Jakarta, Kompas - Banjir di Bandung Selatan sejak Senin (22/3) disebabkan oleh dua faktor, yaitu curah hujan di atas rata-rata selama beberapa hari dan adanya perubahan areal tangkapan hujan di kawasan hulu. Upaya teknis pun belum dilaksanakan di daerah yang rawan banjir tersebut.
Hal ini disampaikan Direktur Sungai, Danau, dan Waduk Kementerian Pekerjaan Umum Widagdo, Rabu (24/3).
Tingginya curah hujan di kawasan Bandung dikuatkan oleh laporan yang disampaikan prakirawan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Sejak Februari hingga Maret, curah hujan lebat kerap terjadi, terutama pada sore hari, dan beberapa kali disertai dengan hujan es.
Beberapa hari menjelang banjir, jelasnya, stasiun BMKG di Bandung mencatat curah hujan yang lebat terjadi pada tanggal 17 Maret mencapai 48 mm. Pada tanggal 19 dan 20 masing-masing tercatat 17 dan 21 mm. Meskipun hujan lebih sedikit, telah terjadi akumulasi curah hujan yang tertampung sejak awal Februari di DAS Citarum.
Akumulasi curah hujan ekstrem dalam waktu kurang dari dua bulan, jelas Widagdo, ditunjukkan oleh tingginya debit air di tiga waduk. Debit Sungai Citarum pada Februari lalu tercatat 1290 juta meter kubik. Padahal, rata-rata bulan itu hanya setengahnya atau 656 juta meter kubik. Lalu pada awal bulan ini hingga 17 Maret sebesar 756 juta meter kubik, juga melebihi rata-rata yang terjadi pada kurun waktu itu.
Debit banjir Citarum di kawasan Bandung atau Dayeuh Kolot pada 17 hingga 21 Maret sebesar 659 hingga 660 meter kubik per detik. ”Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya genangan dan banjir kembali di kawasan Bandung Selatan,” ujar Widagdo.
Dari pengamatan pada 17 Maret lalu, terlihat kondisi air Waduk Saguling sudah melimpas di spillway atau pelimpah kelebihan air, dengan tinggi limpasan 26 cm. Adapun air di Waduk Jatiluhur sudah melimpas masuk morning glory atau pelimpas pertama sekitar 1,20 m di atas mercu spillway, dan mengalir ke hilir 660 meter kubik per detik.
Banjir di Karawang
Kondisi aliran Jatiluhur mengalami puncak pada pukul 24.00 WIB Minggu (21/3) dengan Tinggi Muka Air 108.41 m dan sekitar pukul 13.00 WIB Senin (22/3) setinggi 108,35 m dengan total outflow 676,15 meter kubik per detik.
Aliran air dari Spillway Jatiluhur itu, ditambah dengan aliran banjir dari Sungai Cikao atau anak sungai Citarum dan Sungai Cibeet telah menyebabkan akumurali aliran banjir di Citarum Hilir. Di Pos Pengamatan Kedung Gede dekat Karawang ada peningkatan tinggi muka air 12,65 mm. Akibatnya, terjadi limpasan di empat kecamatan di Karawang dan dua kecamatan di Bekasi.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang Mitigasi Bencana dan Sumber Daya Lahan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Sutopo Purwo Nugroho, kondisi DAS Citarum yang gundul mendorong terjadinya erosi hebat dan sedimentasi di badan sungai. Menurut Undang-Undang Tata Ruang seharusnya 30 persen daerah tangkapan air hujan di hulu dipertahankan. Namun, DAS di Jawa umumnya sudah di bawah 19 persen.
Upaya yang dilakukan
Untuk mencegah agar aliran di waduk tidak tersumbat hingga mengancam fungsi waduk, PJT 2 berupaya menahan keramba apung tidak terhanyut dan terbawa masuk ke morning glory, jelas Widagdo.
Selain itu, juga dilakukan pengaturan operasi tiga waduk (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) secara terkoordinasi. Penanganan bersama banjir di Kabupaten Karawang juga melibatkan BNPB, BBWS Citarum, PJT 2, BPBD dan penduduk Karawang.
Dalam jangka panjang, yaitu dalam kurun 30 tahun ke depan, Bappenas telah menyusun Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu DAS Citarum, yang mencakup tujuh bidang utama, antara lain infrastruktur, lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pengelolaan program, dengan menekankan pada aspek kolaborasi para pihak terkait. (YUN)
Post Date : 25 Maret 2010
|