|
Banda Aceh, Kompas - Memasuki pekan ketiga, wajah kawasan perkotaan Banda Aceh masih coreng-moreng karena tertutup puing-puing dan sampah. Pembersihan ibu kota Nanggroe Aceh Darussalam itu mengalami banyak kendala sehingga intensitasnya baru pada tahap pembukaan alur jalan-jalan yang diperlukan untuk mengangkut sampah itu keluar. Berdasarkan hasil pemantauan Kompas, Selasa (11/1) kemarin, sampah-sampah serta puing bangunan dan material yang dihanyutkan tsunami kini memenuhi ribuan hektar lahan yang membentang di kanan-kiri jalan. Kawasan kota itu porak poranda, berlumpur, dan dipenuhi barang-barang rongsokan, sisa- sisa bangunan permukiman serta perkantoran. Sementara mayat-mayat masih tergeletak di sana-sini tanpa kepastian kapan dapat dievakuasi. Kondisi inilah yang menjadi hambatan utama baik bagi para relawan maupun personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang bertugas membersihkan Banda Aceh. Misalnya, ketika mengangkat sampah dan puing-puing, mereka selalu menemukan mayat-mayat yang belum sempat dievakuasi. Dalam sehari, mereka bisa menemukan lebih dari 1.600 mayat dalam pembersihan itu. Dengan demikian, lebih dari 75 persen kawasan Banda Aceh dan sekitarnya, termasuk Aceh Besar, menjelma layaknya tempat sampah dengan genangan air di mana-mana serupa rawa dengan bau busuk yang menyengat. Kolonel (Czi) Baktiman selaku penanggung jawab pembersihan kota kemarin menyatakan, sampah-sampah dan puing bangunan secara bertahap dibawa ke tanah rawa untuk ditimbun. Apabila cuaca membaik, sampah-sampah itu rencananya akan dibakar. "Yang menjadi kendala adalah masih ada jenazah di setiap pembukaan tumpukan sampah," ujar Baktiman dalam keterangannya. Enam kecamatan dari sembilan kecamatan di Banda Aceh, yaitu Kecamatan Jaya Baru, Meuraxa, Kuta Raja, Kuta Alam, Syiah Kuala, dan Kecamatan Baiturrahman, sebagian besar masih tertutup puing dan sampah. Kawasan ini, yang terletak di pesisir pantai Banda Aceh, hingga sekarang masih dipenuhi tumpukan puing, lumpur, dan sampah. Sementara di tiga kecamatan lain, yaitu Kecamatan Banda Raya, Leung Bata, dan Ulee Kareng, juga terkena imbas, khususnya yang berbatasan dengan enam kecamatan di atas. Parahnya kondisi di wilayah pusat kota dapat ditemui di kawasan seperti di sekitar Masjid Raya Baiturrahman, Pasar Atjeh, Ulee Lheue, Pasar Peunayong, Kampung Jawa, dan Lampaseh. Kondisi yang nyaris serupa terlihat di Lhok Nga dan Krueng Raya yang tercakup dalam wilayah Kecamatan Darussalam dan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Dibuang begitu saja Sampah hasil pengerukan yang diangkut dengan truk- truk belum memiliki tempat pembuangan resmi. Untuk sementara, truk-truk membuang muatan di kawasan Lampaseh, Banda Aceh, dan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar. Sampah hasil pembersihan kota itu hanya dibuang begitu saja di tengah reruntuhan permukiman sehingga tak membuat kawasan bersih, tetapi hanya memindahkan puing, sampah, atau lumpur ke tempat lain. Meskipun pembersihan jalan terus dilakukan, belum semua jalan yang ada di Banda Aceh-terutama jalan akses ke tengah permukiman-bisa terbuka. Bangkai mobil, kapal, dan puing bangunan menutup jalur jalan bekas permukiman, misalnya jalan di sekitar kawasan Kampung Jawa, Peunayong, Lampaseh di Banda Aceh, dan kawasan Lhok Nga, Aceh Besar. Sampah pembersihan jalan itu sebagian hanya dibuang di tepi jalan sehingga kawasan tetap dipenuhi sampah. Kotornya kawasan kota dan sekitarnya memperburuk kondisi pascabencana karena bibit penyakit yang diyakini tersebar dari tempat-tempat tersebut mengancam penduduk yang selamat dan para sukarelawan. Kolera, herpes, tetanus, malaria, dan berbagai penyakit ganas lainnya menjangkiti warga dan ditengarai mulai menuai korban jiwa. "Satu pasien kami telah meninggal akibat tetanus. Ia sebenarnya berhasil selamat dari bencana dan dirawat di sini karena luka infeksi pada tubuhnya. Namun, perawatan sudah terlambat dan tetanus menyerang korban sehingga tak dapat diselamatkan lagi. Beberapa pasien kami juga diindikasikan terserang malaria," kata Direktur Rumah Sakit (RS) Zainoel Abidin dr Rus Munandar kemarin. Sementara itu, dr Assangga Guyansyah Sp OG, relawan medis asal Jakarta yang berada di RS Angkatan Darat, mengatakan, fasilitas kesehatan di Banda Aceh belum memiliki ruang khusus untuk menangani pasien yang terkena tetanus. Pasien tetanus seharusnya dirawat di ruang isolasi yang tertutup rapat, jauh dari kebisingan serta bernuansa gelap. Dikhawatirkan, tanpa ada ruang perawatan khusus, penyebaran penyakit ini akan semakin cepat, mengingat kondisi