Bandung, Kompas - Banjir yang melanda Bandung Selatan serta Kota dan Kabupaten Karawang sulit ditanggulangi akibat parahnya kerusakan lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citarum.
Sebanyak 78 persen dari 718.269 hektar (ha) luas total Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan hutan rakyat yang rusak karena sebagian besar sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian semusim.
”Penanganan Citarum memerlukan pihak seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Aceh yang secara khusus menangani bencana. Dengan demikian, penanganan banjir tidak tumpang tindih sehingga terintegrasi,” tutur Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Lex Laksamana, Kamis (25/3). Lex berharap badan khusus ini bersifat lintas sektoral yang khusus menangani persoalan Citarum.
Berdasarkan data dari Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, hanya 22 persen atau 158.174 ha dari luasan DAS Citarum yang merupakan hutan negara. Hingga tahun 2009, hutan negara di wilayah Bandung Selatan yang masih dirambah warga seluas 840 ha. Jumlah itu berkurang dibandingkan dengan luasan hutan yang dirambah pada 2003 yang mencapai 15.000 ha. Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan sendiri membawahkan 55.446 ha hutan negara.
Perbukitan di hulu sepanjang DAS Citarum umumnya gundul. Itu seperti terpantau di wilayah hulu Citarum, Gunung Wayang, Jumat, yakni di wilayah Kecamatan Kertasari dan Pacet, Kabupaten Bandung, Jabar. Tegakan pohon di sebuah bukit hanya bisa dihitung dengan jari. Ladang wortel, kentang, dan sayur-mayur mendominasi.
John Novarly, Sekretaris Unit dan Legal Head Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, mengakui, pengaturan lahan milik rakyat sukar dilakukan. ”Karena itu adalah tanah milik, warga tidak bisa dipaksa untuk menanami dengan pohon sebagaimana bisa dilakukan di hutan negara.”
Padahal, lahan yang berada di wilayah hulu itu semestinya menjadi kawasan tangkapan air. Kebutuhan ekonomi dan pertambahan penduduk membuat warga menjadikan lahan milik itu sebagai lahan pertanian sayur satu musim, semisal wortel, kol, kentang, dan bawang daun. Alih fungsi lahan itu telah terjadi selama puluhan tahun.
Di Situ Cisanti yang menjadi sumber mata air Sungai Citarum, menurut Ayi Iskandar, Kepala Desa Tarumajaya, Desa Kertasari, tak serimbun 30 tahun lalu. ”Tahun 1995 bahkan hampir gundul karena dirambah warga, tetapi pada 2003 mulai ditanam kayu keras lagi,” kata Ayi.
Berbagai sektor rugi
Akibat semua itu, eskalasi banjir semakin meningkat dan membawa dampak ikutan berupa kerugian ekonomi yang cukup besar. Limpasan air Citarum selain menggenangi permukiman juga merendam sejumlah pabrik di Cekungan Bandung.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar Ade Sudradjat mencatat, potensi kerugian akibat banjir tahun ini paling tidak mencapai Rp 60 miliar.
Banjir juga merusak lumbung pangan nasional di Karawang. Dalam 11 hari, banjir Citarum di Karawang, hingga Minggu, menurut Kepala Dinas Pertanian Karawang Nahrowi Muhamad Nur, telah menggenangi sedikitnya 961 ha padi usia 1-100 hari yang tersebar di tujuh kecamatan, yakni Teluk Jambe Timur (260 ha), Teluk Jambe Barat (192 ha), Pakisjaya (342 ha), Ciampel (121 ha), Batujaya (32 ha), Klari (5 ha), dan Karawang Barat (9 ha).
Namun, kalangan petani di hulu Citarum enggan mengganti sayuran dengan tanaman kayu keras. Alasannya, sayur-mayur hasilnya lebih menggiurkan. Dani Ramadani, salah satu petani, mengakui, pemerintah belum proaktif mengajak mereka menanam pohon tegakan.
”Mereka bisa panen 35 ton kentang dalam sehektar lahan. Ini jauh lebih besar dibandingkan bertanam di daerah hilir yang hanya 20 ton,” ujar Ahmad Iksan, Sekretaris Desa Tarumajaya.
