|
Masyarakat tradisional Baduy yang bermukim di Desa Kanekes, Banten Selatan, mungkin tidak pernah tahu setiap tahun ada peringatan Hari Air Sedunia. Tahun ini Badan PBB Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan tema peringatan Hari Air Sedunia adalah "Air dan Budaya". Meski tidak paham maknanya, masyarakat Baduy telah melaksanakan pesan itu. Urang Baduy menyadari bahwa sumber daya air sangat penting bagi kehidupannya dan kehidupan warga non-Baduy lainnya. Oleh karena itu, urang Baduy secara lekat budaya dan berbasiskan ekologi melakukan upaya konservasi air secara tradisional. Kawasan Baduy seluas 5.102 hektar dihuni kira-kira 7.000 penduduk di kawasan hutan Gunung Kendeng. Kawasan itu memiliki daerah hutan dengan banyak sumber air, mulai dari mata air dalam tanah (cai nyusu) sampai parit-parit kecil di bukit dan sungai. Hasil survei lapangan penulis dengan menyusuri sungai utama di kawasan Baduy, Sungai Ciujung, dari batas paling luar di utara yang berbatasan dengan daerah non-Baduy, Kampung Kaduketug, Baduy Luar, hingga kawasan hutan sakral di selatan Kampung Cikeusik, Baduy Dalam, tercatat tidak kurang dari 36 anak sungai mengalir ke Sungai Ciujung. Keberadaan hutan, tanah, dan air di kawasan Baduy telah menjadi satu kesatuan ekosistem yang terintegrasi, membentuk hubungan timbal balik saling memengaruhi dengan sistem sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari pengetahuan, kepercayaan, nilai, ideologi, dan organisasi sosial masyarakat Baduy. Tata ruang Berdasarkan pola pengelolaan tata ruangnya, kawasan Baduy secara umum dibedakan menjadi tiga, yaitu zona permukiman, zona pertanian ladang dan hutan sekunder bekas ladang, serta zona hutan perlindungan /hutan titipan. Zona pertama, daerah permukiman, khusus diperuntukkan bagi permukiman penduduk berupa rumah-rumah tradisional di daerah-daerah lembah, dekat sumber air, seperti pinggiran sungai dan dekat sumber air tanah. Di sekitar permukiman, biasanya ditumbuhi aneka ragam tanaman buah- buahan dan kayu-kayuan, yang tumbuh liar, setengah liar, atau masih liar. Hutan antropogenik di daerah kampung yang rimbun menyerupai struktur vegetasi hutan alami, biasa disebut sebagai dukuh lebur atau leuweung lembur. Di daerah dukuh lembur tersebut, di bawah pepohonan rindang, biasanya ditempatkan lumbung padi tradisional (leuit). Menurut pikukuh Baduy, dukuh lembur tidak boleh dirusak, ditebangi, karena dianggap sebagai perlindungan kampung dan sekaligus menghasilkan aneka ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk. Di pinggiran-pinggiran rumah-rumah yang menyusun kampung tersebut, di bawah pepohonan kayu dan rumpun-rumpun bambu, umumnya banyak ditemukan mata air yang keluar dari tanah (cai nyusu). Pada beberapa tempat mata air tersebut, biasanya dibuat pancuran air yang dimanfaatkan untuk tempat mandi dan mencuci serta mengambil air minum. Di samping itu sungai besar, Sungai Ciujung, lazim dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan buang air. Selain itu, sungai tersebut juga biasa dimanfaatkan untuk mengambil ikan dengan berbagai cara, seperti dijala (dikecrik), dipasang perangkap ikan dari bambu (dibubu), dan ditangkapi dengan menyelam (diteuleuman di leuwi). Mereka tabu menangkap ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak. Tabu ditebang Sama halnya dengan dukuh lembur, pepohonan yang tumbuh di bantaran sungai tabu (teu wasa) ditebangi. Karena bantaran sungai di- konservasi penduduk, daerah bantaran tersebut sangat rimbun ditumbuhi berbagai pepohonan dan dapat terhindar dari kerusakan erosi sempadan sungai. Pada zona kedua, bagian luar permukiman penduduk, biasanya di atas lembah-lembah bukit, diperuntukkan bagi perladangan berpindah (huma). Oleh kerena itu, di zona ini terdapat daerah-daerah ladang dan daerah hutan bekas ladang yang diberakan (reuma) dengan berbagai umur masa bera. Pada zona ketiga, berupa daerah-daerah puncak bukit, biasanya di- peruntukkan bagi konservasi hutan, berupa hutan tua yang tidak pernah dibuka dijadikan ladang. Daerah-daerah hutan tua tersebut biasanya disebut 'hutan titipan' (leuweung titipan) atau 'hutan tua' (leuweung kolot). Beberapa daerah hutan tua yang masih cukup luas ditemukan di daerah Baduy Dalam. Pada kawasan hutan tua tersebut terdapat dua kawasan hutan yang dianggap sakral serta sangat dilindungi oleh segenap warga Baduy. Hutan itu hanya digunakan untuk tempat ziarah tahunan pimpinan adat Baduy. Yaitu, kawasan hutan Sasaka Pusaka Buana atau Pada Ageung di kawasan hulu Sungai Ciujung, bagian selatan Kampung Cikeusik; dan hutan Sasaka Domas di kawasan hulu Sungai Ciparahiang, anak Sungai Ciujung, bagian selatan Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Keberadaan berbagai mata air, anak-anak sungai, dan Sungai Ciujung hulu telah menjadi sumber air bukan saja bagi masyarakat Baduy, tetapi juga bagi masyarakat non-Baduy di bagian hilir Sungai Ciujung, seperti di Kota Rangkasbitung dan di daerah utara Serang, hingga pantai Teluk Pontang, pantai utara Laut Jawa. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, menurut Berthe (1965) dan Van Zanten (1995), bahwa masyarakat Baduy dianggap sebagai masyarakat mandala, penjaga hutan dan sumber air irigasi petani sawah. Selain itu, mereka juga sekaligus sebagai simbol pelindung keselamatan tata air dunia. Masyarakat Baduy juga dapat dipandang sebagai penjaga air sungai untuk kehidupan masyarakat Sunda yang bermukim di daerah-daerah utara hilir Sungai Ciujung. Pada umumnya masyarakat Sunda yang bermukim di bagian-bagian hilir Sungai Ciujung dalam kehidupan sehari -harinya sangat membutuhkan air sungai, antara lain untuk bertani sawah. Namun, sayangnya dewasa ini perilaku masyarakat non-Baduy di daerah-daerah lembah atau hilir Sungai Ciujung tidak mencerminkan perilaku "cinta air" ala urang Baduy. Mereka tidak memiliki modal pikukuh ala Baduy maupun modal sosial, kebersamaan masyarakat untuk menjaga air sungai secara gotongroyong. Bahkan sebaliknya, dengan keserakahannya masing-masing individu, air sungai dijadikan tempat pembuangan aneka ragam limbah rumah tangga dan industri, tanpa peduli untuk memeliharanya. Akibatnya, dari masa kemasa sumber daya air Sungai Ciujung di daerah-daerah hilir kian kritis. Johan Iskandar Dosen Biologi FMIPA Peneliti PPSDAL Unpad Post Date : 27 April 2006 |