|
Jambi, Kompas - Banjir yang kini kembali melanda sejumlah kawasan di Provinsi Jambi disebabkan adanya 2,1 juta hektar lahan kritis di daerah aliran Sungai Batanghari. Kerugian yang dialami warga bukan hanya secara fisik berupa kerugian harta dan benda. Banjir yang sulit diprediksi datangnya dan melanda tiga kali dalam satu tahun itu juga memiliki dampak luas secara sosial. Masyarakat menjadi sulit untuk merencanakan kegiatan sosial, bercocok tanam, dan sebagainya. Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Mahendra Taher, mengemukakan hal itu kepada Kompas, Rabu (6/4). "Dari laporan Badan Pengelola DAS (daerah aliran sungai) Provinsi Jambi diketahui tutupan hutan di kawasan DAS Batanghari tidak ada lagi dan harus segera ditanam atau direboisasi," ujar Mahendra. Menurut pemantauan Kompas, banjir di sebagian Kota Jambi dan Muaro Jambi pada Rabu kemarin mulai surut. Automatic water level recorder (AWLR) yang ditempatkan di Sungai Batanghari mencatat tinggi permukaan Sungai Batanghari 13,98 meter di atas permukaan laut (dpl). Sehari sebelumnya, Selasa (5/4), alat yang sama mencatat ketinggian air 14,00 meter dpl. "Banjir mulai surut. Kini ketinggian air sekitar 25 sentimeter dari lantai rumah saya. Namun, kami masih cemas karena lahan dan pekarangan masih terendam. Anak-anak harus dijaga agar tidak jatuh masuk air, dan ke mana-mana susah," kata Delima (23), penduduk Kelurahan Arab Melayu, Kecamatan Pelayangan, Jambi. Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Jambi John Eka Powa menyebutkan, di kotanya terdapat 28 sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) yang terendam dan muridnya diliburkan. "SD yang terendam dan diliburkan adalah SD 66, SD 142, SD 142, SD 101, SD 67, SD 69, dan SD 209 di Kecamatan Telanaipura. Lima SD dan satu SMP (SMP 23) di Kecamatan Jambi Timur, 10 SD di Kecamatan Pelayangan, serta enam SD di Kecamatan Danau Teluk," ungkap Eka Powa. SD dan SMP itu sudah libur sejak akhir Maret lalu. Meskipun di Kota Jambi banjir mulai surut, di Kecamatan Kumpeh Ulu, Maro Sebo, dan Kumpeh Ilir banjir masih menggenangi lahan, pekarangan, dan cekungan. Masih pendekatan biofisik Mahendra mengungkapkan, hingga kini DAS masih dilihat dengan pendekatan biofisik. DAS dilihat dari segi dan daya tampung air, sedangkan masyarakat yang ada di kawasan DAS hanya dijadikan objek. "Pilihan pemanfaatan teknologi di DAS, seperti membangun bendungan, bronjong, turap pengaman, dan lainnya, biayanya mahal," katanya. Banjir akibat meluapnya Sungai Batanghari akhir Maret dan awal April 2005 ini, menurut Mahendra, sungguh mengagetkan karena merupakan akibat dari penyimpangan cuaca yang cukup jauh. "Sepanjang DAS Batanghari di Provinsi Jambi, mulai dari Sarolangun, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, hingga Kota Jambi, dilanda banjir, yang disebabkan kerusakan lingkungan berupa lahan kritis yang sangat luas," katanya. Biasanya, banjir yang sampai menenggelamkam rumah penduduk terjadi pada Desember dan Januari. Kalaupun ada pergeseran, umumnya pada Februari. Akan tetapi, pada tahun ini banjir tertinggi terjadi pada April sekarang. Di Kota Jambi ketinggian air sempat mencapai 14,10 meter dpl. Menurut Mahendra, pendekatan pengelolaan yang dianggap cocok untuk masa depan terhadap DAS Batanghari adalah melalui sistem pendekatan bioregion, dengan menjadikan masyarakat yang tinggal, mencari nafkah di kawasan DAS sebagai subjek dari pengelolaan DAS itu sendiri. "Perlu masterplan yang jelas, lengkap, dan rinci dalam pengelolaan DAS Batanghari. Ada institusi, organisasi, peraturan, partisipasi dari daerah, dan manusia di sepanjang DAS menjadi pelaku utama pengelolaan dengan ciri-cirinya sendiri," urai Mahendra. (nat) Post Date : 07 April 2005 |