Ketika kami melalui jalan-jalan Kota Bandung yang tergenang cileuncang, teman saya dari Belanda berkomentar, "Aneh orang-orang di sini tidak bisa menyelesaikan persoalan banjir. Padahal, banjir seperti ini terjadi setiap tahun." Ia mengatakan itu sambil menggelengkan kepalanya. "Di Oman hujan belum tentu turun satu kali dalam setahun. Tapi, saluran airnya dipersiapkan untuk menghadapi hujan besar (banjir)."
Usia Kota Bandung menjelang 200 tahun. Namun, ibarat sosok orang tua, kondisinya semakin memprihatinkan; kinerjanya mulai repot; dan di mana-mana terdapat "borok" yang menggerogoti kondisi dan usianya. Penyakit kronis tersebut tidak dapat diobati secara tambal sulam. Perlu tindakan segera yang ampuh.
Coba tengok kota-kota tua di Eropa-sebagian adalah sisa-sisa kejayaan Romawi-semisal kota Nijmegen, Den Haag, atau Leiden di Belanda. Kota-kota tersebut boleh dibilang kota "tua-tua keladi", semakin tua semakin menjadi. Pamornya kian bersinar; duduk bersanding dengan bangunan modern; dan masih mampu menarik perhatian wisatawan mancanegara. Tidak hanya turis, penduduk setempat pun sangat bangga dengan artefak kuno tersebut.
Di tengah kota Wiena terdapat bangunan gereja tua St Pieter yang fungsinya justru lebih banyak dijadikan obyek turis ketimbang prosesi keagamaan. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa soal usia bukanlah masalah, melainkan justru berkah. "Drainage" modern
Sebagian besar kota-kota besar di Jawa, termasuk Kota Bandung, boleh dibilang replika kota ataupun gaya bangunan yang ada di negeri Belanda, atau gaya campuran , atau sering disebut gaya arsitektur indies. Maklumlah banyak orang Belanda yang masih terkenang dengan kampung halamannya.
Mereka rindu dengan kota kelahirannya. Maka, bukan hanya gaya arsitektur bangunan atau pola perencanaan kotanya, melainkan juga bagian detail-detailnya pun ditiru, dicontoh, dan diterapkan di Kota Bandung. Tidak boleh dilupakan pula jasa besar arsitek dan perencana kota Thomas Karsten dalam pembangunan Kota Bandung lama.
Kantor Pertanahan Kotapraja dan Kantor Perumahan Kotapraja Bandung (gemeente) bersama-sama merencanakan perluasan kota untuk 20 tahun ke depan! Untuk pengembangan tersebut, Kota Bandung memiliki sistem drainage modern. Jadi, cobalah cari "urat" dari drainage buatan Belanda tersebut. Mungkin ada saluran yang tersumbat sampah plastik yang menyebabkan cileuncang di mana-mana.
Meninggikan trotoir di jalan-jalan yang tergenang bukanlah pemecahan masalah yang tepat. Pola seperti ini sudah dilakukan sejak pertengahan 1980-an, yaitu meninggikan trotoir sepanjang Jalan Asia-Afrika. Mestinya menangani pokok permasalahannya, yaitu keterbatasan (atau tidak adanya) saluran air kotor yang perlu diperbaiki, atau membangun saluran pembuangan air kotor yang baru karena debit air semakin tinggi.
Air sahabat Belanda
Sumber daya air di Belanda layaknya seorang sahabat sejati bagi penduduk dan negeri tersebut. Konon dahulu kala Leiden dapat dimasuki kapal-kapal dagang hingga pusat kota. Selain itu, air pun dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan dengan cara membuat parit (singel) di sekeliling kota. Kini sisa-sisa parit pertahanan tersebut dijadikan obyek wisata. Turis asing dapat melakukan napak tilas dengan mengitarinya, melewati banyak jembatan. Saking banyaknya jembatan yang memiliki bentuk dan jenis berbeda, kota Leiden dinobatkan sebagai kota "Seribu Jembatan".
Pada zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, air dimanfaatkan secara optimal, antara lain dengan membangun irigasi. Irigasi tersebut untuk kepentingan seluruh penduduk. Untuk keperluan tersebut dibentuk departemen layanan irigasi yang mendistribusikan air ke setiap daerah secara merata. Penyaluran air dibagi untuk melayani petani dan industri-industri pertanian, seperti gula dan tembakau milik orang-orang Belanda. Tidak ada diskriminasi antara petani kecil yang notabene bangsa pribumi dan pengusaha besar Belanda.
Menyadari bahwa kota-kota di Hindia Belanda memiliki potensi air yang tinggi, dibangun pula sarana-sarana lain, seperti waduk, bendungan, dan pipa saluran bersih ataupun kotor. Tercatat pada 1919 terdapat 24 irigasi dan beberapa irigasi lain yang sedang dibangun di Jawa.
Sejumlah masyarakat Kota Bandung sedang dalam proses transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat kota. Meskipun tinggal di kota-kota besar, tidak dimungkiri masih banyak perilaku dan pemikiran ala masyarakat agraris, menggantungkan nasibnya terhadap fenomena alam.
Air hujan dianggap sebagai hal lumrah, tidak perlu dipermasalahkan secara serius, toh nanti pun akan reda dan surut. Demikian pula ketidakpeduliannya terhadap musim kemarau yang mengakibatkan sumur-sumur penduduk mengalami kekeringan. Dalihnya bahwa wayahna keur usum halodo mah hese cai. Tampaknya tidak ada program kerja yang jitu untuk mengantisipasi dampak perubahan musim-musim di atas.
Marilah kita menciptakan paradigma baru, memanfaatkan air sebagai sumber daya potensial, mengantisipasi kekeringan pada musim kemarau, dan menghindari banjir. Jadikanlah air sahabat kita, sahabat penduduk dan Kota Bandung.
HENRY H LOUPIAS Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung
Post Date : 30 April 2010
|