|
Definisi banjir dalam artikel ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta seperti terjadi pada minggu pertama Februari 2007, yang merupakan ulangan kejadian pada bulan yang sama tahun 1996 dan 2002. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan eskalasi kerugian jauh lebih kecil. Kecuali, tentu saja, banjir pekan lalu. Menarik mencermati adanya kecenderungan periode 5-6 tahun pada peristiwa banjir besar Jakarta (1996, 2002, 2007). Apabila diamati, terdapat kesamaan pola pada hadirnya cold surge, yaitu massa udara dingin yang terbawa oleh sirkulasi angin utara-selatan (meredional) akibat gangguan tekanan tinggi (high pressure disturbance) di daerah Siberia, melewati ekuator di Selat Karimata, dan mencapai laut dan pesisir utara Jawa dengan kecepatan yang konsisten, lebih dari 10 meter/detik (m/det) dan berlangsung selama 12-24 hari. MJO dan iklim regional Selain faktor hadirnya cold surge, banjir Jakarta 1996, 2002, dan 2007 memiliki korelasi dengan gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO) yang memiliki periode 30-50 hari dan kondisi iklim regional El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Banjir Februari 1996 terjadi pada saat kondisi iklim regional mengalami La Nina lemah bersamaan dengan datangnya fase aktif MJO. Banjir Februari 2002 terjadi pada saat kondisi iklim regional normal dan juga fase aktif MJO. Banjir Februari 2007 terjadi saat kondisi iklim regional El Nino di Samudra Pasifik dan IOD di Samudra Hindia baru saja meluruh, tetapi MJO pada fase tidak aktif. MJO menjadi faktor dominan kedua selain cold surge yang menyebabkan banjir Jakarta 1996 dan 2002. Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Selain meningkatkan curah hujan, terutama ketika kondisi iklim regional mengalami La Nina seperti saat ini, MJO juga menyebabkan munculnya siklon tropis dan gangguan instabilitas atmosfer, seperti depresi atau tekanan rendah (Maloney dan Hartmann, 2001). Hal itu dapat dilihat pada akhir Desember 2007, ketika MJO dalam fase matang. Intensitas curah hujan tinggi dan dalam waktu cukup lama (torrential rains) terjadi di laut dan pantai utara Jawa menyebabkan wilayah Jawa Tengah mengalami longsor akibat hujan deras yang terus-terusan mengguyuryang menimbulkan korban jiwadan menyebabkan instabilitas atmosfer di perairan selatan Bali (Kompas, 26 Desember 2007). Selain itu, siklon tropis Melanie terbentuk di perairan barat laut Australia pada 30 Desember 2007 dan beberapa hari kemudian siklon tropis Helen muncul di perairan utara Australia (sekitar Darwin) pada 4 Januari 2008. Wilayah Jakarta beruntung terhindar dari curah hujan dengan intensitas tinggi saat berlangsungnya fase matang MJO tersebut. Instabilitas atmosfer hanya terjadi di perairan selatan Jawa dalam bentuk depresi (tekanan rendah) pada 1 Januari 2008 akibat pergerakan siklon tropis Melanie. Kondisi tak kondusif terjadinya banjir besar di Jakarta disebabkan tak hadirnya faktor cold surge pada saat itu. Faktor cold surge/b> Menarik saat mencermati banjir Jakarta Februari 2007 yang terjadi saat MJO tidak aktif. Kondisi iklim regional IOD yang meluruh di Samudra Hindia bagian timur dianalisis sebagai faktor kondusif meningkatnya intensitas curah hujan harian secara lokal di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Cold surge yang membawa uap air hangat dari Laut China Selatan dan Selat Karimata mencapai wilayah Jakarta menyebabkan konvergensi angin (datang dari arah barat daya) bertekanan rendah di permukaan (0-3 km) yang secara intensif dan berlangsung cukup lama sejak akhir Januari sampai minggu pertama Februari 2007. Sebaliknya di lapisan menengah (lebih dari 3 kilometer) berembus angin tenggara yang berlawanan dengan arah angin di lapisan bawahnya dan membawa massa udara kering akibat proses depresi di Samudra Hindia bagian timur pada saat meluruhnya IOD. Kondisi itu menyebabkan gaya gesekan angin secara menegak (wind vertical shear) yang besar di permukaan dan menjadi kondisi sangat kondusif untuk intensifikasi pembentukan awan kumulus dalam waktu lama dan berulang dalam sehari (Rotunno dkk, 1988). Kondisi ini dapat dilihat saat cold surge hadir dalam waktu cukup lama (12 hari) pada kasus banjir Jakarta 2007 dan meningkatkan durasi curah hujan harian di wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan pola hujan yang terjadi sepanjang malam (pukul. 