Bahaya Karena Kurang Biaya

Sumber:Majalah Gatra - 16 September 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Longsoran sampah di TPA Bantar Gebang merenggut tiga nyawa. Pemda, pengelola, dan LSM saling tuding. Lagi-lagi akibat tidak diterapkannya sanitary landfill.

Pemulung tewas tertimbun sampah. Peristiwa memilukan itu terjadi Jumat dini hari lalu. Ketika itu, tanpa mengenal waktu, puluhan pemulung sedang mengais-ngais tumpukan limbah di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Bantar Gebang, Bekasi. Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara gemuruh. Dalam hitungan detik, timbunan sampah yang menjulang setinggi 20 meter runtuh mengubur mereka hidup-hidup.

Hingga awal pekan ini, tercatat tiga pemulung, yakni Sonip, Marsinah, dan Miswah, tewas. Enam orang lainnya luka parah dan satu orang dalam kondisi kritis. "Kejadiannya begitu cepat, untung saya sempat lari," kata Rasnato, pemulung yang lolos dari musibah longsor sampah.

Pasca-bencana, aksi saling tuding pun bergulir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuding Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta dan PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. ''Kalau pengelolaan sampah dilakukan dengan benar, tentu tidak ada musibah," ujar Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Selamet Daroyni.

Pemda Jakarta tak sudi disalahkan. Wakil Gubernur DKI, Fauzi Bowo, menyalahkan pemulung. ''Sudah ada larangan memulung, tapi masih dilanggar," ujarnya. Selama 20 tahun TPA Bandar Gebang dioperasikan, memang baru sekali ini terjadi musibah besar.

Lain pula dengan PT PBB. Perusahaan yang sejak Juli 2004 ditunjuk jadi pengelola sampah TPA Bantar Gebang tersebut menganggap peristiwa itu murni musibah. Juru bicara PT PBB, M. Jaya Butar-butar, menolak anggapan bahwa peristiwa tersebut akibat kelalaian pihaknya. ''Ini bukan kesengajaan pengelola,'' katanya.

Belakangan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) pun disalahkan. Harusnya dia menggunakan kewenangannya menegur Pemda Jakarta dan PT PBB. Apalagi, setahun silam terjadi peristiwa memilukan di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Gunung sampah di wilayah pinggiran Bandung itu longsor akibat terpaan hujan dan menimbulkan korban 143 jiwa.

Kepala Bidang Persampahan KLH, Tri Bangun L. Sony, meminta baku tuding itu distop. Ia mengusulkan dibentuk tim investigasi dengan melibatkan antara lain lain KLH, Dinas Kebersihan, PT PBB, warga, serta LSM. Hasil investigasi, katanya, diperlukan untuk menyudahi polemik panjang Bantar Gebang, yakni dengan rekomendasi apakah patut dipertahankan atau ditutup. ''Kalau rekomendasinya tutup, ya, harus ditutup," ucapnya.

Dari pengamatan di lapangan, Tri menduga, ada tiga faktor yang menyebabkan bukit sampah itu longsor. Pertama, tak dilakukan sanitary landfill (penimbunan dengan tanah). Kedua, kemiringan sampah melebih 26 derajat dan tak dibentuk terasering. Ketiga, pemulung dibiarkan bekerja saat alat-alat berat beroperasi.

Ironisnya, selama ini pengelola hanya mengandalkan metode open dumping. Yaitu hanya membuang atau menimbun sampah, kemudian dibiarkan. Penggunaan metode ini juga menjadi penyebab longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah. ''Dari fakta yang ada, diduga peristiwa longsor itu akibat tanah yang labil sedang dipadatkan di saat ada pemulung bekerja," kata Tri Bangun.

Tak adanya teguran atau peringatan dari KLH atas PT PBB, yang telah lama terbukti lalai menggunakan metode sanitary, diakui Tri Bangun. Menurut dia, semua pihak, termasuk KLH, seharusnya melakukan pengawasan. Hanya saja, ia mengatakan sungguh tidak realistis jika KLH dengan jumlah sumber daya manusia terbatas harus melakukan pengawasan pada setiap TPA dan TPS yang ada. "Bayangkan, saat ini di Indonesia ada 400 TPA lebih," ia menjelaskan.

Diakui oleh Tri, setelah musibah TPA Leuwigajah, KLH telah mengingatkan sejumlah pemda agar mengawasi TPA masing-masing. Termasuk Jakarta dan Surabaya. Bahkan KLH memperingatkan kemungkinan akan adanya kejadian serupa TPA Leuwigajah di TPA lain. Ia menduga, peringatan tadi kurang diindahkan. Penyebabnya, Tri melanjutkan, saat ini belum ada undang-undang (UU) yang mengatur khusus tentang pengelolaan sampah. Memang RUU Sampah masih dalam tahap penggodokan, sehingga belum bergigi.

Bila UU Sampah disahkan, akan diatur tata cara pengelolaan sampah. Terutama kewajiban menggunakan metode sanitary pada setiap TPA. Jika itu tidak dilakukan, pemda setempat bisa dikenai sanksi. "Agar peristiwa longsornya sampah tidak terulang, dan secara umum pengelolaannya lebih baik, perlu segera disahkan Undang-Undang Sampah ini," kata Tri Bangun.

