|
GUNUNGAN sampah di sudut-sudut Kota Bandung makin hari makin bertambah tinggi saja, sejak selepas penutupan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Leuwigajah, Cimahi. Wali Kota Bandung, Dada Rosada, menegaskan, akan berupaya keras menguranginya, meskipun tidak menegaskan program dan solusi yang jelas atas masalah sampah menjelang peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA), bulan depan. Ia mengharapkan jalur jalan yang dilalui delegasi KAA dari Bandara Husein Sastranegara ke Gedung Merdeka dan Hotel Homann sudah bersih dari sampah. Wali Kota menyampaikan hal itu di sela-sela pemaparan proposal pengelolaan sampah oleh 11 investor di Hotel Grand Aquila Bandung, Rabu pekan lalu. Ia hanya berjanji pada akhir Maret jalur yang akan dilalui delegasi peringatan KAA, bersih dari sampah. "Kami terus bekerja keras agar bisa mencari solusi gunungan sampah, yang kami sendiri kesulitan mencari tempat pembuangan akhir," tutur Dada. Muchsin Al Fikri, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung meminta Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, melobi kabupaten terdekat dengan Kota Bandung untuk mau menerima sampah Kota Bandung. "Pelaksanaan KAA tinggal satu bulan lagi. Tetapi, tumpukan sampah makin menggunung di TPS-TPS (tempat pembuangan sementara) karena tidak terangkut oleh PD Kebersihan Kota Bandung. Untuk itu, Gubernur Jabar harus ikut membantu. Jangan hanya memerintah Wali Kota Bandung untuk menangani sampah itu sendirian," ujarnya. Untuk itu, lanjut Muchsin, TPA di dua daerah terdekat dengan Kota Bandung, yakni Kabupaten Bandung dan Sumedang harus mau membantu TPA-nya dijadikan tempat pembuangan sampah warga Kota Bandung. Hanya sementara, sekitar satu bulan menjelang KAA. "Saya melihat sekarang ini Pemkot Bandung sampai dibuat bingung menangani sampah-sampah itu. Parahnya lagi, dalam kebingungan itu, ada pejabat kabupaten yang menolak jika Kota Bandung membuang sampah ke TPA-nya. Itu namanya egois," tuturnya. KAA merupakan acara berskala internasional. Sebab itu, sepatutnyalah gubernur bertindak cepat. Jika kedua kabupaten itu bersedia, sampah yang menumpuk akan terangkut selama dua minggu. "Kalau perintahnya langsung dari gubernur, mau tidak mau dua kabupaten itu pasti tunduk dan patuh. Tolonglah dimaklumi, ini juga kan untuk sementara waktu," tegasnya. 11 Investor Dalam pertemuan itu, sebelas investor dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang persampahan menawarkan konsep penanganan sampah dengan berbagai macam teknologi serta pengolahan. Para investor maupun LSM umumnya menawarkan konsep pengolahan sampai dengan memperhatikan aspek lingkungan serta aspek ekonomi. Misalnya saja, sampah diolah menjadi pupuk organik yang kemudian dapat dipergunakan untuk pertanian dan itu menguntungkan. Terkait dengan pemaparan investor, menurut Dada, itu merupakan program jangka panjang pengelolaan sampah di Kota Bandung. "Kalau ada di antara investor itu yang bersedia dan mampu mengatasi situasi darurat sekarang, kenapa tidak kita memberikan kesempatan?" katanya. Pakar perencanaan kota (urban planning) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir Denny Zulkaidi, MU, mengatakan, Pemerintah Kota Bandung harus mengupayakan program darurat (crash program) untuk menangani sampah yang terus bertumpuk di Kota Bandung karena penutupan TPA Leuwigajah. Sebelumnya, sampah yang berasal dari warga Kota Bandung dibuang ke TPA Leuwigajah, namun saat ini, sesudah terjadi longsor