|
JAKARTA - Pengalihan sekitar 19.000 hektare kawa san hutan lindung di Pulau Jawa menjadi kawasan budi daya telah mengakibatkan kerusakan lahan yang menyebabkan banjir dan longsor yang menelan korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur. Hal itu dikemukakan Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (PU), Hermanto Dardak, pada Lokakarya Penataan Ruang Sebagai Wahana Meminimalkan Potensi Bencana Longsor di Jakarta, Selasa (7/3). Departemen PU mencatat, selama 2005 terjadi 87 bencana banjir dan longsor di berbagai daerah yang mengakibatkan 225 orang tewas, 325 orang hilang dan 42.000 orang mengungsi. Rentetan bencana pada 2005 juga menghancurkan 7.000 rumah. Sedangkan kerusakan infrastruktur melanda 716 km ruas jalan, 48 jembatan, 23 bendungan, 11.000 meter saluran irigasi, serta 10.000 meter tanggul. ''Bencana banjir dan longsor terjadi akibat perubahan fungsi hutan lindung," katanya. Pengalihan itu menyebabkan air permukaan meningkat. Apalagi, banyak permukiman dibangun di perbukitan yang masih dalam kawasan hutan lindung. Selama periode 1992-1999, pemerintah sebenarnya telah menetapkan sejumlah kawasan lindung sebagai daerah rawan longsor dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional. Ini seharusnya menjadi pedoman pemerintah daerah dalam mengatur tata ruang di wilayahnya. ''Masalahnya banyak kawasan lindung yang bentuknya bukan hutan lagi karena sudah dipakai untuk tanaman budi daya" ujarnya. Untuk mencegah berulangnya alih fungsi lahan di kawasan lindung, ia mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bersikap tegas mana daerah yang boleh atau tidak boleh dibangun. Pengendaliaan pemanfaatan ruang seperti itu dapat dilakukan melalui peraturan zonasi, perizinan yang sesuai dengan rencana tata ruang, pemantauan serta pemberian sanksi bagi pelanggar rencana tata ruang. (L-7) Post Date : 08 Maret 2006 |