20.00-22.00) selama 4-5 jam, berhenti sebentar pada dini hari, dan hujan lagi pada pagi hari (Pk 08.00-10.00) selama 3-4 jam. Bahkan pada kondisi cold surge memiliki kecepatan maksimum (15 m/det) yang terjadi pada 31 Januari hingga 1 Februari 2007, hujan pada malam hari terus berlangsung sampai pagi, 8-9 jam. Peluang kecil Dari uraian di atas tampak bahwa paling tidak ada 3 faktor dominan yang menyebabkan banjir Jakarta 1996, 2002, dan 2007, yaitu kehadiran cold surge dengan kecepatan angin dari arah barat daya lebih besar 10 m/det dan berlangsung dalam waktu cukup lama (12-24 harian); fase aktif osilasi gelombang MJO dalam periode 30-50 harian; dan kondisi lokal adanya massa udara kering pada lapisan menengah (lebih dari 3 km) yang menyebabkan meningkatnya instabilitas angin secara menegak dan pada gilirannya menjadi kondisi kondusif pembentukan awan kumulus melalui proses konveksi pada saat cold surge berada di lapisan permukaan (0-3 km). Selain ketiga faktor di atas, kondisi iklim regional La Nina dapat memicu naiknya curah hujan di atas normal di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun, hal itu bukan faktor utama penyebab banjir besar di Jakarta tanpa kehadiran cold surge dengan periode 12-24 hari. Apakah banjir serupa akan berulang pada tahun 2008 ini? Sangat sulit menjawabnya karena belum ada metode dan model yang cukup akurat dapat dengan tepat meramalkan kehadiran cold surge dan MJO. Yang dapat kita lakukan saat ini adalah meramalkan peluang terjadinya kedua faktor dominan itu. Cold surge, menurut penelitian Ramage (1971) dan Garreaud (2001), meningkatkan tekanan udara di permukaan sepanjang wilayah Asia Tenggara selama berlangsungnya musim dingin (winter season) dengan periode perubahan antarmusiman (30-100 hari) akibat modulasi antartahunan (inter-annual) gangguan sistem tekanan tinggi di wilayah Siberia. Hal itu dapat dilihat dari penjalaran cold surge yang menyebabkan banjir secara serempak, mulai dari Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, sejak November 2006 hingga Februari 2007 (sekitar 100 hari). Apabila hasil penelitian ini kita jadikan indikator, cold surge pada tahun 2008 memiliki peluang kecil terjadi karena cold surge dengan periode 12-24 hari belum terdeteksi kehadirannya di Vietnam dan Malaysia sejak November dan Desember, seperti tahun 2006. Bagaimana dengan peluang terjadinya fase aktif MJO sebagai faktor dominan kedua? Fase aktif MJO di wilayah Indonesia terjadi sejak minggu pertama Desember 2007 dan mencapai puncaknya pada akhir Desember 2007. MJO telah melewati wilayah Indonesia sejak minggu pertama Januari 2008 dan menyebabkan keringnya massa udara di sebagian wilayah Indonesia (cakupan awan kumulus secara regional, kecuali awan lokal, relatif sedikit di wilayah Indonesia). MJO saat ini berada di ekuator Samudra Pasifik pada 160 bujur timur dan diperlukan waktu 10-12 hari bagi gelombang MJO menjalar ke ekuator, Samudra Hindia di 60 bujur timur agar dapat kita lihat kembali sinyalnya apabila berpeluang kembali terjadi. Apabila asumsinya MJO akan berpeluang aktif kembali, osilasi gelombang MJO akan mencapai wilayah Indonesia pada minggu ke-2 atau ke-3 Februari 2008. Sinyal MJO ini akan semakin kuat selama berlangsungnya kondisi iklim regional La Nina. Namun, catatan selama banjir Jakarta 1996, 2002, dan 2007 mensyaratkan adanya cold surge kuat sebagai faktor utama terjadi banjir besar di Jakarta. Dengan demikian, meskipun fase aktif MJO diasumsikan memasuki wilayah Indonesia pada minggu ke-2 atau ke-3 bulan Februari 2008, peluang berulangnya banjir 2007 akan kecil. Apalagi faktor lokal kontribusi massa udara kering di lapisan menengah akibat kondisi regional Indian Ocean Dipole yang meluruh tidak terjadi selama tahun 2007 lalu. Namun, kita hendaknya tetap waspada mencermati perubahan cuaca dan iklim. Meskipun peluang banjir 2007 akan kecil, gangguan dalam bentuk instabilitas atmosfer akibat depresi, siklon tropis, dan curah hujan yang meningkat secara regional pada saat fase puncak MJO dan La Nina berlangsung harus tetap kita waspadai saat memasuki akhir Februari dan sepanjang Maret 2008. DR FADLI SYAMSUDIN Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana (Geostech BPPT), Puspiptek, Serpong Post Date : 06 Februari 2008 |