yang mengakibatkan 143 orang meninggal, TPA itu ditutup. Sampah Kota Bandung pun akhirnya dibuang ke TPA Jelekong yang pembuangannya dibatasi dari pukul 06.00 -16.00. Hal itu mengakibatkan penumpukan sampah di hampir semua TPS. Padahal, biasanya, pembuangan sampah ke TPA Leuwigajah dapat dilakukan 24 jam. Sedangkan, TPA Cicabe dan Pasir Impun yang berada di dalam Kota Bandung, kini kegunaannya tengah dikaji kembali. Kedua TPA itu ditutup karena keberadaannya ditolak warga sekitar. "Lakukan desentralisasi kewenangan melalui aparatur sampah tingkat bawah untuk memaksimalkan partisipasi publik. Jangan malah membiarkan sampah terus menumpuk dan di sisi lain masyarakat juga diam saja," katanya. Denny menyambut positif investor yang mengajukan proposal pengelolaan sampah. "Untuk jangka panjang, pengelolaan sampah sudah saatnya tidak lagi ditangani sendiri. Pemerintah harus melakukan outsourcing dengan melibatkan pihak swasta. Pemerintah hanya berfungsi mengatur administrasi kepada siapa pekerjaan itu diserahkan." Namun, hingga saat ini tampaknya pemerintah belum memiliki kriteria serta prasarana untuk menentukan siapa yang layak mengambil alih pengelolaan. "Saya harapkan Pemkot benar-benar mampu menyaring dan menentukan kemampuan investor itu dengan kriteria yang tepat dan memperhatikan lingkungan," ujarnya. Dari 11 investor yang mempresentasikan konsep penanganan dan pengolahan sampah, PT Intra Bio Fertilizer (IBF) misalnya menyatakan keinginannya menanamkan investasi sebesar Rp 130 miliar. "Kami tidak minta pekerjaan kepada pemda, melainkan membawa dana yang siap diinvestasikan di Bandung," kata direktur keuangannya, Soerachman. Perusahaannya, katanya, sanggup membebaskan lahan untuk pengolahan sampah seluas empat hektare dan membangun infrastrukturnya, termasuk mendatangkan mesin pengolah sampah dari Kanada. Dari luas lahan itu, 1,5 hektare akan digunakan untuk mesin, sisanya akan dibangun tempat tinggal para pemulung yang ikut membantu pemilahan sampah di lokasi. Lebih Murah Sementara itu, CV Jayaningrat menawarkan konsep lain, yakni penanganan dan pengolahan sampah bukan di tempat pembuangan sampah (TPS), melainkan di hulu. Surachdin, wakil dari CV Jayaningrat menuturkan, persoalan sampah tidak bisa diselesaikan hanya di TPS, melainkan harus dari hulunya. Pasalnya, ia menambahkan, biaya penanganan dan pengolahan sampah di hulu relatif lebih murah, rata-rata Rp 200-Rp 300 juta. Sedangkan hasil pengolahan sampah bisa dijadikan pupuk organik serta bahan lainnya. "Pola itu sedang kami jajaki di Pasar Induk Caringin. Sampah pasar itu ditangani dan diolah di tempat. Itu lebih praktis," ujarnya. Tawaran senada juga disampaikan Zainal Abidin dari Koperasi Tani Bintang Artha. Ia berpendapat, pengolahan sampah menjadi pupuk organik sangat menguntungkan. Lembaganya punya pengalaman meracik pupuk organik fermentasi dengan bahan baku utama kompos. "Kalau pemerintah betul memberdayakan koperasi, sampah pun bisa ditangani koperasi," katanya. Sedangkan CD Damar Buana menyarankan penanganan sampah dilakukan per kecamatan. Cara itu lebih mudah dikontrol dan biaya yang diperlukan tidak besar. Sebab, kalau per kecamatan, lahan yang diperlukan cuma 300 meter persegi dan dapat melibatkan masyarakat setempat. Gabungan Askindo, APPKMI Jabar, AKU Jabar dan Forum RW Bandung, menawarkan konsep lain, yakni gerakan darurat penanganan sampah kota (GDPSK) dengan model bioreaktor mini skala rumah tangga. PEMBARUAN/ADI MARSIELA Post Date : 22 Maret 2005 |