Banjir Di Mata Pakar

Sumber:Suara Publik - 01 Maret 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Ada banyak faktor yang menyebabkan banjir. Para ahli bencana dan pejabat pemerintah berulang kali menyatakan pendapatnya tentang banjir. Anehnya, tak satupun dari resep mereka yang mujarab mengatasi banjir. Sebagian warga akhirnya berpikir, banjir adalah kutukan alam. Ada juga yang percaya banjir merupakan peringatan Tuhan kepada manusia yang tak pandai merawat lingkungan.

Kontroversi banjir 2007 muncul saat Gubernur Sutiyoso "menyatakan" fenomena alam dan siklus banjir lima tahunan sebagai penyebab banjir di ibukota. Pengajar Planologi di Universitas Trisakti, Yayat Supriatna berpedapat, banjir Jakarta bukan melulu soal fenomena alam atau siklus lima tahunan. Melainkan masalah perencanaan dan tata ruang kota yang tidak saling mendukung. Yayat menambahkan, "Jika banjir merupakan fenomena alam, berarti dana ratusan miliar untuk penanggulangan banjir akan dianggap hilang percuma dong".

Jakarta Yang Landai

Secara ilmiah, banjir di Jakarta disebabkan kondisi topografi kota yang landai dan sekitar 40 persen wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Tingginya curah hujan di kawasan hulu (Bogor, Cianjur) ditambah rendahnya daya serap air di wilayah hulu, membuat Jakarta (wilayah hilir) menerima curahan air dalam jumlah besar. Terutama waktu musim hujan. Kondisi itu diperparah dengan tata ruang Jakarta yang semrawut, kurangnya lahan hijau terbuka, buruknya sistem drainase, dan menyempitnya badan sungai akibat desakan populasi. Banjir terjadi saat limpahan air yang besar dari hulu terhambat di wilayah rendah dan bantaran sungai, yang akhirnya luber ke wilayah lain. Pakar Kebijakan Publik LP3ES Jakarta, Erfan Maryono, menganalogikan ibukota seperti kolam raksasa. Penyebabnya itu tadi, "Ada 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa menampung dan menyalurkan air dengan cepat ke laut. Air meluber kemana-mana," tutur Erfan. Itu sebabnya kenapa Belanda dulu membangun Banjir Kanal Barat (BKB), untuk mengatur limpahan air dari hulu melalui pintu air Manggarai, lewat ke Kota, dan akhirnya ke laut.

Bagi Wicaksono Sarosa, Direktur Urban and Development (URDI), persoalan banjir di Jakarta mencakup tiga lapis. Yakni praktikal, sistemik, dan paradigmatik. Banyak dari kita tahu aspek praktikal dan sistemik, yaitu bertindak praktis (mengatasi banjir) dan berpikir sistemik birokratis. Yang kurang disadari pemerintah ialah lapis paradigmatik. Justru ini yang membuat warga dan pemerintah kota menarik diri dari tanggung jawab sosial penanganan banjir. Bagi Wicaksono, tidak ada kemajuan dalam penanganan banjir di ibukota. "Apa yang didiskusikan warga 5 tahun lalu, tetap relevan saat sekarang. Ini artinya kemunduran".

Dari Reservoir Bawah Tanah Sampai BKT

Peneliti hidrologi dan rekayasa lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan, banjir merupakan masalah yang membutuhkan penanganan terintegrasi dari hulu sampai hilir. "Menangani banjir di hilir tanpa memperbaiki kawasan hulu akan sia-sia karena limpahan air banjir dari hulu selalu lebih besar dari daya tampung sungai," ujarnya seperti dikutip Harian Kompas. Pada kondisi normal, kata Firdaus, debit air yang masuk Sungai Ciliwung sampai di Pintu Air Manggarai mencapai 28 meter kubik per detik. Saat hujan lebat dan banjir, debit air naik hingga 200 meter kubik per detik. Fluktuasi debit air yang tajam ini menunjukkan rendahnya daya serap air di kawasan hulu dan kecilnya daya tampung di hilir.

Untuk menangani banjir, Firdaus mengusulkan pembuatan penampungan air bawah tanah berskala besar atau deep tunnel reservoir. Bendungan bawah tanah ini, seperti yang diterapkan di Chicago (Amerika Serikat) dan Singapura mampu menampung 200 juta meter kubik, dan dapat bertahan 125 tahun. Air tampungan bawah tanah itu, lanjut Firdaus, bisa digunakan sebagai cadangan air baku dan diolah menjadi air bersih bagi Jakarta. "Dana yang dibutuhkan untuk proyek itu sekitar 12 Triliun, jauh dibandingkan APBD DKI sebesar 21,5 Triliun", tutur Firdaus Ali seperti dikutip Harian Kompas.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo Yusuf berpendapat, perbaikan kawasan hulu akan terbentur masalah otonomi daerah karena Jakarta tidak mungkin ikut mengatur wilayah propinsi lain yang punya RUTR sendiri. Pemerintah Provinsi DKI, menurut Wisnu, mengajukan dua usul pencegahan banjir di hulu. Yakni sudetan Sungai Ciliwung yang terhubung ke Sungai Cisadane, dan membangun bendungan Ciawi di hulu Sungai Ciliwung. Kedua usulan itu bertujuan untuk mengatur debit air yang akan masuk ke Ciliwung. Namun proyek Sudetan Ciliwung-Cisadane yang akan didanai oleh Jepang itu ditolak pemuka masyarakat dan Pemerintah Kota Tangerang. Tanpa ada tambahan air dari Ciliwung, Sungai Cisadane sering menimbulkan banjir di Tangerang. Mengingat otonomi daerah, Jakarta tidak bisa memaksakan kehendaknya, dan rencana itu batal.

Di sisi hilir, kata Wisnu, Jakarta sangat mengandalkan proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang saat ini tertunda karena masalah kompensasi pembebasan tanah. BKT diprediksikan dapat menampung limpahan air dari lima sungai utama di Jakarta dan melindungi kawasan seluas 270 kilometer persegi. Proyek ini akan melengkapi Banjir Kanal Barat (BKB) untuk menampung 40 persen air wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut. Air itu akan dialirkan dengan cepat ke laut menggunakan sistem polder dan pompa (Kompas, 03/02/07)

Namun Ahli Tata Kota, Marco Kusumawijaya, mengkritik cara pandang penanganan banjir yang terlalu mengandalkan proyek perangkat keras jangka panjang, berbiaya mahal, dan kolosal. Contohnya, "Banjir Kanal Timur (BKT) yang baru akan efektif 15 tahun lagi. Pemerintah DKI sangat jarang melakukan usaha yang bersifat akumulatif, bertahap, dan melibatkan partisipasi publik," ujar Marco.



Post Date : 01 Maret 2007