|
BANJIR besar di Jakarta tahun ini tidak terelakkan lagi. Meskipun tidak sehebat tahun 2002, banjir kali ini tergolong masih parah. Banjir besar yang telah menerjang kawasan Kampung Melayu, Jatinegara, Tegal Parang, Karet Tengsin, Kuningan Barat, Cipinang Besar Selatan, Pela Mampang, Bintaro, dan Kedoya Barat, menyebabkan puluhan ribu penduduk setempat harus mengungsi. Sementara kawasan-kawasan lainnya pun belum bebas dari ancaman bencana banjir. Sekalipun banjir sempat surut, namun karena takut rumah mereka dilanda banjir lagi, sebagian para pengungsi memilih sementara tinggal di pengungsian. Selama ini, warga Ibukota yang merasa kecewa dengan langkah-langkah aparat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, yang terkesan tidak mampu mengatasi ma- salah ketika banjir datang, memang dapat kita maklumi. Begitu kecewanya, sejumlah warga yang sempat penulis temui di kawasan Kampung Melayu dan Jatinegara mengaku tidak lagi banyak berharap kepada Pemprov DKI. Pada tahun lalu, beberapa media massa Ibukota mengekspos pengakuan Gubernur DKI Sutiyoso bahwa Pemprov DKI Jakarta tak mampu mengatasi masalah banjir secara tuntas. Belum lama ini Sutiyoso mengatakan, hanyalah proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang akan menyelamatkan Jakarta. Sementara hingga kini, pihak Pemprov DKI Jakarta masih berdalih bahwa banjir besar Jakarta disebabkan hujan deras dengan curah sangat tinggi, terutama di kawasan Puncak. Sehingga, ketika aliran air hujan turun dari sana, Jakarta lagi-lagi terlanda banjir. Padahal, sejak satu dasawarsa terakhir, berlangsung upaya memperbaiki - tentu melalui proyek - dan merehabilitasi fungsi kanal serta sungai, agar selanjutnya Jakarta bisa mencegah banjir. Pertanyaannya, dengan terjadinya banjir besar selama ini, apakah rehabilitasi dan perbaikan fungsi kanal dan sungai di Jakarta telah berjalan secara benar? Kini terbukti bahwa pengakuan atas ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta dalam mencegah banjir, ternyata tidak mengatasi permasalahan yang ada, bahkan sama sekali tidak mencerminkan tanggung jawab moral terhadap bencana banjir Jakarta setiap tahun. Parameter untuk mengukur keberhasilan Pemprov DKI Jakarta mengatasi banjir, terkesan bukan pada sejauh mana warganya bisa diselamatkan atau terhindar dari banjir. Tetapi lebih bertujuan, apakah program yang dilakukan pihak eksekutif bisa dipertanggungjawabkan di depan wakil rakyat atau tidak. Jadi, hal ini berkaitan dengan mentalitas para pejabat berwenang yang kurang bertanggung jawab dalam usaha pencegahan banjir di Jakarta. Menghadapi krisis ekologis di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, seharusnya ada kerja sama yang komprehensif, sinergis dan berkelanjutan di antara masing-masing pemerintah daerah itu. Bebas KKN Jika kita mau jujur dan belajar dari pengalaman, proyek BKT harus bebas dari praktik-praktik kolusi dan korupsi. Dalam konteks ini, tidak boleh dilupakan masalah prinsipil bahwa penyalahgunaan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dengan membangun gedung-gedung, dan ini telah melanggar peraturan pemerintah, harus diakhiri tanpa kompromi. Pasalnya, kawasan RTH yang penuh pepohonan, diakui para ahli berpotensi dalam penanggulangan banjir karena bersifat banyak menyerap/menahan air. Contoh konkret, bencana banjir pasti selalu terjadi menyusul penggundulan hutan, apalagi jika hutan terletak di perbukitan atau pegunungan. Peristiwa banjir di Jakarta sudah terjadi sejak penjajahan Belanda, tetapi pada masa itu Jakarta masih banyak hutannya, sehingga banjir yang terjadi tidak meluap dan tak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan, harta maupun jiwa. Berkembangnya pembangunan fisik di Jakarta yang tidak mematuhi master plan dari pemerintah, sebagai akibat praktik kolusi dan korupsi (suap) dengan pihak pengusaha maupun pengembang, mengakibatkan semakin banyak lahan RTH yang terbabat habis. Dengan demikian, mudah dipahami (bukan dimaklumi) bahwa pihak Pemprov DKI Jakarta terkesan tidak serius mengelola RTH, alih-alih untuk menangani kasus-kasus RTH yang hingga kini termasuk jadi faktor utama penyebab timbulnya banjir Jakarta. