Bagi Mereka, Sampah Justru Sumber Rezeki

Sumber:Kompas - 18 Maret 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Kecuali kedua tangannya yang masih bisa bebas bergerak, Ny Titin (50) nyaris tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Dari dada ke kaki sakit rasanya, terutama mulai dari pinggul ke kaki, tidak bisa digerakkan. Napas sesak. Tanah, batu, dan sampah menimbun saya sampai leher. Kepala saya juga kena batu, lukanya sampai dijahit,” tutur Titin di bangsal rawat inap RSUD Leuwiliang, Rabu (17/3) kemarin.

Warga Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, itu belum tahu sejauh mana ”kerusakan” di dalam tubuhnya karena hasil rontgen belum ada. Ibu lima anak itu adalah salah satu dari tujuh korban luka-luka akibat tertimbun longsoran bebatuan dan tanah fondasi talut Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga di Desa Galuga, Kabupaten Bogor, Selasa sore.

Namun, dia dengan lirih dan penuh harap memohon Pemerintah Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, pemilik dan pengelola, tidak menutup TPA tersebut. ”Longsor sampah biasa. Ini musibah. Yang penting besok bisa mulung lagi,” katanya.

Haning (54), suami Titin, mendukung penuh permohonan istrinya itu. ”Kalau tidak mulung, mau kerja apa lagi. Anak yang masih menjadi tanggungan kami tiga orang. Dari mana uang buat biaya sekolah mereka,” katanya.

Menurut Haning, puluhan karung hasil memulung mereka selama 13 hari ikut terbawa longsor. Padahal, kalau dijual, Haning sedikitnya bisa mengantongi Rp 500.000.

Ny Salmah (45), yang ditemui seusai menjual hasil pulungannya, mengatakan tidak mungkin TPA Galuga ditutup. ”Semua orang butuh TPA. Siapa yang mau disuruh menyimpan sampah di rumahnya sendiri? Ada banyak pabrik yang butuh sampah plastik. Biarlah kami bekerja memulung sampah itu di sini. Jangan saling ganggu,” katanya.

Salmah memulai memulung sejak tujuh tahun lalu. Namun, kini warga Desa Galuga itu menjadi pengepul dengan empat anak buah. ”Sampah ini kalau digeluti dapat membuat orang kaya raya. Modal jadi pengepul kecil- kecilan paling sedikit Rp 20 juta,” kata Salmah, yang kini sudah memiliki mobil bak terbuka.

”Saya memasok ogah susah (istilah untuk tas/kantong plastik keresek di kalangan pemulung) ke pabrik di Tangerang,” katanya.

TPA Galuga memang sudah menjadi tempat peruntungan banyak keluarga di Desa Galuga dan sekitarnya. Lokasi ini menjadi TPA pada tahun 1992 ketika Pemkab Bogor menampung sampah dari Kecamatan Ciampea dan Leuwiliang. Luas TPA itu kini sekitar 17 hektar, areal seluas 4 hektar untuk menampung sampah dari wilayah Kabupaten Bogor dan 13 hektar untuk sampah dari wilayah Kota Bogor.

Semakin luas area TPA, semakin banyak warga yang memulung sampah. Mereka memungut aneka jenis sampah dan dijual kepada pengepul menjadi barang bernilai. Menurut Agus (40), pemulung, mereka bisa menjual sampah kantong plastik Rp 200 per kg, kaleng Rp 1.000 per kg, beling Rp 200 per kg, besi Rp 2.000 per kg, tulang sapi Rp 400 per kg, dan tembaga (yang paling mahal) Rp 49.000 per kg.

Dengan modal tenaga dan ketekunan, pemulung bisa langsung mendapatkan uang Rp 10.000-Rp 15.000 sekali memulung. Itu pun tidak perlu jauh-jauh membawa hasil pulungan karena pengepul sendiri yang akan datang. Aktivitas di sekitar TPA pun nyaris tidak pernah berhenti dari pukul 02.00 hingga pukul 18.00. Adapun pengelola hanya memberi waktu pencarian sampah pukul 06.00-17.00.

Kepala Desa Galuga Endang Sujana mengakui, tempat pembuangan sampah itu ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi menjadi berkah, sisi lain juga mendatangkan musibah bagi warga. Lebih dari separuh warga bekerja dari sampah di Galuga. Di sisi lain, tempat ini menebar ancaman maut, terutama bagi pemulung itu sendiri dan pemilik sawah di sisi timur TPA. Aliran limbah sampah mengalir ke sungai yang berdampingan dengan sawah. Selain itu, di TPA juga kerap terjadi longsor yang menimpa warga sehingga mengakibatkan korban tewas dan luka-luka. (rts/ndy)



Post Date : 18 Maret 2010