|
Bagi sejumlah tukang becak di kota Blora, Kabupaten Blora, musim kemarau merupakan musim ngunduh atau menuai rezeki. Mereka tak lagi menarik penumpang, melainkan melayani pembelian air warga kota Blora. Pendapatan dari menjual air itu berlipat-lipat dibandingkan pendapatan dari menarik penumpang. Kamis (10/7) siang, Tarimin (44), tukang becak Desa Kauman, kota Blora, Kabupaten Blora, mengisi enam jeriken kapasitas 35 liter di Sumur Kunthing, Desa Mlangsen, kota Blora, secara gratis. Setelah terisi penuh, satu per satu jeriken itu dinaikkan ke becak. "Satu becak air berisi enam jeriken, harganya Rp 6.000. Harga itu naik dibandingkan tahun kemarin, Rp 5.000," kata pria yang mengayuh becak sejak tahun 1995 itu. Pada musim kemarau, Tarimin dapat menjual air sebanyak 15 becak per hari. Tak heran jika setiap hari ia membawa uang bagi keluarganya Rp 90.000. Pendapatan itu jauh lebih besar dibandingkan menarik penumpang, yaitu Rp 10.000Rp 20.000 per hari. Menurut bapak tiga anak itu, ia berjualan air pada Juni hingga November. Kalau dihitung-hitung, pendapatan Tarimin selama Juni- November adalah Rp 16,2 juta. "Selain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, uang itu bisa untuk membeli sapi," kata Tarimin. Berkah musim kemarau itu juga diterima tukang becak Suyoto (40), tetangga Tarimin. Setiap hari, ia mampu menjual air 10 becak sehingga memperoleh pendapatan Rp 60.000 per hari. Menurut Suyoto, para tukang becak air sudah mempunyai langganan dan kawasan kerja sendiri-sendiri sehingga tidak saling berebut. Ia khusus melayani Desa Mlangsen dan Kauman. "Kalau ada tukang becak lain yang mendapat permintaan banyak, tak segan ia berbagi dengan teman-teman lain," katanya sembari menuangkan air sumur ke jeriken. Tak jarang pula sejumlah tukang becak air bercerita saling berbagai kisah atau gosip saat bertemu di Sumur Kunthing. Apalagi ketika masa pemilihan Gubernur Jateng pada Juni kemarin. Percakapan tentang para pasangan dan "amplopan" yang (akan) diterima menjadi topik hangat. Memasuki bulan kedua musim kemarau, kekeringan di Kabupaten Blora mulai merambah di kawasan perkotaan. Sejumlah sumur warga mengering sehingga mereka membeli air dari para tukang becak air. Karunia Dewi (38), warga Desa Kauman, mengaku membeli air sejak satu bulan lalu. Setiap hari, ia membeli air sebanyak tiga becak untuk memasak, minum, dan kebutuhan mandi, cuci, kakus. "Satu bulan ini, saya sudah mengeluarkan uang Rp 510.000. Padahal kalau menggunakan pompa air listrik hanya Rp 100.000 per bulan," katanya. Kekurangan air itu juga dialami warga lain di sejumlah kecamatan di Kabupaten Blora. Berdasarkan Data Bagian Sosial Sekretariat Daerah Kabupaten Blora, sebanyak 18 desa di Kecamatan Kunduran dan Jati mengajukan permintaan pasokan air bersih. Mulai mengering Kepala Subbagian Kesejahteraan Bagian Sosial Kabupaten Blora Dasiran mengatakan, warga 18 desa itu meminta 200 tangki air kapasitas 5.000 liter. Dari jumlah itu, baru 12 desa yang sudah didrop air, sedang sisanya pada awal Agustus. "Kami juga mendapat bantuan air dari Badan Koordinasi Wilayah I Jateng sebanyak 336 tangki kapasitas 4.000 liter. Rencananya akan didrop pada Minggu I dan III bulan Agustus," katanya. Berdasarkan data rekapitulasi Dinas Pertanian Kabupaten Blora, sumber-sumber air warga, seperti embung, bendung, dan sumur lapang, juga mulai mengering. Dari 81 embung yang tersebar di Kabupaten Blora, sebanyak 20 embung tidak berair lagi. Sawit (30), petani Desa Jiken, Kecamatan Jiken, bersama sejumlah petani lain terpaksa menyedot air sungai. Sebelum dialirkan ke persawahan, air itu ditampung di embung. "Kalau langsung dialirkan ke sawah-sawah kami, beban biayanya mahal," katanya. Musim kemarau bagi sebagian warga Kabupaten Blora ngrejekeni. Namun, bagi warga lain, hidup kekurangan air menyusahkan. Hendriyo Widi Post Date : 11 Juli 2008 |