|
MAKASSAR, KOMPAS.com - Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan pada akhir tahun 2014, sebanyak 80 persen masyarakatnya sudah stop buang air besar sembarangan. Saat ini (periode april-juni 2012) baru 50 persen warga Sulsel yang sudah stop buang air besar di sembarang tempat. Demikian disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Dr. Rachmat Latief, Sp. PD, M.Kes, saat acara Workshop Media dan Kunjungan Media Mewujudkan Stop BABS 2015, yang diselenggarakan oleh IUWASH, Rabu, (30/5/2012), di Makassar. Rachmat mengatakan, negara dirugikan hampir triliunan rupiah karena kondisi lingkungan yang buruk. Suatu penelitian menunjukkan, apabila faktor lingkungan diperbaiki banyak penyakit bisa dicegah. "Yang harus dirubah adalah mind set. BABS (buang air besar sembarangan) seakan sudah menjadi budaya. Mereka sudah terbiasa BABS di sungai dan kebun," ujarnya. Rachmat mengungkapkan, perlu adanya sebuah perbaikan yang dimulai dari hulu, yaitu bagaimana mengubah perilaku masyarakat. Menurutnya, banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa kotoran yang mereka buang sembarangan mungkin tidak berpengaruh kepada pemilik kotoran, tetapi bisa berdampak buruk kepada orang lain. "Terbukti bahwa penyakit infeksi paling banyak di Sulsel adalah diare," cetusnya. Padahal, kata Rachmat, diare bisa ditekan apabila seseorang menerapkan perilaku hidup bersih, seperti cuci tangan pakai sabun dan stop buang air besar sembarangan. Perbedaan antara penyakit menular dan tidak menular di Sulsel tidak samapai satu persen. Penyakit menular di sulsel masih didominasi oleh diare, sedangkan peyakit tidak menular didominasi oleh stroke. "Kebanyakan kita mencari anggaran ratusan miliar untuk mengurus hal ini. Padahal yang harus kita lakukan adalah mencari penyebab atau akar masalahnya," terangnya. Berbagai usaha tengah dilakukan dinas kesehatan Sulsel, misalnya, dengan mendatangai semua tempat lokasi yang masih tinggi kasus BABS oleh petugas propinsi dan kabupaten. Diharapkan dengan kunjungan langsung kelapangan dan memberikan pemahaman, masayarakat menjadi sadar dan mau membuat jamban. Rachmat menambahkan, pihaknya sudah melatih petugas-petugas sanitarian di Puskesmas. Para sanitarian ini bertugas mengurus soal kebersihan dan mengamati berapa banyak orang yang masih memiliki perilaku BABS. "PHBS kita (Sulsel) masuk lima besar di Indonesia. Tentu kalau PHBS baik, yang sakit menghadapi kuratif angkanya tidak akan terlalu banyak," tutupnya. Bramirus Mikail Post Date : 31 Mei 2012 |