Adanya malpraktek penerapan metode pengelolaan sampah itu dibenarkan Selamet Daroyni. Walhi, katanya, sejak 1999 hingga 2005 telah melakukan investigasi. Hasilnya, TPA Bantar Gebang tidak dikelola dengan metode sanitary.

Menurut Selamet, minimnya dana dijadikan alasan pengelola enggan menggunakan metode sanitary. Selama ini, Pemda Jakarta hanya memberi retribusi Rp 52.500 per ton sampah. Padahal, untuk menggunakan metode sanitary, dibutuhkan biaya minimal Rp 200.000 per ton sampah. "Sangat realistis jika pengelola akhirnya memilih metode open dumping," ungkapnya.

Tragedi Pangkalan

Gagasan membangun tempat pembuangan akhir (TPA) sampah warga Jakarta sudah muncul pada era Gubernur Ali Sadikin. Namun realisasinya baru dimulai pada era Gubernur R. Suprapto, 1985.

Saat itu, pemda bekerja sama dengan Japan International Corporation Agency, lembaga nirlaba dari Jepang, melakukan studi kelayakan pembangunan TPA. Hasilnya, direkomendasikan pembangunan TPA Bantar Gebang, Bekasi.

Pemda DKI membebaskan lahan di Kecamatan Bantar Gebang seluas 108 hektare. Meliputi tiga kelurahan: Cikiwul, Ciketing Udik, dan Sumur Batu. Sebelumnya, lokasi ini dikenal dengan sebutan Pangkalan. "Disebut Pangkalan, karena banyak dijual pasir dan tanah untuk pengurukan," kata Bagong Suyoto, aktivis lingkungan yang menetap di Bantar Gebang.

Sejatinya, sejak awal Jakarta telah sepakat menerapkan teknologi sanitary landfill dalam pengolahan sampahnya. Namun antara teori dan fakta ternyata beda. Pemda Jakarta tidak melaksanakan sanitary landfill. Sampah dibuang begitu saja.

Akibatnya, pada 1999, meletus tragedi Bantar Gebang I, yakni pencemaran lingkungan dalam skala cukup besar. Ditemukan juga limbah B3 (bahan berbahaya beracun), E. coli (bakteri penyebab diare), dan Salmonella typhi (virus penyebab tifus).

Tragedi II terjadi pada Desember 2001. Lagi-lagi warga mengeluh telah terjadi pencemaran lingkungan. Pemkot Bekasi dengan dukungan DPRD-nya menyatakan TPA ditutup. Gubernur Sutiyoso turun langsung ke TPA Bantar Gebang. Janji-janji manis kembali dilontarkan. Termasuk menggelontorkan uang kesejahteraan milyaran rupiah. "TPA pun dibuka lagi," kata Bagong.

Menjelang berakhirnya perjanjian penggunaan lahan TPA, Desember 2003, timbul lagi konflik memanas atau tragedi Bantar Gebang III. Pemda Jakarta meminta kontrak diperpanjang, tapi warga menolak. Namun, tanpa sepengetahuan warga, Wali Kota Bekasi menandatangani kontrak dengan Sutiyoso. Isinya memberi perpanjangan waktu pemanfaatan TPA Bantar Gebang.

Medio Juli 2004, Pemda Jakarta dan Bekasi sepakat menunjuk PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) sebagai pengelola TPA Bantar Gebang. Untuk biaya operasional, pemda mengucurkan dana ke PT PBB yang disebut biaya retribusi sebesar Rp 52.500 per ton sampah.

Juli lalu, masa kontrak PT PBB berakhir. Namun pemda memperpanjangnya hingga enam bulan ke depan. Alasannya, PT PBB diberi kesempatan memperbaiki diri, terutama dalam menerapkan teknologi sanitary landfill. "Sebenarnya kinerja PT PBB sangat buruk. Harusnya tidak lagi diperpanjang," Bagong menyesal. Ia menyayangkan, perpanjangan ini akhirnya berbuntut tragedi Bantar Gebang IV, yang merenggut tiga nyawa pemulung. Sujud Dwi Pratisto

Tragedi Longsor Sampah yang Menelan Korban Jiwa Akibat Pengolahan Sampah dengan Metode Open Dumping

Tanggal Kejadian Lokasi
Jumlah Korban

22 Februari 2005 TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat
143 orang tewas

3 Maret 2005 TPS Kampung Ampera, Lembang, Jawa Barat
2 orang tewas

9 September 2006 TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat
3 orang tewas


Jumlah Sampah Jakarta dan Sumbernya dalam Sehari

Permukiman 3.178 ton (52,97%)
Perkantoran 1.641 ton (27,35%)
Industri 538 ton (8,97%)
Sekolah 319 ton (5,32%)
Pasar 240 ton (4%)
Lain-lain 84 ton (1,4%)
Total 6.000 ton

Sumber: Data Dinas Kebersihan Jakarta Tahun 2005



Post Date : 16 September 2006