Februari tahun lalu tiba-tiba air bah datang menerjang. Tidak pernah terjadi sebelumnya kami melihat air mengamuk menghanyutkan 24 rumah dan bangunan di kampung ini,” kata Dayat Hidayat (54), Ketua RT 1, Kampung Naringgul, Sabtu (17/1).
Banjir bandang terjadi hanya kurang dari satu jam, tetapi kerusakan yang terjadi, katanya, membuat warga terus merasa takut sampai sekarang.
Sulit dipercaya, kampung yang dilanda banjir bandang ini berada 1.200 meter di atas permukaan laut, tepatnya di sekitar Puncak, Bogor! Naringgul merupakan bagian dari wilayah administrasi Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, terletak di ketinggian lereng Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.
Ketika berjalan di sekitar Kampung Naringgul, Dayat bercerita, kampungnya terbelah oleh Sungai Cikamasan, salah satu dari puluhan sungai pembentuk hulu Ciliwung. Dalam 10 tahun terakhir, lahan seluas 2.400 meter persegi di desanya hanyut terbawa erosi sungai.
Saat banjir bandang menghantam Naringgul, dua keramba besar yang mampu menghasilkan 1,4 ton ikan setiap panen turut hancur. Hingga kini, mata pencaharian sampingan penduduk Naringgul selain sebagai petani teh ini belum bisa dibangun ulang. Pipa-pipa yang mengalirkan air dari sungai menuju rumah-rumah untuk memenuhi kebutuhan penduduk pun hanyut terbawa banjir.
Dayat juga menunjukkan cekungan lebar di dinding sungai yang terjal akibat gerusan banjir bandang dan erosi. Dinding tanah terbuka menampakkan warna coklat kemerahan, hanya sedikit ditutupi tumbuhan alang-alang dan tegakan pohon. Akibat erosi, aliran sungai pun bergeser sekitar 30 meter menjauhi batas desa dan makin menyempit saat musim kemarau tiba.
”Kalau Cikamasan saja dirusak begini, air yang mengalir ke hulu Ciliwung hingga Jakarta sudah pasti tambah merusak. Tidak heran kalau saya dengar bencana banjir di Jakarta makin sering terjadi,” kata Dayat.
Menurut dia, lahan hijau di bantaran Cikamasan yang tergerus pembangunan vila, perkebunan, dan permukiman penduduk bisa dipastikan sebagai penyebab erosi dan banjir bandang. Sampai kini, ia belum melihat ada upaya signifikan pengaturan tata guna lahan di sana.
Saat hujan mulai deras mengguyur di akhir Januari ini, kecemasan menyelimuti hati 697 warga Naringgul. Apalagi, Kamis lalu, banjir bandang kembali melanda meski hanya menghanyutkan jembatan penghubung antara RT 01 dan RT 02, Desa Tugu Utara. Jika intensitas hujan makin tinggi, itulah kecemasannya.
Dayat menambahkan, selain ketakutan akan banjir dan longsor, warga Naringgul kini tidak bisa memanfaatkan air Cikamasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sama seperti di Jakarta. Terakhir kali warga meminum air sungai ini dan memanfaatkannya sebagai sumber penghidupan sekitar akhir tahun 1990.
Kerusakan alam di kawasan Puncak makin menjadi-jadi pada era reformasi mulai tahun 1998. Terjadi pembukaan hutan dan lahan produksi besar-besaran. Bermunculan deretan bangunan vila dan kios atau warung kumuh di setiap sudut Puncak. Sampah dan limbah cair deras dialirkan ke Cikamasan maupun sungai pembentuk hulu Ciliwung lainnya, seperti Ciesek, tak jauh dari Naringgul.
Sumber air baru
”Tepat di atas kampung kami juga berderet restoran dan tempat peristirahatan. Kami dapat melihat mereka membuang air kotor atau sampah langsung ke sungai. Ya, kami tidak lagi menggunakan air Cikamasan untuk minum atau memasak. Kalau tidak terpaksa, mandi pun tidak pakai air sungai ini,” kata warga Naringgul.
Adjat (50), warga Kampung Gunung Mas yang terletak di bawah Kampung Naringgul, menambahkan, kini warga menggunakan sumber air kecil yang dialirkan dari Telaga Warna, sekitar satu kilometer dari kampung itu. Dengan iuran rutin, warga juga membangun tempat penampungan sampah sendiri.
Adjat mengatakan, sejak beralih sumber air, warga desa berupaya menjaganya agar tidak dikotori sampah atau limbah apa pun. Masalah diatasi dengan menyatukan tempat pembuangan sampah. Bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat, sampah diangkut rutin.
”Dibantu Badri Ismaya, pelopor penghijauan di bantaran sungai, warga pun digalang untuk rajin menanam pohon, mengganti yang sudah ditebang. Pokoknya, sekarang kami takut sekali terkena bencana dan berupaya bersama mengantisipasinya,” kata Adjat.
Untuk mengantisipasi banjir bandang, sejak pertengahan tahun 2008, warga setempat dan pemerintah daerah telah membangun semacam tanggul penahan arus di badan Cikamasan.
Ernan Rustiadi dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, proyek pembangunan tanggul, seperti di Naringgul, atau kanal besar, seperti banjir kanal timur di Jakarta, memang akan membantu mengurangi luasan banjir. Namun, selama akar permasalahan penyebab banjir tidak diurai dan diselesaikan, bencana banjir, erosi, longsor, bahkan kekeringan (karena tidak ada lagi air bersih) akan terus mengancam.
”Persoalannya sudah terlalu besar, tetapi pemecahannya masih parsial. Setiap pemerintah daerah di Bogor atau Jakarta punya kebijakan sendiri, yang mungkin bakal berdampak pada makin hancurnya Ciliwung. Karena tidak ada ketegasan pengelolaan bersama ini, masyarakat juga makin liar,” kata Ernan.
Semua orang, terutama pemerintah, alpa bahwa Ciliwung yang mengalir sepanjang 100 kilometer lebih ini butuh penanganan bersama, kebijakan yang seragam. Banjir bandang di Naringgul hanya satu pesan, sebuah pembuka dari bencana besar yang mengancam jika manusia tetap bertahan dengan perilaku buruknya. (ONG/MUK/ELN/ LKT/MZW/WAS)
Post Date : 18 Januari 2009
|