Banjir Boroskan Pupuk

Sumber:Kompas - 08 November 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Semarang, Kompas - Banjir yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan berisiko memboroskan penggunaan pupuk urea bersubsidi. Pemupukan ulang pascabanjir bisa membuat permintaan akan pupuk terus meningkat, sementara stok alokasi pupuk bersubsidi tidak serta-merta bisa ditambah.

Kepala Stasiun Klimatologi Semarang Mochamad Chaeran, Jumat (7/11) di Semarang, Jawa Tengah, mengatakan bahwa sifat hujan di wilayah Jateng pada November 2008 adalah normal. Namun, Jateng bagian barat— juga wilayah selatan—kemungkinan curah hujannya bisa tinggi.

”Curah hujan tertinggi lebih dari 600 milimeter bisa terjadi di Baturraden, Kabupaten Banyumas. Untuk wilayah pesisir utara, sebagian curah hujan 100-200 milimeter. Begitu pula halnya daerah sebagian Wonogiri, Klaten, dan Sukoharjo bagian barat.

Terkait dengan itu, C Winarko dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jateng mengemukakan, penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani di daerah rawan bencana banjir rata-rata cukup tinggi.

Hal tersebut bisa dilihat dari alokasi pupuk bersubsidi yang dikeluarkan PT Pusri. Di Kabupaten Demak, misalnya, alokasi pupuk bersubsidi sekitar 30.000 ton. Adapun di Pati dan Sukoharjo alokasi pupuk rata-rata 30.000 ton sampai 45.000 ton.

Elmon Anwar dari PT Pusri mengemukakan, salah satu penyebab kelangkaan pupuk bersubsidi di daerah tertentu adalah petani melakukan pemupukan ulang pada tanamannya.

”Pemupukan ulang dilakukan setelah lahan padinya terkena banjir. Dengan pemupukan ulang memicu permintaan meningkat, padahal stok alokasi pupuk bersubsidi tidak bisa otomatis ditambah pada daerah tertentu,” katanya.

Sasaran luas tanam padi di Jateng seluas 1.160.111 hektar. Puncak tanam pada November 2008 seluas 233.561 ha dan Desember 2009 seluas 351.933 ha.

Bendung rusak

Akibat terjangan banjir, bangunan Bendung Kemadu di Desa Pucanganom, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, rusak. Kondisi tersebut membuat 96 hektar sawah kelak bakal terancam kekeringan karena debit air mengalir sangat kecil.

Kejadian tersebut bermula dari adanya banjir besar yang melanda Sungai Blongkeng pada hari Senin lalu. Peristiwa tersebut menyebabkan bangunan penyangga senderan utama Bendung Kemadu roboh dan tanah urukan senderan longsor di dua titik.

Banjir besar tersebut juga menyebabkan senderan bendung Kemadu setinggi 4 meter retak-retak dan rentan ambrol.

”Jika senderan ini sampai roboh, otomatis air hanya akan tertahan di Sungai Blongkeng dan tidak mengalir ke Desa Pucanganom,” ujaar Pujar Wanto, Kepala Desa Pucanganom.

Air dari saluran irigasi bagi petani setempat sangat dibutuhkan. Sebab, untuk awal tanam, guyuran air hujan dirasa kurang mencukupi kebutuhan bagi pertumbuhan benih.

Memasuki musim hujan, banjir dan longsor juga mulai mengancam sejumlah daerah di Jawa Timur. Akibatnya, warga setempat kini resah.

Korban jiwa

Sebagaimana di daerah-daerah lain, longsor dan banjir di Kabupaten Lumajang terjadi pada musim hujan. Di awal musim hujan yang mulai jatuh pada akhir bulan Oktober lalu, setidaknya sudah dua bencana terjadi.

Kejadian terakhir terjadi pada 5 November malam. Hujan deras selama tiga jam, mulai pukul 17.00-pukul 20.00, mengguyur hampir seluruh wilayah Kabupaten Lumajang.

Longsor dan banjir pun terjadi di tiga kecamatan, yakni Tempursari, Pronojiwo, dan Rowokangkung. Seorang warga dari Kecamatan Tempursari dilaporkan meninggal dunia. Boiren (60), korban tersebut, meninggal akibat akibat terseret banjir.

Mengacu pada laporan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Lumajang, bencana tersebut merusak 42 rumah warga dan mengikis dam dan tanggul desa. (WHO/HAN/EGI/HLN/LAS/NIK)



Post Date : 08 November 2008