Badan Regulator dan BPKP Tentukan Tarif

Sumber:Kompas - 15 Januari 2009
Kategori:Air Minum

Jakarta, Kompas - Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BR PAM) DKI Jakarta mengundang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan imbalan bagi operator air minum. Penentuan imbalan ini penting karena akan berdampak pada tarif kepada konsumen.

Dilibatkannya BPKP dalam penentuan imbalan ini karena BR PAM melihat tarif PAM Jakarta sudah terlalu tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia. Di Asia, tarif PAM Jakarta juga tertinggi di luar Singapura, yang kualitas airnya siap minum.

”Kami ingin tarif baru ini bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, perhitungannya harus tepat,” kata Irzal Jamal, Kepala BR PAM, Rabu (14/1).

Penentuan tarif baru ini bagian dari kesepakatan dengan operator sebagai imbalan. Namun, penentuan tarif harus cermat karena jika terlalu tinggi, tidak akan terjangkau oleh masyarakat. Pelanggan yang berada di kelas utama akan membandingkan biaya memakai air PAM dengan sumber air bersih yang lain.

”Apabila pelanggan utama ini pergi, tidak ada yang menanggung biaya subsidi Rp 1.050 per meter kubik bagi pelanggan kelas bawah,” kata Irzal.

Firdaus Ali, anggota BR PAM, mengatakan, saat ini teknologi untuk mendapatkan air bersih semakin canggih dan murah. Seperti teknologi mengubah air laut menjadi air minum hanya memerlukan Rp 9.200 per meter kubik untuk biaya produksi. Sedangkan tarif PAM saat ini untuk pelanggan kelas atas mencapai Rp 12.000 per meter kubik, mencakup biaya produksi, distribusi, dan kehilangan air.

Selain itu, pelanggan utama juga bisa beralih ke pemakaian sumur air dalam jika tarif mahal. ”Jika semakin banyak warga Jakarta yang memakai sumur air dalam, permukaan tanah di Jakarta akan makin turun dan terjadi banjir makin meluas,” kata Firdaus.

Imbalan dasar

Penentuan tarif baru ini dilakukan setiap lima tahun sekali yang disebut rebasing. Pada rebasing ini akan ditentukan Co atau imbalan dasar baru untuk operator. Co ini menjadi standar bagi imbalan operator tahun berikutnya berdasarkan inflasi, investasi, dan variabel yang lain sehingga dalam lima tahun menjadi C1, C2, dan seterusnya.

”Jika Co-nya terlalu besar, margin dengan tarif ke konsumen makin tahun makin kecil. Bahkan, PDAM Jakarta akan merugi karena imbalan melewati tarif ke konsumen,” kata Firdaus.

Kenaikan tarif ini juga harus mempertimbangkan inefisiensi yang masih terus terjadi. Hingga saat ini operator belum berhasil mencapai target air yang hilang tidak terbayar.

”Kami menargetkan 39 persen air yang hilang. Namun, operator Palyja baru mencapai 45,27 persen. Sedangkan Aetra yang dulu bernama Thames Pam Jaya masih berada di atas 50 persen,” kata Firdaus. Palyja kini memakai gas helium untuk mendeteksi kebocoran. (ARN)



Post Date : 15 Januari 2009