BEBERAPA di antara kita sering memandang sebelah mata penyakit diare. Padahal hingga kini, penyakit inilah yang menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Lebih dari 20% kematian balita setiap tahunnya berpangkal dari penyakit perut ini.
Sialnya, kebanyakan air minum yang dikonsumsi masyarakat Indonesia ternyata hampir separuhnya diambil dari sumber air yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli penyebab diare.
“Ketersediaan dan akses air minum bersih di Indonesia memang memprihatinkan. Bahkan untuk di wilayah perkotaan sekalipun,” ungkap dr Budi Haryanto MKM, Msc, pakar kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), pekan lalu, di Jakarta.
Apa yang dipaparkan Budi ada benarnya. Tengok saja data layanan akses air bersih yang dapat dijangkau perusahaan daerah air minum (PDAM) pada 2008. Cakupannya masih relatif kecil, lantaran hanya sanggup menjangkau 20% wilayah di tingkat nasional.
Untuk sisanya, sambung Budi, masyarakat masih bergantung pada sumber air minum dari air permukaan, air sumur, dan air sungai yang praktis tidak terlindungi, karena sebagian besar air itu telah tercemar oleh bakteri E-coli dari tinja.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL-PPM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2008, juga ditemukan kontaminasi senyawa kimia pada 50% sampel air bersih yang diuji di DKI Jakarta dan sekitar 25% 100% di Bekasi, Tangerang, Cilegon, Bogor, dan Karawang.
Menurut Dr Ratih DewantiHariyadi, pakar mikrobiologi pangan dari Fakultas Teknologi Pertanian IPB, air minum yang berkualitas dan layak minum harus tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung partikel terlarut dalam jumlah tinggi, dan tidak mengandung kuman serta logam berat yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Salah satu indikator mutu dan keamanan yang lazim adalah ketiadaan bakteri Ecoli, virus, maupun protozoa tertentu, terang Ratih. Bijak mengolah air Supaya aman untuk dikonsumsi, Ratih menganjurkan agar air dimasak hingga 100°C dan sedikitnya 2 menit per liternya.
Tujuannya agar dapat membunuh bakteri dan mikroba lain yang berbahaya. Kendati demikian, sebut Ratih, proses perebusan tersebut sejatinya tidak dapat menghilangkan kandungan logam berat atau menghilangkan partikel mineral berlebih yang mungkin ada pada air baku.
Di samping itu, meski menggunakan air yang sudah dimasak, ternyata terkadang bakteri patogen masih bisa hinggap di alat makan yang sering kita gunakan. Hal tersebut kata Ratih, banyak ditemukan di area jajanan kaki lima.
Pasalnya, sebagian besar pedagang di pinggir jalan hanya membawa air dalam jumlah terbatas. Padahal air tersebut digunakan terus hingga berulang kali untuk membilas alat makan yang akan digunakan para pembeli.
“Apalagi dalam kondisi ramai pembeli, tentu air bilasan akan semakin keruh dan alat makan yang dicuci malah penuh dengan kuman,” tuturnya. (*/S-6)
Post Date : 15 September 2010
|