Alih fungsi lahan di daerah tangkapan air Citarum disertai pemanfaatannya tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Tanaman sayur ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 45 derajat dan tanpa sengkedan. Ketika hujan turun, tanah pun tergerus dan langsung terbawa air masuk kembali ke dalam sungai.
Selama bertahun-tahun hal itu terjadi sehingga menimbulkan sedimentasi atau pendangkalan sungai. Citarum pun mudah meluap ketika hujan deras karena daya tampungnya mengecil.
Citarum mengairi irigasi pertanian seluas 300.000 ha di wilayah Jabar. Ada tujuh daerah yang bergantung pada debit air Citarum sebagai sumber air baku, yakni Bandung, Cimahi, Cianjur, Purwakarta, Bekasi, Karawang, dan Jakarta.
Jika kerusakan lingkungan terus terjadi serta pepohonan di bagian hulu Citarum semakin sedikit dan tak mampu menyuplai air bagi debit sungai, Dinas Kehutanan Jabar memprediksikan kerugian mencapai triliunan rupiah.
Sebanyak 300.000 ha sawah yang tak terairi berpotensi merugi Rp 5,25 triliun per tahun. Belum lagi potensi kehilangan Rp 20 triliun dari kerugian pembangkit listrik. Sektor perikanan juga diprediksi merugi Rp 50 miliar per tahun jika Citarum rusak.
Pendangkalan rusak PLTA
Ada tiga PLTA yang diairi Citarum, yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Manajer Sipil dan Lingkungan PT Indonesia Power Pitoyo mengatakan, pencemaran yang terus berlanjut di Citarum memperburuk kualitas air di Waduk Saguling. Akibatnya, mesin dan peralatan pembangkit listrik lebih cepat mengalami korosi.
Debit air yang berkurang akibat rusaknya daerah tangkapan air juga berpotensi mengganggu kinerja turbin pembangkit listrik.
Bahkan, sedimentasi yang terus berlanjut di Saguling memperpendek usia waduk. Usia pemanfaatan Waduk Saguling yang airnya dimanfaatkan PT Indonesia Power, misalnya, kini diperkirakan tinggal 25 tahun lagi atau hanya 50 tahun. Padahal, waduk yang dibangun pada 1985 itu didesain untuk bisa beroperasi selama 56 tahun. Hal yang sama menimpa Waduk Cirata dan Jatiluhur di hilirnya.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam kunjungannya ke wilayah banjir di Kelurahan Baleendah, Kabupaten Bandung, Kamis lalu, mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar memungkinkan negara mengambil alih lahan telantar yang tidak dikelola oleh warga. ”Pemerintah bisa menghutankan kembali lahan telantar,” ujarnya.
Ia pun telah meminta Pemerintah Provinsi Jabar agar mendata lahan telantar yang berpotensi dihutankan kembali. Upaya itu juga akan disertai dengan dialog untuk mengajak warga menanam tegakan pohon di lahan milik mereka.
Kementerian Kehutanan menyanggupi berapa pun permintaan bibit untuk penghijauan di hulu Citarum. ”Saya bisa menyiapkan 10.000-20.000 bibit, tetapi semua tergantung kesadaran warga pemilik lahan,” kata Zulkifli.
Belum tegas
Ahli hidrologi kehutanan dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, menyatakan, pemerintah harus tegas menegakkan aturan tentang larangan alih fungsi lahan. Apalagi, ada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Budidaya Buah dan Sayur yang Baik. Aturan itu mensyaratkan penanaman sayuran dan buah semusim hanya boleh dilakukan pada kemiringan lahan kurang dari 30 derajat.
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWS) dalam jangka pendek akan melanjutkan tahapan normalisasi Citarum meliputi pengerukan dan pelebaran. Kepala BBWS Mudjiadi mengatakan, tahun 2011 akan ada 44 kilometer bagian sungai yang dinormalisasi. Biayanya sekitar Rp 320 miliar, dengan dana pinjaman dari Jepang.
Tahun 1994-2007, BBWS telah menormalisasi Citarum sepanjang 70 kilometer. Total pinjaman dari Jepang saat itu 8 miliar yen. (NIT/REK)
Post Date : 29 Maret 2010
|