|
Jakarta, Kompas - Bencana alam banjir dan longsor kini mengancam Pulau Jawa. Kerusakan hutan yang parah diperkirakan tidak akan mampu menahan guyuran hujan yang terus-menerus turun di seantero pulau berpenduduk hampir 130 juta jiwa ini. Setelah banjir bandang yang menewaskan 51 warga di Kabupaten Jember, Jawa Timur, tanah longsor menimbun Kampung Gunungrejo di Kecamatan Banjarmangu, sekitar 15 kilometer arah utara kota Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (4/1) dini hari. Dari lima rukun tetangga (RT) di kampung yang berpenduduk 655 jiwa itu, hanya RT 5 yang selamat dari musibah. Sampai Rabu petang, sebanyak 16 penduduk ditemukan tewas. Tercatat 91 penduduk dinyatakan hilang. Namun, jumlah korban, seperti diungkapkan Kusmedi, Kepala Kampung Gunungrejo, diperkirakan sekitar 200 orang. Direktur Utama Perum Perhutani Transtoto Handadhari mengakui banyak hutan Perhutani di Jawa gundul akibat penjarahan sejak era reformasi yang bisa menimbulkan potensi bencana. Di seluruh Jawa 60 persen hutan Perhutani berpotensi sangat rawan bencana di luar kawasan, sedangkan 40 persen lainnya di dalam kawasan. Karena itu, kami berusaha mempercepat reboisasi yang tahun ini kami targetkan seluas 101.000 hektar. Sementara untuk target jangka panjangnya, sampai tahun 2010 tidak ada lagi kawasan hutan Perhutani yang kosong, ujar Transtoto di Jember, Rabu. Menteri Kehutanan MS Kaban membenarkan, secara nasional luas hutan yang dipastikan gundul mencapai 59,2 juta hektar, dari total luas hutan 120,35 juta hektar. Lahan yang gundul ini berpotensi menimbulkan bencana alam, misalnya banjir bandang dan tanah longsor, seperti yang terjadi di Jember dan Banjarnegara itu. Tidak hanya di Jawa, hujan lebat yang berlangsung sore hingga malam hari berpeluang terjadi di wilayah selatan khatulistiwa Indonesia, seperti Bali dan Nusa Tenggara, sepanjang Januari hingga awal Februari. Selain itu, hujan lebat juga diperkirakan terjadi di Palembang, Jambi, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Tingginya curah hujan di wilayah itu disebabkan adanya pertemuan angin barat yang membawa banyak uap air dari daratan Asia dengan angin timur dari Benua Australia. Ahmad Zakir dari Badan Meteorologi dan Geofisika, di Jakarta kemarin, menjelaskan, terbentuknya zona konvergensi antartropis merupakan hal yang wajar terjadi pada musim hujan. Badai yang tumbuh di sekitar perairan Teluk Carpentaria, sebelah selatan Laut Timor, selatan Jawa, maupun sebelah barat daya Sumatera, akan memberi peluang pertemuan awan hujan sepanjang Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tengara, dan Sulawesi Selatan. Badai tersebut juga akan memperkuat angin barat sehingga pertumbuhan awan hujan di Pulau Jawa juga cenderung meningkat. Sementara itu di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akibat meluapnya Sungai Juwana 2, hubungan lalu lintas Kecamatan Sukolilo dengan Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, melalui jalur alternatif terputus. Akibatnya, selain 67 keluarga (307 jiwa) Desa Kasiyan, Kecamatan Sukolilo, diungsikan, seluas 150 hektar tanaman padi yang dua minggu mendatang akan dipanen pun terbenam, sehingga kemungkinan akan puso. Kerugian per hektar rata-rata lebih dari Rp 7,5 juta. Di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sebanyak 80 rumah (sekitar 50 rumah di antaranya rusak) dan 85 hektar tambak di Dusun Sarakan, Desa Tambaksari, Kecamatan Tirtajaya, terendam pascahujan dan air laut pasang. Kerugian akibat kejadian itu diperkirakan Rp 620 juta. Hujan yang turun selama satu hari satu malam membuat beberapa kawasan di Kota Cilegon, Provinsi Banten, tergenang. Akibatnya, puluhan rumah dan ruas jalan protokol terendam serta arus lalu lintas Cilegon-Anyer terganggu. Kemarin, beberapa bagian ruas Jalan Raya Ciwandan terendam air. Setidaknya terdapat empat titik genangan setinggi 50-75 sentimeter. Genangan terpanjang, mencapai 500 meter, terjadi di Kampung Jublin, Kelurahan Tegalratu, Kecamatan Ciwandan. Terlambat mengantisipasi Tanah longsor dan banjir lumpur di Banjarnegara terjadi pada saat sebagian warga Gunungrejo sedang shalat subuh dan sebagian warga bersiap menjalankan aktivitas sehari-hari. Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika di Desa Kalilunjar, Banjarmangu, sebenarnya sudah menangkap adanya getaran tanah, tetapi warga yang sudah memperoleh firasat dari alam dan kentungan tanda bahaya (titir) sepertinya mengabaikan peringatan alam, ujar Kusmedi, kepala kampung yang kehilangan istri dan empat keponakannya. Menurut Kusmedi, di Gunungrejo terdapat 102 rumah yang dihuni 185 keluarga. Kini perkampungan seluas empat hektar itu berubah menjadi dataran. Bukit Pawenihan yang longsor memiliki ketinggian sekitar 200 meter dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Namun, sumber malapetaka berasal dari balik bukit tersebut, yakni dari perbukitan bekas hutan lindung milik Perhutani Banyumas Timur dengan tanaman rasamala gundul akibat dijarah. Bekas lokasi jarahan itu dijadikan lahan tanaman tumpang sari dan kebun pisang program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Bukit dengan struktur tanah gembur tidak mampu menahan air hujan yang terus mengguyur daerah ini. Hujan telah mengubah lahan perbukitan itu menjadi lumpur yang kemudian menggelontor perbukitan rendah. Menurut laporan versi Bupati Banjarnegara M Djasri maupun Wakil Bupati Hadi Supeno, jumlah korban yang hilang tinggal 91 orang. Namun, Kusmedi memperkirakan penduduk yang hilang sekitar 80 keluarga atau sekitar 200 orang. Regu penolong dari Polri, TNI AD dari Banjarnegara dan daerah tetangga, SAR, dan PMI, yang mendapat bantuan enam peralatan berat, melakukan pencarian korban. Namun, upaya ini bukan pekerjaan mudah karena tinggi timbunan lumpur dan tanah longsor 5-8 meter pada areal empat hektar. Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto dan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Dody Sumantiawan, Rabu sore, meninjau lokasi musibah. Gubernur memberikan bantuan Rp 250 juta. (NTS/WSI/SUP/D03/D08/ NTA/OTW/YUN) Post Date : 05 Januari 2006 |