|
Banjir lokal pada Jumat, 1 Februari 2008, melumpuhkan Jakarta. Hal ini sekali lagi membuktikan kegagalan Pemprov Jakarta mengatasi problem tahunan ini. Hampir tidak ada upaya serius membenahi kemampetan drainase dari penumpukan sampah. Jutaan warga terjebak dalam kemacetan lalu lintas, termasuk Presiden Susilo Bambang Yu- dhoyono. Di sisi lain, kelima wilayah kota madya Jakarta itu menduduki peringkat ke-2 hingga ke-6 kandidat peraih Adipura 2007-2008 setelah kota madya Palembang. Wilayah yang membabat hutan mangrove terluas di dunia (puluhan ribu ha) itu tinggal tersisa 25 hektare, mendapat penilaian baik untuk Adipura dari pemantauan tahap I oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), 2007-2008. Sementara setahun lalu, pada 2006, WHO menempatkan Kota Jakarta pada peringkat ketiga kota terpolutif di dunia setelah Kota Meksiko dan Bangkok. Juga banjir di jalan tol Bandara Soekarno-Hatta telah merusak reklame "Visit Indonesia Year 2008" di mata turis mancanegara. Ratusan penerbangan batal. Ribuan penumpang pesawat telantar. Padahal, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Amdal yang diperkuat oleh Keputusan Menteri Negara LH No. 14 Tahun 2003 sekali lagi menyatakan reklamasi dan revitalisasi 2.700 hektare pantai utara Jakarta tidak layak dan tidak boleh dilanjutkan. Lalu, apa yang salah dengan penilaian Adipura ini? Salah satu jawabannya adalah kepatuhan pada kebijakan amdal nasional. Menneg LH Rachmat Witoelar mengatakan, pembangunan kawasan pantura Jakarta tanpa amdal nasional. Untuk kepatuhan pada amdal nasional dan manajemen terhadap banjir harus diberi penilaian tersendiri. Menyimak persoalan di kota-kota saat ini adalah banjir rutin akibat penggundulan hutan. Kita berharap Jakarta sebagai simbol negara berada di depan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sekaligus teladan bagi kota lain dan kebanggaan kita semua. Kita prihatin melihat perkembangan Jakarta jauh tertinggal dibanding kota-kota dunia lainnya. Padahal, potensinya sangat layak untuk berkembang.
Memotivasi Berhasil Usaha Menneg LH sebenarnya cukup berhasil memotivasi daerah/ kota berlomba memperebutkan Adipura Award. Pemerintah daerah berebut mendapatkan predikat pengelolaan lingkungan hidup yang baik (Good Environmental Governance-GEG) atau Tata Praja Lingkungan itu. Permasalahannya, bisakah momen ini dipakai Menneg LH untuk mendesain kota-kota di Indonesia tidak hanya berwawasan lingkungan, tetapi menjadi kota-kota taman yang indah, bebas banjir, dan berkelas internasional? Untuk itu, penilaian harus juga melibatkan pemantau independen. Perlu juga dijelaskan filosofi dasar Tata Praja Lingkungan itu? Apakah bersih hanya sekadar membersihkan sampah ataukah hijau hanya sekadar menanam 10 juta pohon? Penilaian harus diperluas mencakup tingkat polusi, standar rasio Ruang Terbuka Hijau (RTH), drainase terkoneksi, komposisi taman dan jenis tanaman, standar luasan pedestrian, pencahayaan, revitalisasi bantaran kali, danau, situ, dan lainnya. Pada pelaksanaan di lapangan, secara tehnis, penilaian terhadap pemanfaatan sampah yang diberi bobot tiga (3) sangat tidak inovatif. Sementara untuk pengelolaan TPA diberi bobot 10. Ibaratnya pisau, ketajamannya masih kurang untuk menggertak kota-kota berbenah diri. Penilaian ini pula yang menempatkan Kota Bekasi, yang menjadi "lumbung" sampah Jakarta, pada peringkat 13, dan Kota Tangerang di peringkat ke 14 kandidat Kota terjorok 2007-2008. Kita semua tahu, keberadaan kota sebagai hunian tidak dapat dipisahkan dari masalah sampah dan keberadaan RTH. Penanganan sampah terkini haruslah berbasis composting dengan bio activator baik di TPA maupun di rumah tangga. Warga kota harus bisa memilah antara