|
HUJAN deras kembali mengguyur Kota Jakarta, Sabtu (24/4) sepanjang sore hingga malam hari. Banjir pun akhirnya tak bisa dibendung dan terus berlangsung hingga Minggu (25/4) sore. Hujan yang demikian kencang telah menyulap jalan menjadi sungai. Ini bukanlah peristiwa yang pertama kali terjadi. Hampir bisa dipastikan bila hujan deras turun, para pengendara di jalan raya juga harus meningkatkan kewaspadaannya karena jalan yang dilalui tak ubahnya sebuah sungai. Tidak mengherankan bila banyak kendaraan yang mogok karena tidak bisa menahan masuknya air ke mesin kendaraan. Harus diakui, hujan yang terjadi pada hari Sabtu lalu memang luar biasa, lebih besar daripada hujan hari Rabu. Tetapi bagi para karyawan dan pekerja, hujan pada hari Rabu telah membawa penderitaan tersendiri karena terjadi pada jam-jam pulang kantor. Genangan air di jalan telah mengakibatkan kemacetan yang luar biasa di Jakarta, sehingga tidak mengherankan jika hari Kamisnya banyak yang bercerita, baru bisa sampai rumah pada pukul 01.00 dini hari. Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Gunawan Ibrahim, mengakui bahwa curah hujan saat itu di luar kebiasaan, dan yang terbesar sejak tahun 1971. Namun persoalannya pada saat hujan tidak luar biasa pun terjadi banjir. Jika dihitung, mungkin sudah ratusan atau ribuan kali warga Jakarta dan sekitarnya mengeluhkan penanganan banjir di Ibukota. Banyak yang dirugikan, mulai dari pedagang asongan, pekerja yang terlambat sampai di rumah, hingga mereka yang mobilnya terjebak dan mogok. KITA sependapat dengan pernyataan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Dia mengatakan, banjir di beberapa wilayah DKI merupakan bukti buruknya pengelolaan sistem drainase perkotaan, dan buruknya pemeliharaan lingkungan di Jakarta. Buruknya sistem drainase dan hancurnya tata lingkungan telah menyebabkan air hujan yang seharusnya ditampung oleh tanah dan disalurkan melalui saluran-saluran, tidak berjalan sehingga terjadi genangan air (Pembaruan, 22/4/2004). Ironisnya, banjir hari Rabu pekan lalu itu terjadi sehari menjelang peringatan Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April. Seolah mengingatkan kepada kita, betapa tidak pedulinya manusia terhadap kelestarian lingkungan di bumi ini. Betapa manusia hanya ingin menangnya sendiri dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia tanpa memikirkan aspek keberlanjutan (sustainable). Manusia tidak memikirkan lagi hubungan timbal balik antara makhluk hidup (manusia) dan alam sekitarnya. Tidak ada rasa hormat kepada Bumi Pertiwi yang telah mengeluarkan bahan pangan yang dibutuhkan manusia. MENJADI sebuah renungan bagi kita, apakah kita akan membiarkan peristiwa yang berulang itu berlangsung terus? Tidak adakah kesadaran dalam diri kita untuk mulai melihat, mengapa peristiwa menyedihkan ini terjadi? Sudah seharusnya kita mulai merenungkan dan mengambil sikap. Saat ini tanah di Ibukota begitu penuh dengan bangunan, sepertinya tidak lagi memberi peluang bagi air untuk bergabung dengan bumi karena tidak ada resapan. Sebenarnya sudah menjadi kewajiban pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuat perencanaan kota yang ramah lingkungan. Yang terlihat saat ini adalah bangunan mal, apartemen, gedung-gedung yang megah, dan jalan-jalan yang mulus, tetapi tidak dipikirkan area resapan dalam setiap bangunan tersebut. Hal yang sederhana saja, dalam pembuatan jalan masih ada yang tidak memperhatikan perlunya saluran air di kanan kiri jalan. Bahkan galian proyek Telkom dan PAM yang sepertinya tidak dikoordinasikan membuat kubangan-kubangan tersendiri. Tidak mengherankan jika pada akhirnya air memilih melaju di sepanjang jalan, dan jadilah sungai tiban (musiman). Memang akhirnya pengelolaan lingkungan juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Tetapi Pemprov juga perlu memikirkan bagaimana kesadaran lingkungan bisa tumbuh di masyarakat. Jika tidak, persoalan lingkungan, terutama banjir, masih akan terus menghantui warga Ibukota. Post Date : 27 April 2004 |