kawasan Banda Aceh maupun tempat lain di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang terkena bencana masih sangat buruk. Di beberapa rumah sakit lain, seperti di RS Lapangan Pelangi Nusantara, yang merupakan hasil kerja sama TNI Angkatan Laut dan Perwalian Umat Buddha Indonesia, serta RS Fakinah, pasien tetanus dan pasien dengan gejala malaria terus berdatangan. Belum ada angka resmi mengenai jumlah penderita, tetapi kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit ini diharapkan terus ditingkatkan mengingat hingga kini fasilitas kesehatan di pos-pos komando (posko) pengungsian masih sangat minim. Menurut dr Assangga Guyansyah, para pengungsi maupun sukarelawan harus waspada terhadap luka-luka yang dideritanya. Mereka harus segera memeriksakan diri untuk mencegah pembusukan dan menghindari terjangkit tetanus. Diharapkan, pemerintah juga memasok perlengkapan berupa kelambu, pembasmi jentik nyamuk, selimut, dan obat antimalaria bagi para pengungsi. Selain itu, fasilitas tenda pengungsi juga harus diperbaiki karena umumnya tenda-tenda tersebut masih sangat terbuka dan sampah serta genangan air berada di sekelilingnya. Hal ini dapat ditemui di posko pengungsian Mata Ie, di kompleks TVRI di Desa Keutapang, posko Masjid Al Faidzin di Lampeuneurut, Kecamatan Darul Immarah, dan posko-posko pengungsian lain yang tersebar di sepanjang kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar.Setiap hari pengungsi mesti bergelut dengan cuaca yang tidak bersahabat, kadang hujan deras kadang panas terik. Dengan pakaian seadanya dan tenda terbuka, debu serta hawa dingin akrab menyentuh badan dan merasuk ke dalam tubuh para pengungsi. Oleh karena itu, seiring dengan kebutuhan akan perlengkapan fasilitas pengungsian, pasokan bahan makanan yang lebih berstandar gizi dan vitamin juga makin diperlukan untuk memperkuat ketahanan tubuh. Sampai saat ini, fasilitas sanitasi masih sangat buruk sehingga sebagian pengungsi kesulitan mendapatkan air bersih. Harus selesai seminggu Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Sidang Kabinet Terbatas telah menginstruksikan kepada para menteri terkait, Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian Negara RI (Polri) untuk memaksimalkan upaya pencarian dan pengebumian jenazah korban bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara. Pencarian dan pengebumian korban bencana itu diharapkan dapat diselesaikan dalam batas waktu seminggu lamanya. Untuk membersihkan seluruh jenazah korban bencana yang masih terkubur dalam reruntuhan dan lumpur di areal bencana tersebut, Presiden menginstruksikan supaya dikerahkan tambahan bantuan personel berikut dengan kelengkapan peralatannya. Instruksi Presiden Yudhoyono itu diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dalam keterangan pers bersama juru bicara Presiden Andi Mallarangeng seusai Sidang Kabinet Terbatas, Selasa di Kantor Kepresidenan di Kompleks Istana, Jakarta. Sidang Kabinet Terbatas yang dihadiri antara lain oleh Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Aburizal Bakrie, Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Dai Bachtiar dilakukan di luar jadwal resmi. Menurut Sudi, menanggapi instruksi Presiden Yudhoyono tersebut, Panglima TNI yang kini masih berada di NAD akan mengerahkan tambahan pasukan, yaitu tiga batalyon TNI dan 1.000 taruna TNI. Adapun Kepala Polri akan menambahkan lagi satu batalyon Brigade Mobil. Sementara Wapres Jusuf Kalla mengerahkan 500 tenaga kerja yang berasal dari Jakarta dan 500 tenaga kerja lainnya yang didatangkan dari Medan. "Semua ini dilakukan Presiden Yudhoyono agar penanganan korban bencana dan proses awal rehabilitasi dan rekonstruksi atas daerah bencana dapat lebih efektif dalam waktu seminggu," ujar Sudi. Dalam Sidang Kabinet Terbatas itu, Presiden Yudhoyono juga menegaskan perlunya pengelolaan waktu dalam penanggulangan bencana. "Misalnya, sampai dengan 26 Januari mendatang, langkah-langkah apa yang akan dilakukan. Lantas, pada satu bulan mendatang, yaitu tanggal 26 Februari, langkah-langkah apa lagi yang dilakukan. Selanjutnya, satu bulan berikutnya juga seperti apa," kata Sudi. Sejalan dengan waktu, peranan sukarelawan dan bantuan asing secara bertahap akan berkurang. "Digambarkan tadi oleh Presiden, pada 26 Februari mendatang itu, mungkin sudah masa transisi dari peranan kita menonjol. Dan, ke arah tanggal 26 Maret, peranan kita bisa lebih optimal lagi. Dengan demikian, pada tahap berikutnya, peranan itu sepenuhnya bisa ditangani langsung oleh pemerintah," ujarnya menambahkan. (NEL/HAM/RAY/HAR/INU) Post Date : 12 Januari 2005 |