|
Bandung, Kompas - Krisis air bersih yang melanda wilayah Bandung dan sekitarnya membuat kalangan industri kelabakan. Bila musim kemarau tiba, beberapa industri terpaksa membeli air dari tempat lain dan mengangkutnya dengan menggunakan tangki. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bandung Yohan Lukius dalam diskusi di sebuah stasiun radio di Bandung akhir pekan lalu mengemukakan, saat musim kemarau dia terpaksa harus membeli air di Ciseupan dan Purabaya untuk pabrik tekstil miliknya di wilayah Bandung Barat. Ini berakibat pada naiknya ongkos produksi, terlebih ketika harga bahan bakar minyak naik. Biaya yang melambung menjadi tak wajar lagi, kata Yohan. Ia mengatakan, izin pendirian industri relatif mudah didapat. Namun, setelah pabrik berdiri, izin menambah sumur tidak diberikan. Sebagai contoh, industri tekstil berkapasitas satu juta bal kain per bulan butuh 15.000- 20.000 meter kubik air. Untuk memperoleh air tanah sampai enam liter per detik diperlukan lima-enam sumur artesis. Kalau izinnya cuma dua sumur seperti sekarang, tentu saja susah, ujar Yohan. Menanggapi keluhan itu, anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat, Rahardi Zhakaria, mempertanyakan apakah industri sudah jujur dalam memperlihatkan kebutuhan airnya. Dia menyayangkan kurang terkoordinasinya pemerintah kota/ kabupaten dengan pemerintah provinsi dalam pemberian izin industri baru. Pasalnya, pemerintah provinsi sudah memetakan beberapa daerah dengan warna merah atau kritis air bersih. Kepala Subdirektorat Geologi Lingkungan Perkotaan dan Regional Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Hardoyo Rajiwiryono mengatakan, sudah saatnya memikirkan optimalisasi penggunaan air permukaan. Air tanah di cekungan Bandung saat ini terkumpul dalam ratusan tahun. Bila berkurang banyak, butuh ratusan tahun pula untuk memulihkannya. Dikatakan, akibat penggunaan air tanah yang terus meningkat, pada beberapa wilayah di Bandung selatan dan timur sudah terjadi penurunan permukaan tanah hingga 30 sentimeter. (d06) Post Date : 24 Oktober 2005 |