru, serta membuat waduk resapan dari segi teknis-planologis dan untuk jangka pendek mungkin efektif mencegah dampak banjir tidak bergulir makin liar. Tapi masalahnya kemudian apakah upaya mengendalikan arah arus banjir lewat perangkat teknologi dan rekayasa fisik itu terbukti efektif dalam jangka panjang jika di saat yang sama konsep penataan tata ruang kota dibiarkan tetap amburadul atau inkonsisten.

Dalam konsep perencanaan dan pembangunan wilayah yang bias urban dan sentralistik, selama ini Jakarta memang boleh menepuk dada sebagai megapolitan yang paling bersinar, modern, dan gigantis. Tapi, ketika dominasi kekuatan komersial makin lepas kendali, dan kota cenderung berkembang makin liar, yang terjadi kemudian adalah inkonsistensi dan proses pembusukan kota karena kesalahan dirinya sendiri. Kalau kita mau jujur, berapa banyak wilayah resapan air di Jakarta yang kini berubah menjadi gedung bertingkat dan berapa banyak saluran air yang kini buntu karena di atasnya dibangun pusat-pusat keramaian?

Kenapa, misalnya, tidak pernah dijatuhkan sanksi bagi para investor perumahan mewah yang jelas-jelas bersikap egois, melakukan reklamasi tanpa memperhitungkan dampaknya pada wilayah sekitar, dan membangun sistem drainase yang hanya mementingkan keamanan wilayahnya? Padahal wilayah di luar mereka kerap kali kebanjiran hasil luapan atau kiriman air dari wilayah permukiman tertentu yang dikuras dengan pompa.

Ketika hendak memaksa warga masyarakat melepas lahan miliknya demi kepentingan umum, Pemprov DKI Jakarta dapat bersikap begitu digdaya karena dibekingi Perpres Nomor 36 Tahun 2005, lantas kenapa di saat yang sama Pemprov DKI Jakarta terkesan bersikap sangat lunak terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan kekuatan komersial? Ketidakkonsistenan sikap pemerintah seperti ini tidak hanya akan membuat proses pembebasan lahan menimbulkan resistansi masyarakat karena merasa diperlakukan tidak adil, tapi juga akan menyebabkan upaya penanganan banjir terkesan hanya menjadi program yang sifatnya tambal-sulam.

Tanpa dukungan kota-kota sekunder di sekitarnya, hampir dapat dipastikan DKI Jakarta tidak akan pernah mampu menyelesaikan ancaman banjir yang setiap tahun selalu melanda berbagai wilayah permukiman dan fasilitas publik. Seperti juga soal sampah, dalam menangani banjir, Pemprov DKI Jakarta mau tidak mau harus menyapa dan meminta dukungan daerah di sekitarnya sekaligus menyusun program kerja dan rencana tata ruang yang benar-benar terpadu.

Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, DKI Jakarta tidak mungkin bersikap egois dan selalu meminta daerah lain ikut menyangga dan bertanggung jawab menyelesaikan berbagai persoalan yang mengancam ibu kota negara ini, di antaranya soal banjir, sampah, urbanisasi, dan sektor informal.

Provinsi DKI Jakarta di bawah pemerintahan Fauzi Bowo tampaknya harus bersedia dan banyak belajar bahwa untuk menangani persoalan banjir, tidak mungkin dilakukan dengan klaim-klaim bahwa semua pihak harus ikut menjaga keamanan dan kenyamanan ibu kota negara, tanpa diimbangi dengan iktikad baik untuk sama-sama berbagi kemajuan dengan daerah di sekitarnya.

Jangan sampai terjadi, ketika investor datang dan pendapatan asli daerah meningkat, DKI Jakarta dengan jumawa mengklaim bahwa itu adalah hasil kerja keras mereka dan merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat segala-galanya. Tapi, ketika bencana datang dan musibah menimpa warga masyarakatnya, Pemprov DKI Jakarta menoleh ke sana-kemari, meminta dukungan semua pihak, baik pusat maupun kota sekunder di sekitarnya untuk ikut menanggung beban berat mereka.

Benarkah banjir yang melanda Jakarta sesungguhnya adalah karma dari kota yang terlalu pongah dengan kedigdayaannya sendiri?

Bagong Suyanto Ketua Laboratorium Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga



Post Date : 06 Februari 2008