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000, Pemprov DKI telah menyusun Rencana Strategis Daerah (Renstrada) Jakarta 2002 - 2007 sebagai pedoman gubernur melaksanakan pembangunan di DKI selama lima tahun ke depan. Renstrada yang sudah disahkan DPRD DKI merupakan indikator pengukuran kinerja yang akan digunakan DPRD mengukur kinerja tahunan gubernur dan di akhir masa jabatannya. Dalam strategi pembangunan bidang hukum dan ketertiban umum, kasus perubahan peruntukan lahan hijau atau sulitnya upaya refungsionalisasi RTH merupakan bentuk kegagalan Pemprov DKI Jakarta dalam menegakkan supremasi hukum. Kian banyak kasus penyalahgunaan RTH terkait kolusi dan korupsi, sehingga dari tahun ke tahun, banjir Jakarta semakin sulit diatasi. Sementara itu, Pemprov DKI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, juga tidak berdaya mengembalikan fungsi RTH yang berubah menjadi Plaza Senayan, Hotel Mulia, Pantai Indah Kapuk, dan masih banyak lagi. Refungsionalisasi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) agar jadi jalur hijau kembali sulit dilaksanakan. Kasus penebangan pohon dewasa sebanyak 10 pohon per hari, yang berarti 3.650 pohon per tahun, di berbagai tempat strategis di Jakarta juga tidak bisa dihentikan. Gerakan Sejuta Pohon dan kemampuan Pemprov DKI Jakarta menanam 10.000 pohon per tahun, ternyata tidak banyak membantu pengembangan RTH. Daerah-daerah resapan air yang seharusnya dipertahankan untuk mengendalikan banjir, juga telah banyak disalahgunakan oknum pejabat via praktik KKN (suap) dengan pihak pengembang untuk pembangunan gedung-gedung perkantoran. Menyimpang Bencana banjir Jakarta tak terlepas dari pemanfaatan RTH yang banyak dipengaruhi oleh sejumlah konglomerat yang banyak menguasai aset produksi karena banyak pejabat berpraktik KKN, sehingga pembangunan di Jakarta sudah banyak menyimpang dari master plan. Keterkaitan erat pelaku KKN antara para oknum pejabat dan konglomerat yang menimbulkan bencana banjir Jakarta, dapat dilihat dari izin pendirian industri, pemukiman, real estate, mal, jalan tol, dan lapangan golf di atas daerah resapan air maupun RTH yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta. Misalnya, Perumahan Pantai Indah Kapuk yang jelas-jelas telah melanggar Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang ditetapkan Perda Nomor 5 Tahun 1984 tentang RUTR DKI Jakarta dari tahun 1984-2005. Daerah hutan bakau (mangrove) juga telah disulap menjadi perumahan mewah di atas areal seluas 831 hektar. Bencana banjir Jakarta tak pelak terkait dengan banjir kiriman dari wilayah Bogor. Kebijakan daerah penyangga (buffer zone) di kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopuncur) melalui PP Nomor 13 Tahun 1963 dan Keppres Nomor 114 Tahun 1999 tidak ada dampak serta realisasinya di lapangan. KKN antara oknum pejabat dan konglomerat real estate di kawasan Bopuncur kini bahkan makin luar biasa. Meskipun sudah direvisi melalui Keppres Nomor 114 Tahun 1999, tetapi revisi itu dianggap sia-sia saja, karena di samping merupakan wacana yang gamang, penerapan perundangan ini juga masih terus dilanggar oleh oknum-oknum pejabat yang tak bertanggung jawab. Secara substansi, perundangan tentang Bopuncur dari tahun 1963 sampai Keppres tahun 1999 tidak berbeda. Isinya adalah penertiban bangunan dan mempertahankan konservasi alam. Kawasan Bopuncur yang memiliki daerah kemiringan hampir 30 persen seharusnya ditanami tegakan hutan/pepohonan berakar banyak agar mampu menyerap air. Faktanya, kini banyak ditanami asparagus di samping vila-vila mewah. Bahkan, punggung gunung Gede Pangrango yang merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam pun, telah dipangkas pihak pengembang. Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, harus ada greget untuk memberantas KKN, terkait masalah bencana banjir ini. Jika tidak, lahan RTH akan kian banyak berkurang dan ke depan pasti banjir Jakarta tak terelakkan lagi. Haris Suharjono, Penulis adalah pemerhati masalah perkotaan dan lingkungan, alumnus ITB Post Date : 28 Januari 2005 |