Banjir dan Adaptasi Penduduk

Sumber:Kompas - 26 April 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Banjir di musim hujan merupakan persoalan klasik yang rutin menimpa Cekungan Bandung akibat meluapnya Sungai Citarum. Persoalan banjir tersebut sesungguhnya bukan hal baru. Contohnya, pada tahun 1931 terjadi banjir besar akibat luapan Sungai Citarum yang menggenangi sekitar 9.300 hektar Cekungan Bandung (Asdak, 2002).

Sekitar 50 tahun berikutnya, banjir kian sering dan genangannya makin meluas, sejalan dengan kian rusaknya lingkungan di daerah aliran Sungai (DAS) Citarum hulu dan kondisi iklim yang tidak normal. Misalnya, pada 1984, dampak banjir meningkat lima kali, yaitu menggenangi sekitar 47.000 hektar. Pada 1986 banjir di Cekungan Bandung mengakibatkan sekitar 20.000 rumah tenggelam dan kerugian mencapai Rp 10 miliar. Demikian pula hingga tahun 2007-pada akhir musim hujan (April)-ketika hujan mengguyur DAS Citarum hulu, air Sungai Citarum meluap kembali dan merendam daerah-daerah permukiman di Cekungan Bandung, seperti Dayeuhkolot (Tribun Jabar, 16/4/2007).

Namun, bagi sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran Sungai Citarum-antara Majalaya dan Dayeuhkolot-dengan proses adaptasi mereka dengan lingkungannya, timbunan sedimen atau lempung akibat banjir tersebut dapat dimanfaatkan untuk membuat bata secara berkelanjutan.

Banjir Sungai Citarum disebabkan berbagai faktor yang sangat kompleks, antara lain iklim tidak normal, seperti curah hujan tinggi dan perilaku manusia yang kurang bijaksana dalam memperlakukan lingkungannya. Salah satu faktor akibat tindakan manusia antara lain telah terjadinya perambahan hutan di Gunung Wayang-Windu, DAS Citarum hulu.

Kerusakan hutan di Gunung Wayang-Windu tersebut sebenarnya telah berlangsung lama. Namun, kerusakan hutan tersebut makin meningkat ketika terjadi krisis moneter tahun 1997. Akibat krisis moneter, program tumpang sari yang dilarang sejak 1986 diizinkan lagi oleh Perum Perhutani pada 1998.

Setelah lima tahun program itu berjalan, pada 2003 telah tercatat sekitar 1000 petani masuk program itu. Meski demikian, sekitar 1500 petani penggarap hutan Gunung Wayang-Windu belum masuk binaan Perum Perhutani. Akibatnya, hutan itu digarap petani legal dan ilegal yang tidak menjadi peserta program. Karena itu, tak heran apabila lahan hutan di Gunung Wayang-Windu dengan luas total 2.750 hektar, sekitar 1.500 hektar di antaranya rusak berat karena dirambah oleh sekitar 2.500 penggarap usaha tani sayur.

Konsekuensinya, timbul peningkatan air larian dan banjir di bagian hilir-di Daerah Cekungan Bandung-yang dapat merugikan penduduk. Selain itu, rusaknya hutan dan konversi lahan agroforestri tradisional juga dapat meningkatkan erosi tanah dan sedimentasi. Hal itu bisa menyebabkan pendangkalan Waduk Saguling dan mengurangi umur waduk itu sebagai pemasok listrik.

Banjir Sungai Citarum memberikan berbagai kerugian bagi penduduk lokal. Namun, dengan upaya pengembangan strategi adaptasi penduduk lokal dengan lingkungannya, banjir tahunan Sungai Citarum dapat memberikan manfaat bagi sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran sungai itu.

Sebagai contoh, ribuan penduduk yang bermukim di pinggiran Sungai Citarum-antara Majalaya dan Dayeuhkolot-mengusahakan industri bata dengan bahan dasar sedimen atau lempung yang dibawa banjir dari daerah hulu.

Di antara ribuan pengusaha industri bata tersebut, tercatat lebih kurang 150 kepala keluarga berada di Desa Rancakasumba, Kecamatan Solokan Jeruk (sebelum pemekaran masuk Kecamatan Majalaya).

Di Desa Rancakusumah, usaha pembuatan bata telah berlangsung cukup lama, dimulai sekitar tahun 1970.

Kendati usaha industri bata telah menjadi pekerjaan pokok sebagian orang, kegiatan tersebut secara umum dipengaruhi kegiatan pertanian sawah dan musim. Pada masa-masa sibuk usaha tani sawah-Januari/Februari dan Oktober/November-biasanya kegiatan pembuatan bata agak menurun.

Kegiatan pembuatan bata umumnya meningkat di musim kemarau. Sebab, bahan dasarnya berupa sedimen atau lempung banyak terkumpul usai banjir di musim hujan-setelah bulan April-Mei. Pada saat itu, sedimen atau lempung sisa-sisa banjir banyak terkumpul di daerah-daerah pinggiran Sungai Citarum.

Perbandingan bahan-bahan untuk 3 kubik lempung adalah 1 kubik tanah darat, 1 karung huut, dan 1 karung lebu. Agar bahan-bahan tadi tercampur baik dan menjadi halus, biasanya bahan tersebut diinjak-injak (ngaluluh). Ngagaley taneuh untuk menghasilkan 1000 bata biasanya dikerjakan dua pria. Bahkan, dengan makin berkembangnya usaha bata tersebut, sejak tahun 2004 ngaluluh tanah bisa menggunakan mesin. Satu mesin tepung atau mesin bajak dimodifikasi menjadi mesin luluh tanah, dengan harga sekitar Rp 3,5 juta per mesin bekas.

Dari 4 kubik sedimen atau lempung dapat dihasilkan sekitar 5.000-6.000 bata. Di musim kemarau, setiap bulan rata-rata 10.000 bata dibakar dalam lio. Namun, di musim hujan pembakaran biasanya hanya dilakukan sekali dalam 2-3 bulan.

Untuk keperluan pembakaran, setiap 1.000 bata biasanya perlu 7-8 karung sekam padi. Setiap karung berisi sekitar 20 kilogram sekam padi, dengan harga dari tempat penggilingan padi berkisar Rp 3.500-Rp 4.000 per karung.

Adapun biaya yang dikeluarkan meliputi upah menginjak-injak tanah Rp 25 per satu bata, dan ongkos cetak Rp 20 per satu bata. Apabila menggunakan mesin, ongkos tersebut perlu ditambah lagi untuk membeli solar. Untuk menghasilkan 5.000 bata dibutuhkan 3 liter solar, dengan harga Rp 4.300 per liter.

Bata dijual terutama kepada para pemilik toko material yang datang ke pembuat bata. Saat harga murah, harga bata biasanya berkisar Rp 90.000 per 1.000 buah. Namun, sewaktu harga mahal, harga jualnya rata-rata Rp 150.000-Rp 160.000 per 1.000 bata.

Dengan adanya pengembangan strategi adaptasi manusia dengan lingkungannya, banjir tahunan Sungai Citarum dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran Sungai Citarum, antara lain dengan membuat bata dari bahan dasar lempung dan sedimen dari banjir sungai tersebut.

JOHAN ISKANDAR Staf Dosen Biologi FMIPA dan Peneliti PPSDAL Lemlit Unpad

Post Date : 26 April 2007