Banjir Ini Merenggut Segalanya...

Sumber:Kompas - 29 Juli 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Herudin Legoh (35) terduduk lesu. Ia seakan mengambil jarak dengan puluhan orang di sekitarnya, yang sampai Sabtu (28/7) masih saling bertutur tentang nestapa mereka.

Ia adalah salah seorang dari 7.107 warga yang mengungsi akibat banjir dan tanah longsor di empat kecamatan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Para korban masih dirawat di Gedung Serba Guna Desa Baturube, Kecamatan Bunggu Utara, Morowali, karena luka-luka.

Haerudin baru mengangkat kepala ketika Kompas menyapanya. Rabu lalu, istri dan anak sulungnya ditemukan tewas di rumah mertuanya di Desa Ueruru, Bungku Utara. Dua hari sebelumnya, rumah itu tertimbun longsor hingga atapnya lenyap. Saat itu Haerudin tengah shalat magrib di Masjid Ueruru.

Anak bungsu dan kedua mertuanya yang hilang, sampai Sabtu pagi belum diketahui nasibnya. Sebuah sepeda motor Haerudin, 200 kilogram (kg) kakao, dan uang Rp 10 juta yang selama ini ia tabung untuk membangun rumah ikut tertimbun tanah. Kebunnya seluas dua hektar juga longsor tergerus air. "Tidak ada yang tersisa," kata Haerudin, yang tampak berusaha menahan air mata.

Haerudin tidak sendirian. Banjir dan tanah longsor di Kecamatan Bungku Utara, Mamosalata, Soyo Jaya, dan Petasia, Morowali, mengakibatkan ratusan warga kehilangan keluarga.

Berdasarkan data terakhir Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 33 warga meninggal dan 39 orang hilang. Sedangkan berdasarkan data Dinas Sosial Morowali, sudah 72 warga meninggal.

Banjir di Morowali mengakibatkan lebih dari 20.000 jiwa kehilangan harta benda dan mata pencarian. Imran (43), warga Baturube, menuturkan, 500 kg kopra seharga Rp 2,5 juta ditambah satu mesin parut kelapa dan satu mesin perahu katinting miliknya dibawa air.

Padahal, mesin parut kelapa dan perahu katinting itu adalah alat kerja Imran selama ini.

Imran, Haerudin, dan warga Morowali lainnya tak menyangka jika banjir kali ini merengut semua yang mereka miliki. Bagi mereka, banjir adalah hal biasa, karena berulang setiap tahun. Mereka seakan pasrah ketika air menggenangi tanaman mereka hingga membusuk. Bahkan, April lalu, Petasia baru saja dilanda banjir setinggi 1,5 meter dan menandaskan harta benda warga.

Namun, banjir kali ini, dengan tinggi tiga meter disertai longsor, bukan hal biasa bagi mereka. Selain puluhan warga tewas, seluruh harta benda lenyap. Lebih dari 90 rumah serta sejumlah sekolah dan rumah ibadah disapu banjir. Kondisi itu diperparah oleh ambruknya puluhan ruas jalan dan jembatan.

Warga heran bagaimana bisa sejumlah ruas jalan putus sampai sepanjang 50 meter dan menjadi kubangan yang mirip sungai. Warga pun terkejut, sungai yang sebelumnya 2-3 meter jadi 20-30 meter setelah banjir.

Bantuan sulit disalurkan karena transportasi darat ke lokasi banjir lumpuh. Kapal-kapal lokal tak berani ke lokasi karena tinggi ombak mencapai lima meter.

Bantuan baru tiba Kamis lalu, saat sebuah kapal besar berhasil menembus ombak yang disusul dengan tiga buah Kapal Republik Indonesia. Keesokan harinya, Tim Bakornas yang menggunakan helikopter Puma milik TNI AU mendarat di Baturube.

Ratusan warga menyambutnya riang. Meski bantuan yang mereka peroleh masih sangat minim, misalnya susu untuk balita sama sekali tidak ada dan masih banyak pengungsi belum mendapat bahan makanan, lebih dari 100 pengungsi yang ditemui di Puskesmas Baturube mulai tertawa. "Kami senang helikopter datang. Kami merasa diperhatikan," kata Ite Buntale (49).

Ketika diajak berbincang lebih jauh, sejumlah pengungsi baru mengakui jika hati mereka hancur melihat banjir kali ini. Mereka berharap perhatian pemerintah tidak sebatas memberikan bantuan, tetapi menyelesaikan akar persoalan yang menjadi penyebab banjir tahunan di Morowali, yaitu kerusakan hutan. (REINHARD NAINGGOLAN)



Post Date : 29 Juli 2007