Banjir Jadi Langganan Sejak Zaman Baheula

Sumber:Koran Sindo - 23 April 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

ADA catatan menarik seputar pemindahan Ibu Kota Kabupaten Bandung dari Karapyak (kini Dayeuhkolot) ke Kota Bandung pada 1810.

Pemegang otoritas militer Pemerintah Hindia Belanda Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels kala itu memerintahkan Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah II, agar lokasi Ibu Kota segera dipindahkan ke lokasi baru. Dalam lembaran sejarah Kabupaten Bandung tercatat, perintah pemindahan itu dinilai sarat nuansa politis lantaran perintah pemindahan dilakukan sebagai langkah persiapan untuk menghadapi serangan Inggris.

Namun secara teknis, lokasi Karapyak dinilai kurang menguntungkan karena tidak berdekatan dengan jalur Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang dibangun Daendels dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa sampai Panarukan di ujung timur. Seperti diketahui, khusus di daerah Priangan, jalur jalan itu terbentang mulai dari Kota Bogor (Boitenzorg), Cianjur, Bandung, Sumedang, hingga Cirebon.

Tak ada pemikiran sedikit pun saat itu, pemindahan Ibu Kota Kabupaten Bandung dilatarbelakangi kondisi lingkungan yang kurang nyaman. Karapyak yang berada tak jauh dari daerah aliran sungai (DAS) Citarum kerap dilanda banjir tahunan. Bencana ini terus terjadi hingga kini ketika Kabupaten Bandung menginjak usia 367 tahun. Jadi bencana banjir di Kabupaten Bandung khususnya di Kecamatan Dayeuhkolot dan sekitarnya telah berlangsung sejak jaman baheula.

Hal ini akibat kondisi geografis Dayeuhkolot berada tepat di cekungan Sungai Citarum. Saat ini, kondisi tersebut diperparah perilaku manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan. Aliran Sungai Citarum yang melintasi beberapa daerah di Jawa Barat, harus diakui kondisinya kian memprihatinkan. Ribuan ton limbah rumah tangga dan industri kini bercampur di sepanjang aliran sungai tersebut hingga terlihat hitam, kotor, sekaligus beracun.

Diakui atau tidak, kondisi tersebut menjadi persoalan yang tidak kecil bagi Pemkab Bandung, dalam upayanya mewujudkan masyarakat Kabuapten Bandung yang repeh rapih kertaraharja. ”Menangani Citarum tak bisa dilakukan secara parsial, namun harus menyeluruh yang melibatkan semua komponen mulai dari masyarakat, pihak swasta, dan pemerintah dari tingkat kabupaten hingga pusat,” tandas Bupati Bandung Obar Sobarna.

Guna menangani aliran Citarum di daerah hulu, Pemkab Bandung sejak beberapa tahun lalu menggelar kerjasama dengan Perum Perhutani dengan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Melalui upaya ini, diharapkan intensitas perambahan hutan yang selama ini banyak dilakukan masyarakat sekitar hutan terus berkurang.

Di sisi lain, kelestarian hutan sebagai kawasan penyangga air bisa terjaga dengan baik. Bagi Pemkab Bandung sendiri, pelestarian hutan telah menjadi suatu kebijakan yang tak bisa dituda-tunda. Mengingat potensi hutan yang dimiliki Kabupaten Bandung begitu luas hingga mencapai 45.294.14 hekatare, yang terdiri dari hutan negara 35.7322.83 ha dan hutan rakyat seluas 9.571.3 ha. Tercatat, lahan kritis di Kabupaten Bandung hingga tahun 2006 mencapai 7.164.64 hektare yang tersebar di 34 kecamatan.

Data ini tentunya sebelum wilayah Kabupaten Bandung dibagi dua dengan Kabuapten Bandung Barat. Untuk mengatasi lahan-lahan kritis ini, Pemkab Bandung segera melakukan tindakan dengan cara menguatkan gerakan rehabilitasi lahan kristis di sejumlah tempat.

Gerakan ini telah berlangsung sejak awal tahun 2002 hingga kini yang melibatkan semua komponen, mulai masyarakat, kalangan swasta, BUMN, dan pemerintah dari sejumlah instansi. Tak terhitung lagi berapa miliar dana yang telah dikucurkn pemerintah maupun pihak-pihak lain untuk melakukan gerakan rehabilitasi dan konservasi lahanlahan kritis. (iwa ahmad sugriwa) 



Post Date : 23 April 2008