Bangga Menjadi Abdi di "Kerajaan Sampah"

Sumber:Kompas - 25 September 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Cerita soal pemulung selalu dikisahkan secara pilu dan banyak orang luar menganggap sang pelaku pasti membeberkannya dengan "malu-malu". Anggapan itu salah, minimal tidak relevan lagi sekarang ini. Sampai saat ini yang relevan soal deskripsi pemulung hanya satu: mereka tetap bau tapi masih terus mau berjibaku.

Pemulung kini bisa tegak berdiri menyatakan eksistensi sebagai pembersih bumi paling setia dan konsisten. Mereka akan gembira jika diminta menceritakan perjalanan hidupnya menjadi pemulung.

Salah satu anak pemulung yang antusias adalah Husni Thamrin, anak Abdul Rahman Jambor, bos khusus sampah plastik air minum dalam kemasan. Berkat bisnis sampah ayahnya, Husni mampu meraih gelar sarjana ekonomi dari perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Walaupun sudah menjadi pemuda metropolitan, lulus kuliah Husni justru memperkuat jajaran bisnis sampah keluarga. Dia mendirikan CV Mandiri Sejahtera Islami yang bergerak dalam daur ulang plastik dan juga modifikasi engineering membuat mesin pencacah plastik.

Walaupun bergelar sarjana ekonomi, Husni mampu membuat mesin pencacah dengan harga relatif murah. Awalnya memang merekrut orang teknik, namun akhirnya dia bisa membuat sendiri mesinnya. "Mesin pencacah di tempat ayah saya itu saya yang buat," katanya.

Sudah dua contoh mesin dia buat dan jika ada pesanan dia bisa memproduksi lagi. "Harganya hanya Rp 30 juta, itu sudah termasuk mesin tarik. Di pasaran harganya lebih dari Rp 40 juta lho," kata Husni.

Walaupun bergelut dengan sampah, sosok Husni tampil trendi dengan mobil sedannya. Tak kalah dengan pemuda kota umumnya. Menjadi anak bos pemulung yang bergulat bersama ribuan pemulung bau lainnya, justru membuat Husni bangga karena tidak semua anak mendapat pengalaman berharga seperti itu.

Kini Husni berkeinginan mengabadikan kisahnya dalam cerita film. "Saya sedang menawarkan kisah saya untuk difilmkan. Intinya soal perjalanan pendidikan anak pemulung hingga sukses, pendidikan itu penting bagi kelanjutan kehidupan yang lebih baik," katanya.

Kepasrahan pemulung

Tidak hanya bos dan anak bos pemulung yang bangga mengisahkan hidupnya. Para pemulung kecil juga antusias mengisahkan pilihan hidup mereka memungut sampah. Banyak pemulung mengisahkan, keterlibatan mereka memungut sampah bukan karena terdampar, melainkan karena penghasilan memulung melebihi upah minimum regional (UMR).

Lasmiah (43) merasa beruntung menjadi pemulung di Bantar Gebang. Selain mendapat bayaran dari bos, Eti juga sering dapat "bonus" dari sampah. Contohnya, sejak menjadi pemulung, dia tidak pernah membeli pakaian baru. Sampah telah menyediakan segalanya.

Dia sering memperoleh barang-barang bagus yang masih bisa dipakai. Ia sering menemukan pakaian, sendok, mainan anak, bahkan spring bed dari sampah-sampah itu. Sebagian besar barang yang masih bagus dicuci dan digunakan kembali oleh Lasmiah.

"Tuh baju anak saya juga diambil dari sampah. Masih bagus kan?" ujarnya seraya menunjuk baju anak berwarna merah muda yang tergantung di dinding, tak ada rasa minder justru bangga dengan baju-baju yang dipungut dari sampah itu.

Lasmiah mengaku, walau tinggal di gubuk sempit, dia merasa lebih sejahtera dibandingkan dengan sesamanya di kampungnya, yaitu Karawang. Di kampung dulu dia tidak punya apa-apa, miskin hanya menggantungkan dari buruh serabutan yang tak bisa diharapkan.

"Sekarang mau masak nasi gampang, tinggal colokin rice cooker aja, mateng deh. Padahal dulu di kampung harus cari kayu bakar, mau pakai kompor tidak punya duit beli minyak tanah. Di sini masak dengan listrik, listriknya dibiayai bos. Semua biaya hidup di sini ditanggung bos dulu baru nanti bayaran kita dipotong. Sekarang mah hidup kami sudah terjamin," kata Lasmiah.

Seperti Lasmiah, Eti juga bersyukur hidup sebagai pemulung. Semua kebutuhan hidupnya, kata Eti, tercukupi. Sejak menjadi pemulung, Eti tidak pernah lagi membeli pakaian baru. "Saya sering menemukan pakaian, masih bagus-bagus. Saya sudah punya empat setel nih yang model terusan begini. Lumayan buat ganti-ganti kalau ngaji juga kondangan," kata Eti, masih dengan nada bangga.

Hal lain yang membanggakan Eti adalah saat dia bisa pergi merayakan peringatan Isra Miraj di TMII. Di kampung, kenikmatan bisa berwisata religi itu tak pernah ada dalam angan. Ibu-ibu yang ingin ikut, kata Eti, harus menggunakan kemeja putih sebagai seragam. Nah, untunglah saat itu Eti mendapat kemeja putih yang masih seperti baru.

Dia pun bisa pergi ke TMII dan tidak ada yang mengenali bahwa baju yang dikenakannya diambil dari tumpukan sampah. "Kalau sudah dicuci bersih mah enggak ada yang tau ya. Apalagi bajunya masih seperti baru, mereknya saja masih ada," kata Eti.

Eti dan Lasmiah mengatakan, semua yang mereka pungut dari sampah bernilai uang. Setiap barang sudah ada yang menampung. Sendok, misalnya, dihargai Rp 1.000 untuk setiap empat buah. Uang Rp 50.000 yang tinggal separuh, harganya Rp 30.000, sedangkan obat-obatan jenis tertentu terjual seharga Rp 1.000 per butirnya. "Mungkin yang enggak bisa dijual cuma daun," kata Eti seraya terkekeh.

Ketua Koalisi LSM untuk Persampahan Nasional (zero waste Indonesia) Bagong Suyoto mengatakan, di TPA Bantar Gebang diperkirakan uang yang berputar setidaknya mencapai Rp 1,5 miliar per hari. Kini semua komponen sampah, mulai dari organik sampai anorganik, bisa dimanfaatkan.

Sampah organik seperti sayuran busuk bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Sekarang harga kompos juga mahal, melebihi harga sayuran. Sampah anorganik yang tak bisa diuraikan bumi seperti plastik, mainan anak-anak, botol-botol plastik, tulang, logam, pecahan kaca, dan hampir semua jenis sampah sudah bisa diproses.

Karena itulah, tak mengherankan jika 6.000 ton sampah tiap harinya yang masuk ke Bantar Gebang diperebutkan oleh sekitar 7.000 pemulung. Miliaran rupiah yang beredar di "kerajaan sampah" itu konon baru 10 persen saja karena yang 90 persen sudah tak bisa diselamatkan pemulung, dilibas alat berat untuk dipadatkan.Amir Sodikin dan Khairina

Post Date : 25 September 2006