|
Perubahan iklim adalah tantangan pembangunan, ekonomi, dan investasi, bukan sekadar masalah lingkungan. Kesepakatan global yang efektif mengenai perubahan iklim harus menyadari kepentingan dan kebutuhan negara-negara berkembang. Itulah mengapa minggu ini di Bali para menteri keuangan akan, untuk kali pertama, menghadiri sesi perubahan iklim sehubungan dengan babak baru negosiasi berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja mengenai Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC). Indonesia, tuan rumah Konferensi Para Pihak ke-13, rentan terhadap perubahan iklim sekaligus merupakan sumber emisi yang besar, terutama akibat penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Bank Dunia pada September lalu, Indonesia mengumumkan rencananya meluncurkan pengembangan strategi pertumbuhan rendah karbonnya yang pertama untuk mengurangi intensitas karbon dalam jalur pembangunannya, mengidentifikasi peluang untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan mengelola dampak pembiayaan perpindahan ke kegiatan pembangunan rendah karbon. Indonesia mengusulkan prakarsa pengurangan emisi dari penggundulan hutan dan degradasi, dengan dukungan dari Bank Dunia serta pemerintah Inggris, Australia, Jerman, dan Belanda. Negara-negara berkembang menyadari bahaya perubahan iklim terhadap wilayah, perekonomian, dan bangsa mereka. Negara-negara ini tertarik pada potensi pasar karbon dan teknologi baru untuk membiayai pengurangan gas rumah kaca. Namun, banyak negara yang khawatir atas negosiasi perubahan iklim karena dua hal: bantuan internasional akan dialihkan dari rencana pembangunan dan pertumbuhan sosial; dan kebijakan perubahan iklim yang didukung oleh negara-negara maju akan menghambat pertumbuhan negara-negara yang bergerak di belakang mereka. Jika kekhawatiran negara-negara berkembang ini tidak diatasi, kesepakatan internasional baru mengenai perubahan iklim tidak akan bisa global atau berhasil. Sementara para menteri lingkungan hidup di Bali akan mempersiapkan arah kerangka kerja pasca-2012, lebih dari 30 negara mengirimkan menteri keuangan dan pembangunan mereka untuk mendukung proses ini. Para menteri keuangan akan membahas pilihan kebijakan, insentif, dan disinsentif ekonomi, serta kesepakatan pembiayaan yang menggabungkan pertumbuhan dan sumber energi dengan strategi rendah karbon, pembangunan teknologi, efisiensi, dan tindakan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Keterlibatan para menteri keuangan akan membantu mengintegrasikan masalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam prioritas dan anggaran nasional serta dialog internasional mengenai instrumen dan arus pembiayaan. Kebijakan perubahan iklim tidak dapat hanya menjadi hiasan pada kue pembangunan; kebijakan ini harus dimasukkan ke resep pertumbuhan dan pembangunan sosial. Bank Dunia dan institusi keuangan internasional, bekerja sama dengan negara-negara maju, dapat membantu. Kita sedang merancang mekanisme pembiayaan yang inovatif dan konsesional. Di Bali, kita akan meluncurkan Forest Carbon Partnership Facility untuk membantu mengatasi penggundulan hutan. Clean Energy Investment Framework akan mempromosikan energi alternatif, efisiensi, dan emisi yang lebih rendah. Sebagai contoh, Indonesia dan Bank Dunia bekerja sama dalam proyek panas bumi dengan dukungan dari Global Environment Facility. Mitra internasional pun membantu negara-negara ini dalam penerapan dan perluasan sistem perdagangan karbon untuk membiayai pertumbuhan rendah karbon di negara-negara miskin. Unit sektor swasta Bank Dunia, International Finance Corporation, dapat membantu menarik modal swasta untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang atas produksi energi rendah karbon senilai US$ 200 bn per tahun. Kita juga harus mendorong penelitian dan pengembangan dalam teknologi baru untuk pertumbuhan rendah karbon dan memajukan adopsi teknologi tersebut dengan cepat di negara-negara berkembang. Bagi banyak negara berkembang, tekanan perubahan iklim adalah krisis hari ini, bukan ketidakpastian masa depan. Negara-negara miskin adalah negara yang paling rentan terhadap bencana dan perubahan negatif dalam kondisi kesehatan, produksi pangan, sumber daya air, integritas garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Namun, riset dan pengeluaran untuk adaptasi iklim telah tertinggal jauh dari usaha mitigasi. Kita harus mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi terintegrasi yang akan saling mendukung. Indonesia sedang melakukan lebih dari sekadar menjadi tuan rumah Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim. Indonesia juga menunjukkan kepada negara-negara maju cara melibatkan negara-negara berkembang dalam diskusi konstruktif mengenai integrasi perubahan iklim dan strategi pembangunan. Pertemuan Bali harus menghasilkan dua proyek yang saling mendukung: negosiasi untuk memandu pendekatan global terhadap perubahan iklim, dan komitmen untuk mendukung usaha negara berkembang dalam menggabungkan strategi pembangunan dan perubahan iklim. Kemajuan kerja sama dengan negara berkembang akan menjadi prasyarat atas kesepakatan perubahan iklim global baru yang dapat dijalankan dan berkesinambungan sehubungan dengan lingkungan, perekonomian, dan politik. Sri Mulyani Indrawati adalah Menteri Keuangan Indonesia, dan Robert Zoellick adalah Presiden Kelompok Bank Dunia. Hak cipta: The Financial Times Limited, 2007 Post Date : 07 Desember 2007 |