Banjir, antara Musibah dan Anugerah

Sumber:Kompas - 19 Desember 2006
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Bagi masyarakat di Kampung Pulau Pandan, Kelurahan Legok, Kecamatan Telanai, Kota Jambi, banjir sudah merupakan rutinitas tahunan. Sehingga mereka sama sekali tak pernah berniat meninggalkan kampung itu dan berdamai dengan alam. Musibah banjir bahkan dianggap sebagai suatu anugerah.

Banjir memang bikin repot. Pada tahun 2003 yang merupakan puncak bencana banjir di Jambi, banjir sempat merendam ratusan rumah hingga ketinggian 1,5 meter.

Bekasnya pun masih tampak, menyisakan garis kecoklatan di rumah Neni (22), salah seorang warga yang rumahnya berdinding bata dan bercat warna kuning. Banjir saat bahkan masuk ke rumah-rumah panggung milik warga setempat.

Pada saat banjir datang, dapat dipastikan masyarakat tentu terganggu, apalagi mata pencarian mereka banyak yang hilang karena banjir. Andi Putra (26) misalnya, yang mencari nafkah sebagai tukang ojek, terpaksa mengungsikan motornya di atas Jembatan Sungai Sipin. Bahkan, dia terpaksa harus mengeluarkan uang Rp 5.000 setiap hari untuk petugas penjaga motor.

"Jadi narik ojek sudah tidak bisa kalau keadaannya banjir. Saya malah harus mengeluarkan uang buat mengungsikan motor," ujar Andi.

Kegiatan belajar-mengajar di sejumlah sekolah dekat kampung itu biasanya juga akan diliburkan sementara karena ruangan kelas terendam air. "Banyak kegiatan yang terganggu karena banjir ini," tutur Fatmawati (43), warga setempat.

Tetap bertahan

Kampung Pulau Pandan memang sangat rawan banjir karena diapit dua sungai sekaligus, Batanghari dan Sipin. Namun jangan heran, warga selalu bertahan setiap luapan air sungai menggenangi rumah mereka.

Jarang ada warga yang mau mengungsi keluar kampung. Yang rumahnya lebih rendah paling-paling akan numpang sementara di tetangganya yang berumah panggung.

"Setiap rumah di kampung ini punya perahu sendiri-sendiri. Kalau banjir mulai datang, kami tetap dapat keluar masuk kampung pakai perahu," ujar Neni.

Sejak satu-dua pekan terakhir, warga disibukkan memperbaiki perahu-perahu yang bocor. Malah, ada yang membuat perahu baru lagi sebagai cadangan.

Damar (16), remaja setempat, mengaku memanfaatkan musibah banjir ini dengan menjadi penarik perahu bersama teman-teman seumurannya. Damar berkeliling kampung membawa perahu kecil berkapasitas lima orang, lalu menarik penumpang sampai ke tempat kering.

Setiap penumpang dipungut biaya Rp 1.000 untuk satu kali perjalanan. "Penghasilannya lumayan, saya bisa mendapat Rp 30.000 dalam sehari," tuturnya.

Damar dan temannya juga memancing ikan. "Kalau banjir, sekolah libur. Jadi, selain narik perahu, saya suka mancing. Sekali mancing bisa dapat ikan satu ember," tambahnya.

Banjir tak selamanya harus diterima sebagai musibah. Buktinya, warga Kampung Pulau Pandan bisa menerima banjir sebagai suatu anugerah. (IRMA TAMBUNAN)



Post Date : 19 Desember 2006