|
BANJIR yang melanda sejumlah tempat di Jakarta membuat sungai dan saluran air dipenuhi sampah. Di Jalan Kalibata, Ja karta Timur, misalnya sampah-sampah itu menutupi permukaan air dan harus diangkat de- ngan ekskavator untuk membersihkannya, seperti diperlihatkan foto halaman muka harian ini pekan lalu. Berton-ton sampah menyebabkan sungai dan saluran air tak mampu mengatasi derasnya air di musim hujan sehingga begitu banyak wilayah yang terendam. Tumpukan sampah dari berbagai jenis material mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Tidak hanya itu, sampah menjadi sumber penyakit dan menyerang para korban banjir. Fakta tentang begitu banyaknya sampah harus menyadarkan semua komponen masyarakat untuk menyadari bahwa banjir yang terjadi kali ini merupakan akibat langsung dari perilaku manusia. Banjir terjadi semata-mata bukan karena faktor alam, tetapi lebih karena kecerobohan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian dan keseimbangan alam. Urusan sampah, selama ini pemerintah dan masyarakat masih terfokus pada pembuangan sampah akhir yang membutuhkan lahan luas. Padahal persoalan sampah menyangkut hal yang jauh lebih luas karena terkait dengan berbagai kegiatan dan perilaku manusia. Oleh karena itu, upaya mengatasi sampah ini harus menyeluruh. Mengatasi sampah di Jakarta dan wilayah lain di sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok) setidaknya meliputi tiga hal utama. Pertama, produksi sampah. Begitu banyaknya sampah menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini sangat produktif menghasilkan sampah. Rata-rata produksi setiap warga sehari hampir satu kilogram. Ini bisa dikurangi dengan mengubah perilaku, seperti kesediaan setiap orang untuk sesedikit mungkin menggunakan pembungkus setiap kali belanja. Atau produk yang masuk ke Jakarta, terutama produk pertanian, sudah diseleksi, sehingga tidak menghasilkan sampah. Jagung, misalnya, tidak seharusnya dibawa ke pasar dengan kulitnya. Kedua, mengubah kebiasaan membuang sampah secara sembarangan. Kita masih menyaksikan begitu banyak wilayah tanpa tempat sampah, dan juga kemalasan penduduk membuang sampah secara tertib. Gagasan memilah sampah organik dan anorganik ternyata belum berhasil. Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu lebih banyak. Ketiga, penampungan terakhir dan pengolahan sampah. Selama ini sampah hanya dihargai oleh para pemulung, dan nilai ekonomis sampah hanya dilihat dalam kegiatan pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi terakhir. Material sampah belum banyak diperhatikan, meskipun pengetahuan yang sederhana ini telah begitu banyak dibahas dan dirintis. Sampah-sampah organik di Jakarta masih sangat sedikit yang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ternak, atau pupuk kompos. Ketidakseriusan ini sudah berlangsung lama, dan belum ada tanda-tanda diakhiri. Kalau kita menuju Depok, melalui Pasar Minggu, akan melihat Jalan Kompos di Lenteng Agung. Dinamakan begitu, karena pernah direncanakan untuk produksi kompos dari sampah Jakarta. Sayangnya Jalan Kompos itu hanya menjadi pengingat lembeknya kita mengelola sampah. Post Date : 24 Januari 2005 |