BANDUNG, KOMPAS - Eskalasi banjir tahunan yang semakin besar di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dipicu oleh semakin parahnya kerusakan lingkungan di kawasan lindung dan hulu Sungai Citarum. Karena itu, Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis di Jabar yang dianggarkan Rp 25 miliar per tahun dinilai hanya berorientasi proyek.
Hingga hari Minggu (21/2), banjir di kawasan Bandung Selatan tetap belum mereda. Air bah yang menggenangi permukiman warga belum juga surut. Ketinggian air di permukiman masih sekitar 3 meter.
Penyaluran bantuan bagi korban banjir di Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung, juga belum merata. Dikdik Jamaluddin (34), warga Desa Dayeuhkolot, menuturkan, ia tidak memperoleh bantuan makanan dari kecamatan ataupun dermawan.
Cucu Wartini (49), juga warga Dayeuhkolot, mengaku harus bertahan di rumah saudara, dan tidak memperoleh bantuan. ”Mungkin saya tidak dihitung oleh pihak kecamatan,” kata Wartini.
Sementara di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), banjir menggenangi 90 rumah warga Desa Sumbersari, Kecamatan Kayen.
Proyek
Ahli hidrologi kehutanan dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, Minggu, di Bandung, menilai, pemerintah tidak tegas menindak pelaku alih fungsi lahan yang memicu erosi besar-besaran dari hulu Citarum. Kedua, penanaman pohon di kawasan lindung dan kawasan hulu sia-sia karena tidak dilakukan dengan perencanaan matang.
Dari tahun ke tahun, menurut Chay Asdak, wilayah hutan lindung di Jawa Barat (Jabar) belum bertambah. Luas kawasan lindung di Jabar saat ini sekitar 760.000 hektar (ha) atau 20 persen dari total luas provinsi 3,8 juta ha. Jumlah itu belum ideal dengan luas yang dianggap memadai, yakni 1,71 juta ha atau 45 persen dari luas Jabar.
”Miliaran rupiah dana GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) sebaiknya jangan hanya dipakai untuk seremonial penanaman pohon. Pemerintah kurang memberdayakan masyarakat untuk turut menjaga pohon- pohon itu,” ujar Chay.
Pemerintah selaku pembuat kebijakan dinilai hanya membeli bibit dan langsung menanamnya di hutan tanpa mempertimbangkan kemungkinan bibit-bibit itu dicabut oleh petani yang merasa dirugikan karena penghijauan tersebut. Oleh karena itu, perlu didorong penerapan sistem pertanian yang memerhatikan nilai-nilai konservasi.
Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin, mengatakan, perilaku masyarakat yang belum sadar lingkungan di sisi lain memperparah dampak banjir. ”Banyak selokan yang semestinya menjadi jalan air, tertutup sampah. Akibatnya, memicu air meluap,” ujarnya.
Banjir bandang Kendeng
Hingga Minggu pagi, suasana Desa Sumbersari, Kabupaten Pati, masih dirundung duka. ”Dari lima rumah yang jebol, barang- barang elektronik rusak dan dua ekor sapi masing-masing berharga Rp 9,5 juta terbawa arus. Banjir baru berangsur surut sekitar pukul 21.00,” kata Anggo Purnomo, tokoh masyarakat Dukuh Ngalingan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati,
Hujan deras selama dua jam, Sabtu pukul 18.00, mengakibatkan Sungai Ngalingan di Desa Sumbersari, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, banjir bandang. Banjir bandang itu menjebol lima dari 90 rumah warga yang kebanjiran di Dukuh Ngalingan di lereng Pegunungan Kendeng.
Anggo menjelaskan, begitu air sungai bah naik setinggi 50 sentimeter, warga segera mengungsi. Banjir besar disertai suara gemuruh datang dari atas bukit dan menerjang permukiman penduduk di kanan-kiri sungai.
Anggo dan warga setempat mengharapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati segera memberikan bantuan kepada warga yang kebanjiran—terutama yang rumahnya rusak—misalnya, dengan memberikan uang untuk perbaikan rumah.
Secara terpisah, Wakil Bupati Pati Kartina Sukawati mengatakan bahwa pemerintah telah mengecek dan mendata lokasi dan keluarga yang terkena banjir bandang. Pemkab Pati akan memberi bantuan perbaikan rumah warga yang jebol. ”Kami juga sedang menunggu pencairan dana, untuk menormalisasi Sungai Juwana, senilai Rp 250 miliar,” katanya.
Hujan deras di hulu Sungai Juwana juga mengakibatkan sungai terbesar di Pati itu meluap, menggenangi permukiman dan persawahan desa-desa di Kecamatan Sukolilo, dan Gabus. Banjir terparah terjadi di Dukuh Penggingwangi, Desa Kasiyan, Kecamatan Sukolilo. Ketinggian air mencapai 40 sentimeter (cm), dan di dalam rumah 20 cm.
Kepala Desa Kasiyan, Rumaji, mengemukakan bahwa banjir menggenangi 50 rumah warga Dukuh Penggingwangi. Banjir juga merendam padi siap panen seluas sekitar 90 ha.
Curah hujan tinggi pemicu longsor terjadi di Desa Pusakamulya, Kecamatan Kiarapedes, Purwakarta, Jabar.
Pekan lalu, longsor mengakibatkan satu rumah hanyut, 16,7 ha lahan pertanian tertimbun, dan saluran air bersih rusak. Sedikitnya 40 keluarga masih mengungsi, sepekan terakhir, karena khawatir terjadi longsor lagi. (REK/HEN/MKN)
Post Date : 22 Februari 2010
|