|
Idenya berawal dari rasa heran. Para pejabat pemerintah dan anggota badan legislatif di Bali, khususnya Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, kerap kali melakukan studi banding tentang pengolahan sampah ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan ke berbagai negara. Tentu saja itu menghabiskan banyak biaya. Sesampai di Bali, mereka membicarakan betapa canggihnya teknologi pengolahan sampah di berbagai negara. Betapa bersih dan majunya negara itu. Tapi tidak ada yang dilakukan dari hasil studi banding tersebut. Sampah malah semakin menggunung dan tak tertangani dengan baik, bahkan kian merusak citra Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia. "Itu yang menggelitik saya untuk berpikir mengapa tidak belajar mengolah sendiri sampah di sini," ujar I Made Sudarma, Kepala Badan Pengelola Kebersihan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan (Sarbagita), dalam percakapan dengan Tempo pekan lalu. Lelaki kelahiran Darmasaba, Badung, 28 Juli 1960, itu lalu berupaya mewujudkan keinginannya mengolah sampah dan menjadikannya bermanfaat. Apalagi lelaki lulusan Magister Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor tahun 1991 itu dipercaya memimpin Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita yang dibentuk pada 2001. Sekitar 2002-2003, Sudarma mulai mencari investor. Dia sadar betul pemerintah tidak punya dana cukup besar untuk mengolah sampah. Setelah melewati waktu dua hingga tiga bulan, terdapat 13 investor yang tertarik pada tawaran tersebut. Mereka diminta melakukan presentasi. Syaratnya, teknologi yang dipergunakan haruslah bisa mengolah sampah lama dan baru, bersifat fleksibel. Teknologinya juga harus bisa dipergunakan mengolah sampah sesuai dengan karakteristik sampah di Bali yang kebanyakan tidak terpilah, jenis organik dan berkadar air tinggi. Investor harus bisa mengubah sampah menjadi sumber energi (waste to energy). Pembiayaan investasi dan operasional, juga pemasaran produk hasil olahan, harus menjadi tanggung jawab investor. Lokasi instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST) tersebut ditetapkan di tempat pembuangan akhir Suwung, Denpasar. Setelah melalui seleksi, terpilih PT Navigat Organic Energi Indonesia (PT NOEI) yang teknologinya dari Inggris dan Austria. Perusahaan dimodali Argo Manunggal Group. Teknologi pengolahannya adalah gasifikasi, landfill, dan anaerobic digestion, yang sejak 20 Mei 2007 telah terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai proyek clean development mechanism untuk integrated solid waste management project di Bali. "Teknologi ini menghasilkan listrik sebagai produk utama, kompos, dan beberapa produk sampingan lainnya," ucapnya. Ide dan semangat Sudarma tak sia-sia. Saat ini IPST Sarbagita telah menghasilkan 1 megawatt listrik dari 20 titik sumur gas. Namun, Sudarma masih menyimpan obsesi lain. Dia ingin menghijaukan lahan bekas timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. Kompos yang dihasilkan dari pengolahan sampah dapat menyuburkan lahan itu sehingga bisa terwujud paru-paru kota. "Apalagi di Denpasar lahan hijau hanya sekitar 30 persen," ujarnya. Dalam waktu setidaknya lima tahun ke depan, dia berharap lahan yang masih tersisa di area TPA, yang merupakan hutan mangrove, bisa dimanfaatkan. "Bisa dibuat jogging track. Sambil berolahraga, pengunjung bisa menikmati keindahan hutan mangrove dan melihat proses pengolahan sampah menjadi energi listrik. Jadi, selain sehat karena berolahraga, para pengunjung bisa sekaligus mendapat pengetahuan," tutur Sudarna, yang juga menjabat pelatih dan peneliti pada Pusat Studi Lingkungan Universitas Udayana. NI LUH ARIE SL Post Date : 03 Januari 2009 |