|
NAMANYA Yogi Yogantara. Ia biasa memperkenalkan dirinya dengan nama Ogi. Umurnya baru 13 tahun. Setelah lulus SD tahun 2005, Ogi tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke SMP karena alasan ekonomi. Sejak itu, waktunya dihabiskan di tempat yang paling dibenci orang saat ini, yaitu tumpukan sampah. Seragam putih-biru (seragam SMP) yang mestinya ia kenakan, diganti oleh seragam SD bekas dan celana jins belel. Sepatu boot karet ukuran 40, melengserkan sepatu kats no. 35 yang biasa Ogi pakai ke sekolah. Tas sekolahnya pun berubah menjadi bekas karung beras. Pensil sekolah diganti oleh gancu (alat pengait). "Ogi senang jadi pemulung," katanya kepada "PR" di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Babakan di Desa Babakan Kec. Ciparay, Kabupaten Bandung. Ogi adalah satu dari puluhan anak yang bergelut dengan sampah setiap harinya, dari pukul 7.00 WIB hingga azan asar berkumandang. Pukul tujuh pagi adalah saat truk sampah pertama Dinas Kebersihan Kab. Bandung tiba di TPA Babakan untuk membuang sampah. "Kalau udah adan (azan-red) asar, Ogi udahan. Jadi bisa maen bal (bola-red)," tutur pengidola Persib ini. Dalam seminggu, ia bisa mengantongi uang Rp 40.000,00. Uangnya dipakai untuk jajan dan sebagian ditabung. Menjadi pemulung adalah pilihannya, bukan permintaan orang tua Ogi yang juga pemulung. "Kasian bapak ibu," ucap Ogi singkat. Meski harus bergumul dengan bau sampah dan jutaan lalat, itu tidak membuatnya sedih. Hari-hari bersama sampah ia jalani dengan ceria. Sesekali memang terbersit keinginannya untuk melanjutkan sekolah atau bermain seperti anak-anak sebayanya. Namun, impian itu lekas-lekas ia hapus. "Ah, karunya bapak sareng ibu," tuturnya lagi, sembari menikmati kacang kulit di "jam istirahat-nya. Ketika berbincang dengan "PR", Ogi dan kawan-kawan sedang berleha-leha di atas ban berjalan mesin kompos yang belum berfungsi di TPA itu. Ratusan lalat yang hinggap di bajunya, seakan menjadi teman akrab. Kuku yang hitam dan ujung jemari yang kotor oleh sampah, tidak menghalanginya untuk mengganyang roti yang menjadi menu sarapan keduanya siang itu. Bau sampah yang menyengat dan belatung yang terlihat kasat mata di sekitarnya, tidak menghilangkan selera makan Ogi dan teman-temannya. Ancaman penyakit karena sampah, seperti yang banyak dikoarkan ahli dan pejabat kesehatan saat sampah menumpuk di Kota Bandung, tidak pernah terlintas dalam pikiran Ogi. Ya, karena para ahli dan pejabat itu hanya berbicara bagi kepentingan orang kota. Obrolan santai dengan Ogi terpotong ketika tiga unit truk sampah Kab. Bandung tiba di TPA. Dengan sigap, Ogi melompat dari ban berjalan, lalu mengenakan sepatu boot-nya. "Hayu ah Om. Ogi gawe heula," ucapnya sambil melambaikan gancunya ke arah "PR". Ogi berlari melintasi tumpukan sampah dan genangan air lindi. Seiring dengan itu, jutaan lalat beterbangan menghindari "tabrakan" dengan Ogi dan pemulung lainnya. Sejurus kemudian, Ogi sudah berada di atas bak truk sampah. Ia sengaja tidak menunggu sampah diturunkan agar tidak terdahului mendapatkan barang bekas "berharga" oleh pemulung lainnya. Bagi Ogi dan ratusan pemulung lainnya, sampah bukan musibah, tapi berkah. (Satrya/"PR") Post Date : 19 Juni 2006 |