|
Kutacane, Kompas - Banjir yang membawa longsoran bebatuan dan batang pohon-pohon yang menerjang empat desa di Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 26 April 2005 tengah malam, terjadi akibat kerusakan hutan di kawasan lindung Serbo Langit. Meski demikian, pihak Kementerian Negara Lingkungan Hidup belum dapat memastikan bahwa kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh aktivitas penebangan di kawasan hutan lindung yang sekaligus sebagai Kawasan Ekosistem Leuser. Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang meninjau lokasi, Rabu (11/5), merasa masih perlu meninjau dari udara untuk menelusuri penyebab yang pasti. "Saya bermaksud membawa satu tim untuk secara intensif melihat dari udara dan memotret kawasan itu. Hal ini perlu untuk menemukan penyebab bencana yang begitu besar," ungkap Rachmat kepada wartawan yang menyertai kunjungannya. Dalam kunjungan beberapa jam di desa-desa yang terkena bencana, Rachmat disertai tiga anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu Ami Taher dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nizar Dahlan dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, dan H Iedil Suryadi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Mereka mengunjungi lokasi bersama Bupati Aceh Tenggara Armen Desky dan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Arsyiah Arsyad. Rachmat mengakui pihaknya telah memiliki data awal mengenai dugaan perusakan lingkungan dengan penebangan di kawasan lindung. Akan tetapi, data dari lembaga swadaya masyarakat itu masih perlu pembuktian di lapangan. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Wiratno juga belum dapat memastikan bahwa aktivitas penebangan menjadi biang keladi banjir dan longsor. "Mungkin saja," jawabnya singkat. Beberapa warga di sekitar lokasi bencana yang ditemui Kompas mengungkapkan bahwa di kawasan lindung Serbo Langit terjadi penebangan. Mereka menyadari bahwa penggundulan hutan di perbukitanlah yang mengakibatkan bencana banjir dan longsor tersebut. "Kalau melihat dampak dari banjir dan longsor yang begitu dahsyat, tentu ada sesuatu yang terjadi di atas sana. Untuk mengetahui penyebabnya, harus cari dari mana pangkalnya," kata Rachmat. Banjir dan longsor menewaskan 14 orang, dan seorang balita hingga saat ini belum ditemukan. Di empat desa 69 rumah hilang tersapu banjir dan longsor dan 25 lainnya rusak. "Hal yang paling mendesak bagi masyarakat korban bencana adalah tempat tinggal. Mereka sudah tinggal di tempat pengungsian selama 15 hari," kata Camat Badar, Rajidun Pelis, di tengah 148 keluarga yang ditampung di gedung SD Lawe Beringin. Menanggapi kondisi warga itu Rachmat meyakinkan bahwa pemerintah akan mengupayakan permukiman yang layak bagi mereka. "Mereka tidak mungkin kembali ke tempat semula yang sudah tertimbun batu dan batang pohon. Karena itu mesti diupayakan tempat yang lebih baik, meski memang sulit karena wilayah yang datar tidak begitu luas," tutur Rachmat. Pelakunya harus dipenjara Mengenai kemungkinan terjadinya penebangan liar (illegal logging) di kawasan lindung, Rachmat mengatakan, "Jika hal itu benar terjadi, hukumannya harus berlipat kali karena dilakukan di kawasan lindung. Apalagi kalau itu ternyata terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser." Iedil Suryadi dari Komisi VII DPR secara tegas mengatakan pelaku perusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana yang begitu dahsyat harus diusut secara tuntas. "Pengusutannya harus serius dan sanksinya harus tegas, tidak boleh main-main. Mereka yang terlibat harus dipenjara," kata Iedil. Nizar dan Ami pun sepakat bahwa perusakan lingkungan merupakan kejahatan yang serius karena menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat banyak. Berdasarkan pengamatannya selama di lokasi, mereka pun menyimpulkan telah terjadi penebangan liar di kawasan lindung itu. "Dari potongan kayu yang terbawa longsor terlihat bahwa itu batang-batang hasil tebangan. Karena banyaknya pohon yang ditebangi, maka pohon-pohon yang masih berdiri dari kejauhan sudah tampak batangnya. Itu semua mengindikasikan terjadinya penebangan liar di kawasan lindung itu," ungkap Ami. Keduanya pun mengaku mendapatkan informasi keterlibatan berbagai pihak dalam penebangan liar. "Kalau dugaan keterlibatan aparat pemerintah daerah maupun anggota DPRD setempat terbukti benar, mereka harus bertanggung jawab. Seharusnya mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu sudah salah," tutur Nizar. Secara terpisah, Pejabat Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Bambang Antariksa mengatakan, maraknya kegiatan penebangan liar di kawasan tersebut terlihat dari banyaknya kilang penggergajian kayu (sawmill) dan pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu (IPHHK). Ia menyebutkan sedikitnya 12 sawmill dan 10 IPHHK yang beroperasi secara ilegal di wilayah Aceh Tenggara. "Dari mana mereka mendapatkan kayu kalau bukan dari kawasan lindung dan taman nasional," ujar Bambang, seraya mendesak pemerintah agar serius mengatasi masalah tersebut. (LAM) Post Date : 13 Mei 2005 |