|
SOREANG, (PR).- Anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung akan menemui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (25/3), untuk membicarakan penanganan bencana banjir dan longsor yang kerap terjadi di lima kecamatan di Kab. Bandung. Sejak tahun lalu Bappenas mencanangkan pembuatan terowongan air di Sungai Citarum yang diperkirakan dapat mengatasi banjir dan longsor. "Kami akan menanyakan perkembangan rencana pembuatan terowongan air. Selama ini, mereka telah melakukan riset mengenai hal itu. Jika terowongan air benar-benar efektif untuk mengatasi bencana, kami ingin agar projek tersebut cepat terlaksana," ujar Sekretaris Komisi C DPRD Kab. Bandung, Moch. Ikhsan, Minggu (23/3). Ia menuturkan, persoalan sungai Citarum merupakan masalah nasional. Sehingga 70% rencana utama Sungai Citarum ada di Bappenas. "Selain itu, kami pun akan menemui Dirjen Sumber Daya Air setelah ke Bappeda untuk membicarakan rencana penanganan bencana di Kabupaten Bandung juga," tutur Ikhsan. Tidak setuju Menanggapi rencana pembuatan terowongan air, pakar lingkungan, Ir. Soepardiyono Sobirin, anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menyatakan ketidaksetujuannya mengenai hal tersebut. Pembangunan terowongan air di Sungai Citarum tidak akan menyelesaikan masalah. "Nantinya bisa jadi masalah baru untuk Jawa Barat," katanya, Minggu (23/3). Ia mengungkapkan hal itu karena berkaca dari gagalnya projek pelurusan Sungai Citarum yang pernah dikerjakan pemerintah untuk mengatasi bencana banjir setiap tahun di Kabupaten Bandung. Namun, Sobirin menyatakan, sebenarnya pelurusan sungai merupakan satu alternatif yang baik untuk mengatasi masalah Citarum. "Tapi butuh biaya yang sangat besar untuk mewujudkan hal tersebut karena pemerintah tidak siap dari sisi pendanaan, rencana itu malah memperparah kondisi sungai Citarum," tuturnya. Selain pelurusan Sungai Citarum, cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi bencana banjir dan longsor. Pertama, merelokasi warga yang tinggal di sekitar Sungai Citarum. Kedua, menjalankan kehidupan secara harmonis dan bersahabat dengan alam. "Cara pertama tidaklah efektif karena biaya dan keengganan warga untuk dipindahkan yang mungkin terjadi. Namun bersahabat dengan alam bisa jadi alternatif terbaik," tuturnya. Ia mengatakan, manusia harus menyesuaikan diri dengan tempat tinggalnya. Misalnya, warga yang tinggal di pinggir sungai harus membuat rumah panggung agar terhindar dari genangan air sewaktu curah hujan tinggi. Bersahabat dengan alam berarti menyeimbangkan kehidupan dengan memerhatikan kelestarian alam sekitar. "Saat ini dialog antara pemerintah, pengusaha, dan warga hampir tidak ada. Padahal hal itu harus dilakukan sekarang juga," kata Sobirin. (CA-164) Post Date : 24 Maret 2008 |