Banjir Batavia, Banjir Kanal, dan Van Breen...

Sumber:Kompas - 05 Februari 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Banjir datang lagi! Jakarta bagaikan pulau yang terkurung air. Ketika banjir datang, seperti biasa, para pejabat sibuk mencari alasan. Sementara masyarakat menyalahkan pembangunan perumahan baru yang tidak terkontrol, seolah bagaikan lingkaran yang tidak ada ujungnya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan Batavia (baca: Jakarta) 89 tahun lalu. Pada waktu banjir tanggal 19 Februari 1918, kala itu hampir seluruh Jakarta terendam air. Di antaranya Straat Belandongan, Kali Besar Oost, Pinangsia, Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grogol, Kebon Jeruk, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng Kapuran, dan Kampung Tangki. Air rata-rata setinggi dada.

Juga Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sari, Angke, Pekojan, dan lain-lain. Jakarta bagaikan lautan air. Di Jakarta waktu itu juga sedang dilanda wabah kolera. Setiap hari, 6-8 orang masuk rumah sakit.

Melihat kondisi seperti itu, 19 Februari 1918 pukul 19.15, Gemeenteraad Batavia (baca: DPRD) langsung mengadakan sidang paripurna. Dalam rapat hadir Wali Kota Bischop dan 14 anggota DPRD. Selain itu, hadir pula Herman van Breen, ahli tata air Jakarta.

Dalam rapat tersebut, Schotman, anggota DPRD, mencecar Bischop dengan beberapa pertanyaan. Di antaranya, apakah sudah disalurkan bahan makanan dan obat-obatan di tempat pengungsian yang terletak di Pasar Baru, Gereja Katedral, dan sebelah barat Molenvliet.

Van Breen juga ditanya, apakah jika banjir kanal sudah selesai dapat mengatasi banjir? Breen mengatakan tidak menjamin bila banjir kanal selesai Jakarta akan terbebas dari banjir. Ternyata itu benar karena pada tahun-tahun berikutnya Jakarta masih kebanjiran. Sebab, sesungguhnya banjir kanal dan keberadaan pintu air Manggarai hanya merupakan pengalihan wilayah banjir.

Banjir yang tadinya biasa melanda daerah Weltevreden dan Menteng beralih ke Manggarai dan daerah Jatinegara. Karena memang proyek banjir kanal dan pintu air Manggarai yang (ketika itu) sudah terletak di luar kota, diprioritaskan untuk menanggulangi banjir wilayah Jakarta yang luasnya hanya 162 kilometer persegi.

Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi sekarang, maka yang dikatakan oleh Van Breen sama dengan yang dikatakan oleh para pejabat sekarang. Pembangunan banjir kanal timur yang sudah diwacanakan sejak 1970-an dan baru selesai sekitar tahun 2008 juga tidak menjamin Jakarta bebas banjir. Mengapa?

Ketika wacana proyek banjir kanal timur direalisasikan, kondisi Jakarta sudah banyak perubahan, terutama dalam penggunaan tata guna lahan. Sekarang ini Jakarta sudah dikepung oleh kota-kota penyangga di sekitarnya. Tentu hal ini telah menutup wilayah kedap air, dan akhirnya ketika hujan turun air akan langsung menjadi aliran sungai dan tak meresap ke dalam tanah. Alhasil, wilayah banjir sudah semakin luas dan semakin ke selatan, di luar Bekasi dan Tangerang.

Dalam peristiwa 2 Februari 2006, wilayah paling banyak dilanda banjir adalah Jakarta Selatan (sembilan wilayah), diikuti Jakarta Timur (8), Jakarta Barat (7), Jakarta Utara (6), dan Jakarta Pusat (3). Selain itu, juga wilayah Bekasi dan Tangerang (Kompas, 3 Februari 2007).

Dilihat dari data ini, banjir kanal yang dibangun oleh Van Breen memang berhasil melindungi wilayah Jakarta Pusat. Dalam Masterplan Jakarta 1965- 1985 itu pun orientasinya sebagian besar masih untuk melindungi Jakarta Pusat. Sementara banjir kanal timur sebagian besar untuk melindungi wilayah bagian timur. Banjir kanal timur pun hanya mampu menanggulangi banjir untuk sementara waktu, jika tak diikuti penataan air dengan cakupan lebih luas.

Untuk itu, sudah waktunya dipikirkan membangun kanal atau waduk penampungan yang berada di luar di wilayah Jakarta atau di selatan Jakarta. Hal ini berguna untuk mengendalikan air yang masuk Jakarta saat musim hujan maupun musim kemarau. Sudah tidak waktunya lagi jika hanya menyalahkan pembangunan vila di Puncak, karena terbukti saat banjir tanggal 2 Februari 2007 pintu air di Katulampa masih dalam kondisi normal. Itu artinya, penyebabnya adalah daerah di bawah kawasan Puncak.

Banjir memang sudah terjadi dan rupanya itu sudah menjadi langganan bagi penduduk Jakarta, yang katanya dulu disebut queen from the east. Masyarakat seolah tidak berdaya menghadapi banjir, pemerintah pun seolah-olah juga begitu. Ketika air surut dan penduduk kembali ke rumah masing-masing, bahaya air juga sudah dilupakan sampai musim banjir tahun berikutnya.

Apa yang kemudian terjadi? Masyarakat lalu "dipaksa" menyiapkan dirinya sendiri menghadapi banjir. Tengoklah yang dilakukan penduduk di daerah Bukit Duri saat banjir datang. "Bantuan Tak datang, Warga Bentuk Satgas" (Kompas, 3/2).

Dalam kondisi seperti ini diperlukan sikap kedermawanan dari masyarakat lain. Sudah waktunya modal sosial yang ada di masyarakat dipupuk terus untuk membantu masyarakat lain.

Ada beberapa yang dapat diberdayakan untuk membantu warga masyarakat: mulai dari lembaga swadaya masyarakat, pribadi-pribadi, dan juga partai politik. Partai politik sudah waktunya memberi pembelajaran kepada masyarakat untuk segera bergerak memberi bantuan. Partai politik jangan hanya sibuk pada waktu setahun sebelum dan sesudah pemilu. Sekarang inilah saatnya membuktikan peranan partai, yakni ketika jauh dari waktu pelaksanaan pemilu.

Kalau penduduk Jakarta pada saat banjir tahun 1918 saja sibuk dengan memberikan bantuannya berupa bahan makanan, obat-obatan, dan tempat pengungsianjuga mendirikan Smerofonds, sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu masyarakat yang terkena banjir, dibentuk tahun 1916 dan diketuai oleh De Nijs Bikmaka sikap filantropi juga harus ditumbuhkembangkan oleh segenap masyarakat kita sekarang ini.

Restu Gunawan Mahasiswa S3 Jurusan Sejarah UI dan Pegawai Departemen Budpar



Post Date : 05 Februari 2007