Banjir dan Politik Lingkungan

Sumber:Kompas - 01 Desember 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Banjir Kota Semarang merupakan bencana alam yang hampir terjadi di sepanjang musim hujan. Fenomena ini sudah pasti akan meresahkan warga Kota Semarang yang daerahnya tiap tahun menjadi langganan banjir. Pemerintah Kota Semarang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menanggulangi banjir, tetapi tiap musim hujan tetap banjir. Ada apa sebenarnya?

Banjir Kota Semarang merupakan perpaduan dari dua jenis banjir, yaitu banjir dari dinamika sungai dan dinamika pantai. Barbagai faktor yang memengaruhi meningkatnya banjir antara lain tingginya run off akibat perubahan lahan di daerah tangkapan air hujan, meningkatnya permukiman di sekitar sempadan sungai, tingginya erosi dan sedimentasi di saluran drainase, adanya land subsidence sebagai akibat eksploitasi air tanah yang belebihan, dan adanya fenomena global kenaikan permukaan air laut .

Perkembangan fisik kota yang tidak terbendung akan membawa dampak yang semakin parah, khususnya untuk daerah-daerah yang menjadi lokasi banjir rutin, seperti Kelurahan Mangunharjo, Mangkang Wetan, daerah Tambakrejo, Tawang Mas, Semarang Barat, Semarang Timur, dan banjir rob seperti daerah Bandarharjo, Panggung, Purwosari, dan daerah-daerah lain.

Berbagai kerangka pengelolaan lingkungan hidup telah dirumuskan dan diberlakukan, namun efek positif belum tampak. Ada sesuatu yang secara mendasar bermasalah dengan hidup kita dan dalam proses budaya kita. Kalau kita renungkan, sebetulnya kita sedang meniti kemajuan dengan membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung. Tulisan ini ingin menyadarkan Pemkot Semarang bahwa fenomena banjir adalah fenomena politik lingkungan. Persoalannya terletak pada lemahnya keterampilan politik manusia (pemkot)dalam menata, mengelola, dan mengurus lingkungan.Pekerjaan politik pemkot adalah bagaimana menyelaraskan hubungan antarmanusia dengan lingkungan supaya sesuai dengan kepentingan manusia sendiri.

Pemkot bisa mengembangkan apa yang disebut ecological governace atau keterampilan menata lingkungan yang merupakan keterampilan politik. Keterampilan politik pemkot tidak hanya tampak ketika kekuasaan bekerja dalam konteks pembangunan, seperti perbaikan jalan, pengadaan sarana kesehatan, air bersih, dan rentetan infrastruktur fisik lainnya, tetapi juga diukur dari seberapa besar kecakapan pemkot dalam menata lingkungan.

Manusia versus lingkungan

Ada dua pandangan mendasar yang bisa menjelaskan hubungan antarmanusia dengan lingkungan dan cara manusia dalam menata dan mengelola lingkungan. Pertama, kaum teknosentris selalu percaya bahwa dapat mengendalikan dan menguasai alam. Kaum tekno sentris ini menjalankan berbagai kebijakan pembangunan tanpa memperhitungkan efek lingkungan.

Pertumbuhan ekonomi investasi dan kesejahteraan manusia menjadi kata kunci perjuangan kaum teknosentris. Tak heran jika kita melihat sekeliling sudah berdiri banyak gedung-gedung bertingkat, mal, dan hunian baru yang dibangun dengan mengorbankan tanah resapan hujan atau bahkan bangunan di daerah sekitar sungai. Lingkungan dikorbankan demi kepentingan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pandangan kaum ekosentris bahwa planet bumi memiliki daya tampung yang terbatas (BB Hughes, 1991). Solusinya adalah pengendalian populasi dan perubahan drastis dalam gaya hidup modern menuju cara hidup yang ramah lingkungan, berorientasi sedikit mengonsumsi dan sedikit menghasilkan sampah. Pada dasarnya manusia tergantung pada lingkungan. Kaum ini percaya bahwa jika manusia merusak lingkungan, maka manusia pun akan mengalami hal yang sama dengan lingkungan, seperti banjir.

Dalam konteks banjir, politik lingkungan tidak memperdebatkan pandangan mana yang paling benar, tetapi berbicara tentang bagaimana manusia menata dan mengelola lingkungan.

Penataan dan pengelolaan lingkungan (ecological governance) meliputi tiga hal yang paling mendasar, yaitu pertama, ranah kultural. Pada ranah ini politik dilakukan dengan cara memberikan pendidikan kepada masyarakat agar memiliki kesadaran kritis untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Kesadaran ini sangat penting untuk terus menjaga kesinambungan atau keselarasan hubungan antarmanusia dengan lingkungannya.

Misalnya, dengan memberikan hadiah jika masyarakat sudah membuang sampah pada tempatnya atau tidak membuang sampah di sungai. Peraturan yang ada sekarang hanya dari sisi pemerintah sebagai pihak yang selalumelgalkan tindakannya. Aturan yang ada tidak diterapkan sesuai yang dibuatnya. Sebagai contoh, peraturan larangan membuang sampah dengan denda uang atau penjara. Masyarakat sudah apatis melihat peraturan tersebut karena ketika masyarakat membuang sampah tidak di tempatnya, dia tidak terkena sanksi seperti yang tertulis di peraturan.

Kedua, ranah struktural. Pada ranah ini politik dilakukan dengan memberikan sentuhan pengetahuan lingkungan, baik pada para elite (birokrat, pemuka agama, dan para pemimpin partai politik) dan kaum kapitalis (pengusaha) agar tidak bersikap pragmatis dalam mengambil kebijakan pembangunannya, tetapi pembangunan yang selaras dengan lingkungan. Birokrat dalam membuat perizinan untuk mendirikan suatu usaha atau bangunan seharusnya tidak hanya melihat dari sisi keuntungan materialnya, tetapi lebih dilihat pada sisi dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Demikian halnya dengan kaum pengusaha perlu terus-menerus disadarkan bahwa pembangunan yang berbasis lingkungan lebih bernilai ekologis (jangka panjang), dibandingkan dengan pembangunan yang tidak selaras dengan lingkungan karena dampak yang ditimbulkan akan lebih besar dan tidak bisa dinilai dengan uang.

Ketiga, politik lingkungan bekerja dalam ranah bagaimana para elite politik membuat kebijakan ekologis yang demokratis. Kebijakan ekologis yang demokratis menyangkut partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan karena pada dasarnya masyarakatlah yang bersentuhan langsung dengan lingkungannya. Model ini bisa dipercaya karena pada dasarnya masyarakat memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap lingkungannya.

Dengan kecerdasan politik lingkungan, Pemkot Semarang diharapkan mampu untuk meminimalkan atau bahkan mewujudkan Kota Semarang yang bebas banjir. Semoga saja. Kita semua berharap agar manusia dapat hidup selaras dengan lingkungannya.

Anna Yulia Hartati Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang



Post Date : 01 Desember 2007