Samarinda, Kompas - Hujan lebat lebih dari lima jam sejak Rabu (16/12) pukul 03.00 mengakibatkan beberapa wilayah Kota Balikpapan di Kalimantan Timur tergenang air setinggi 30 sentimeter hingga 1 meter. Adapun ibu kota Kaltim, Samarinda, kini menjadi kota sangat rentan bencana karena seluruh kota terkepung aktivitas penambangan.
Beberapa kawasan Balikpapan yang dilanda kebanjiran antara lain Jalan MT Haryono dan Jalan A Yani. Akibatnya, transportasi lumpuh lebih dari satu jam sejak pukul 08.00 dan ratusan pengendara sepeda motor terpaksa berhenti menunggu air surut. Di kawasan Gunung Samarinda, rumah milik Latifah rusak akibat tertimpa tanah longsor. Banjir besar di Balikpapan pernah terjadi tahun 2008 saat berlangsung Pekan Olahraga Nasional.
Kondisi Kota Samarinda mencemaskan karena lebih dari separuh, yaitu 38.814 hektar dari 71.823 hektar luas kota, menjadi tambang batu bara yang dikelola 43 perusahaan. Pertambangan yang amat luas telah mengubah bentang alam kota menjadi lubang-lubang besar bekas galian.
Demikian terungkap dalam Diskusi Lingkungan Kota Samarinda di Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman, Rabu (16/12).
Narasumber dari Borneo Ecology and Biodiversity Conservation Institute, Ade Fadli, mengatakan, selain 43 perusahaan yang sudah beroperasi tersebut, saat ini masih ada 23 perusahaan batu bara dengan luas konsesi lahan 11.994 hektar yang menunggu beroperasi.
”Pertambangan saja sudah menghabiskan 71 persen luas kota sehingga nyaris tidak ada lagi ruang untuk sektor lainnya, apalagi untuk ruang terbuka hijau,” kata Fadli, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul).
Adapun Kepala Bidang Fisik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Samarinda Muhammad Luthfi mengakui, jumlah 76 izin tambang yang dikeluarkan terlalu banyak.
Namun, menurut Luthfi, hal itu sudah menjadi kebijakan pemerintah (wali kota).
Begitu luasnya areal tambang, lanjut Luthfi, memang membuat daya dukung lingkungan Samarinda menurun. Kawasan yang dulunya hutan atau daerah resapan air telah dibongkar dan banyak yang menjadi lubang-lubang bekas galian.
Akibatnya, banjir yang didahului hujan deras bisa semakin sering terjadi. Padahal, sebelum ada tambang, kota berpenduduk 714.000 jiwa ini selalu dilanda kebanjiran setiap musim hujan karena letaknya sejajar dengan permukaan air Sungai Mahakam. Pemerintah, kata Luthfi, berupaya mengantisipasi banjir dengan membangun kolam-kolam penampungan, mengeruk sungai-sungai, dan memperbaiki saluran-saluran air.
Namun, semua program itu, lanjut dosen Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI), Tarsoen Waryono, cuma mampu menahan bencana dalam jangka pendek. Pengelola Hutan Kota UI yang alumnus Fakultas Kehutanan Unmul itu mendesak 30 persen luas Samarinda atau 21.546 hektar harus dijadikan hutan kota. Kawasan hulu-hulu sungai juga mendesak direhabilitasi.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Kahar Albahri, menyarankan pemerintah membatalkan pengurusan izin perusahaan tambang yang menunggu beroperasi. Yang sudah ada harus dihentikan, sedangkan lahan yang sudah telanjur dibongkar perlu segera direhabilitasi. (BRO/FUL)
Post Date : 17 Desember 2009
|