sampah organik dan non-organik, membuat sumur resapan, bio-pori dan melakukan 3R (reduse, reuse dan re-cycle) menjadi kompos organik. Hal ini harus diberi penilaian tinggi. Juga penilaian terhadap hutan kota yang diberi bobot tiga (3) dan taman kota yang diberi bobot tujuh (7) tidak merangsang pemerintah daerah membenahi kualitas lingkungannya. Untuk perbaikan rasio RTH dan penataan taman haruslah diberi penilaian tinggi. Hal ini sebagai bukti kuatnya komitmen pemerintah pusat memperhatikan kesehatan warganya. Fungsi pohon sebagai produsen oksigen merupakan jantung paru-paru kota yang belum tergantikan. Sebagai perbandingan, satu hektare RTH mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari. Setiap jam, satu hektare dedaunan hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang dihembuskan oleh napas 200 manusia selama sejam. Apabila penanaman pohon-pohon tidak memperhitungkan kemampuan tanaman menyerap polutan, akibatnya bisa fatal. Gas-gas CO2, SO2, O3, NO2, CO, dan timbal (Pb) akan terus kita hirup karena tidak terserap oleh tanaman. Dan sangatlah mungkin warga kota akan terkena resiko kemandulan, infeksi saluran pernapasan atas, stres, mual muntah, pusing, kematian janin, keterbelakangan mental anak-anak, dan kanker kulit, di samping bisa tertimpa banjir.
Trembesi Soal kehebatan menyerap polutan, trembesi (Samanea saman) itu jagonya. Hal ini telah dibuktikan Dr Ir Endes N Dahlan, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang meneliti 43 jenis tanaman penghijauan. Ukuran daun trembesi memang mungil, tak lebih dari koin Rp 100. Namun, ia paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Dalam setahun sebuah pohon trembesi mampu menyerap 28.488,39 kg karbondioksida. Meski daun trembesi kecil, secara keseluruhan lebih banyak jumlahnya ketimbang daun jati yang lebih lebar. Ukuran daun yang kecil membuat sinar matahari dapat menjangkau daun-daun di bagian dalam tajuk. Di wilayah yang kerap tergenang, trembesi juga tepat. Air akan cepat surut karena perakaran trembesi menyerap air. Bila pemerintah memilih pohon berkanopi mirip payung itu mungkin pro- gramnya bukan menanam 10 juta pohon, tapi cukup 500.000 pohon. Sebenarnya, persoalan banjir di Jakarta tidak sekadar drainase, sampah dan hutan mangrove. Wilayah Jakarta yang hampir 40 persen di "bawah laut" bertipologi seperti Kota Amsterdam. Tidak memungkinkan air mengalir dengan gravitasi ke laut. Solusinya, tehnologi polder yang paling tepat. Ahlinya adalah Belanda. Jadi, tidak perlu malu bertanya sekalipun pernah dijajah 350 tahun. Laju penurunan muka tanah yang berkisar 3-4 cm/tahun akibat penyedotan air tanah yang terus-menerus, 20 tahun ke depan akan menurunkan muka tanah Jakarta sekitar 60-100 cm. Gubernur Ali Sadikin, pada 1973, sudah merancang jejaring polder. Pemerintah Belanda telah menyodorkan rencana proyek polder pasca-banjir 2002. Tetapi, semua itu belum diterapkan hingga kini! Kita harus berkaca pada Singapura. Bagaimana cara menghijaukan hampir semua sudut kota. Pedestriannya luas dan Singapura sangat disiplin mengurus sampah. Kesegaran udara begitu terasa di sana meski berbagai jenis kendaraan lalu lalang. Juga Kota Tokyo, sekalipun penduduknya terpadat di dunia (20 juta orang) masih terlihat pohon sakura di hampir tiap sudut kota. Dan Kota Beijing, yang dulunya jorok, sekarang telah membenahi diri dengan perang terhadap sampah dan menjernihkan sungai-sungainya. Semua itu bisa dijadikan contoh. Apabila itu semua dilakukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah, maka idaman kita, sebuah kota taman yang indah dan bebas banjir tidak sekedar impian.
Amir Haddad Pengamat masalah lingkungan, lulusan IPB, Bogor Post Date : 22 Februari 2008 |