Banjir dan Politik Agraria

Sumber:Kompas - 16 Februari 2009
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Dalam dua tahun terakhir, banjir besar dengan eskalasi yang amat luas menjadi bencana paling nyata di negeri ini.

Bisa dikatakan lebih nyata daripada ancaman bencana perubahan iklim global yang dalam waktu sama mendapat perhatian lebih besar.

Banjir sepertinya telah diperlakukan sebagai ”anak tiri” bencana yang kurang diperhatikan meski korbannya amat besar. Media memberitakan banjir besar di berbagai daerah hampir setiap hari belakangan ini, tetapi banjir tetap saja diperlakukan seperti ”anak tiri”.

”No way”

Di antara prestasi pemerintahan SBY-JK dalam menangani bencana ketimbang pemerintahan sebelumnya, banjir justru datang seperti air bah yang tak terbendung. Hampir tak ada solusi jitu di antara harapan pemerintah untuk mengatasi banjir secara fundamental.

Ataukah sebenarnya tak ada keberanian? Mengingat pemerintah pun paham di antara masalah yang paling berat adalah menghadapi rakyat yang ”lapar tanah”; mereka yang menggarap lahan-lahan bantaran sungai dengan tanaman singkong.

Pada dekade 1980-an, Lembaga Ekologi Unpad di bawah (alm) Otto Soemarwoto menjelaskan, tanaman singkong adalah mesin penggembur tanah. Penelitian ekologi-manusia di bawah Tim Ekspedisi Bengawan Solo-Kompas (2008) kembali menjelaskan hal serupa.

Pemerintah juga tidak buta saat melihat puncak-puncak bukit gundul total dan digerogoti rakyat ”lapar tanah”. Diyakini, pemerintah juga amat paham besarnya tingkat sedimentasi di berbagai daerah aliran sungai karena kegemburannya sehingga menjadi masalah banjir yang paling menonjol.

Danau, waduk, situ, sungai, kanal, bahkan parit di depan rumah kita pun tak lepas dari besarnya tingkat sedimentasi. Pemerintah paham, ruang air kian sempit meski acap kali berpikiran terbalik dengan mengkhawatirkan jumlah sungai di Ibu Kota yang mencapai 13, padahal seharusnya kurang banyak.

Bagaimana solusinya? Transmigrasi seperti memindahkan penduduk desa di Gunung Merapi yang terkena letusan tahun 1961 ke Way Jepara ataukah program Indonesia Menanam, mengeruk waduk, sungai, dan menambah jumlah waduk baru?

Penataan agraria

Banjir sebenarnya merupakan bukti kelambanan pemerintah melakukan penataan agraria. Bisa dibayangkan, sekitar 120 juta penduduk Indonesia kini berjejal menempati ruang sempit seluas seperempat daratan Indonesia karena tiga perempatnya (120 juta hektar) dikuasai negara dalam bentuk kawasan hutan.

Adilkah pemerintah memperlakukan penduduknya yang terbesar kelima di dunia itu hanya dengan menempatkannya dalam seperempat daratannya? Sementara itu, separuh kawasan hutan yang dikuasai telah dipertaruhkan kelestariannya kepada pengusaha hutan melalui konsesi HPH, HTI, pengusaha perkebunan, atau dibiarkan gundul dan terbakar?

Rakyat kecil menjadi korban banjir; tempat tinggalnya terendam air, areal persawahan gagal panen, tambak hancur, anak- anak terserang penyakit, bahkan menimbulkan korban jiwa. Banjir seharusnya menjadi peristiwa kemanusiaan yang menuntut tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya.

Patut disayangkan tak satu pun muatan kampanye calon presiden kini menyuarakan penataan agraria. Bukan semata untuk mengantisipasi banjir, tetapi juga memberi ruang (tanah) lebih luas kepada petani miskin. Bagaimana mungkin seorang calon presiden akan menyejahterakan petaninya jika rata-rata penguasaan lahannya hanya sekitar 0,25 hektar?

Negeri ini seharusnya sudah mencapai masa untuk tidak lagi menumpukan pembangunan pada sumber daya hutan. Hutan yang tersisa sudah saatnya dijadikan area konservasi, selebihnya yang memadai untuk diproduksi, didistribuskan secara adil kepada rakyat melalui sistem social forestry.

Di berbagai negara di Asia, rakyat melalui kelembagaan social forestry bisa dipercaya menanam sengon dan pohon lain untuk mencukupi kebutuhan industri pulp dan kertas. Adapun lahan hutan yang cocok untuk persawahan bisa dikelola untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Mengatasi banjir sebenarnya juga merupakan cara untuk melakukan penataan terhadap persoalan agraria. Tinggal kemauan pemerintah untuk mengubah haluan pembangunan dari yang semula bertumpu pada sumber daya hutan menjadi sumber daya manusia di sekitar hutan. Gutomo Bayu Aji Peneliti Muda Bidang Ekologi-Manusia pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI



Post Date : 16 Februari 2009