UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup antara lain menegaskan, bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 Ayat 1). Berikutnya, juga ditegaskan, bahwa Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 Ayat 2).
Penegasan atau amanat tadi berimplikasi terhadap kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia untuk secara terpadu dan menyeluruh melaksanakannya. Salah satunya adalah memelihara prosesi alami siklus air, yang oleh Allah SWT diciptakan sedemikian rupa untuk kepentingan umat. Bukankah Allah SWT telah menciptakan alam ini dengan tatanan geografis yang nyaris sama. Ada gunung, ada area resapan air, ada sungai dan ada laut ?. Air dari curah hujan di gunung sebagian meresap ke tanah untuk penyuburan, sebagian lagi mengalir melalui sepanjang sungai, bermuara ke laut. Kemudian lewat prosesi alam, air laut mengembun berubah menjadi awan, ditiup angin ke arah pegunungan dan terjadilah curah hujan.
Demikianlah siklus itu terjadi secara alami. Tetapi siklus itu dapat menjadi tidak sempurna lagi ketika ada beberapa bagian dari alam yang telah "dirusak" oleh manusia. Misalnya, penggundulan hutan di hulu sungai, menyebar pupuk, pestisida, deterjen dll (aneka produk non-organik) dengan dalih pertanian modern, hunian liar di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), pembangunan real estate yang mengabaikan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL), sebaran sampah non-organik utamanya plastik. Tanpa disadari semua ini telah mempengaruhi prosesi alami siklus air. Bahkan, air yang bermuara di laut sarat dengan limbah kimiawi, yang ditengarai ikut berpengaruh terhadap perubahan iklim, yang akhirnya juga mempengaruhi tatanan kehidupan.
UUD 1945 Pasal 28 H mengamanatkan, bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Sementara pada bagian lain dalam UUD 1945, juga ditegaskan, bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, setelah keluarnya UU 32 Tahun 2009 yang mengatur Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, seluruh warga negara Republik Indonesia ikut berpartisipasi dalam mengimplementasikannya. Urgensi ini semakin terasa ketika kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Termasuk di antaranya yang terkait dengan prosesi alami siklus air.
Sejumlah Fakta...
Banjir di Jakarta, Bandung Selatan, serta sejumlah kota sepanjang DAS Bengawan Solo, hakekatnya tidak terlepas dari kerusakan yang terjadi di hulu. Bogor dan Puncak sebagai kawasan hulu kali Ciliwung telah berubah menjadi bangunan vila. Lembang, bukit Dago dan bukit Punclut sebagai kawasan konservasi di hulu kali Cikapundung, juga nyaris rusak dengan aneka bangunan vila, bahkan sebagian permukaan tanah yang semula memiliki pori-pori untuk resapan air, telah ditutup dengan pelesteran semen dan pengaspalan. Demikian juga halnya kawasan Tawangmangu sebagai hulu Bengawan Solo, bahkan mungkin hampir di seluruh nusantara ini, kawasan hulu telah dirusak demi berbagai pertimbangan yang bersifat temporer.
Sedikit ke hilir, sepanjang DAS Ciliwung, Cikapundung dan Bengawan Solo, juta telah terusik kelestariannya oleh ulah pemukim di sepanjang bantaran kali. Akibatnya gampang ditebak, sungai menjadi semakin menyempit, bahkan bukan rahasia lagi sungai juga digunakan sebagai tempat pembuangan (sampah) akhir (TPA). Akibatnya, selain lebar sungai menyempit, juga dangkal karena aneka limbah non-organik utamanya plastik juga menjejali dasar sungai. Debit air tidak tertampung sungai, sehingga terjadilah yang disebut banjir, yang kemudian secara salah kaprah disebut sebagai bencana alam, yang sesungguhnya adalah bencana karena ulah manusia.
Dari hulu sampai ke muara, sungai juga menjadi luapan aneka limbah. Pabrik aneka industri, rumah sakit, areal perkebunan dan pertanian dengan pola pertanian modern, rumah tangga masyarakat, semuanya menyumbang aneka limbah berbahaya yang mengalir ke sungai, hanyut bermuara ke laut. Alam awalnya memiliki prosesi alami siklus air yang dapat menjamin bahwa air yang mengalir ke laut steril dari aneka pencemaran. Tetapi, apa yang kemudian terjadi, air sungai yang bermuara ke laut telah terkontaminasi dengan aneka limbah? Lalu, apakah kondisi ini masih memungkinkan penguapatan air laut menjadi awan dan curah hujan yang sehat untuk kehidupan?
Dari sejumlah fakta di atas, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai upaya sistematis, terpadu dan menyeluruh yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum sebagaimana diamanatkan UU 32 Tahun 2009 (Pasal 1 Ayat 2) sangat mendesak dilakukan. Langkah kongkrit dari sejumlah pemangku kepentingan di berbagai tingkatan harus dapat dilakukan secara konsiekuen dan konnsisten.
Solusi harapan...
Terkait dengan upaya memelihara prosesi alami siklus air, setidaknya ada tiga solusi yang harus dilakukan. Pertama, memperbaiki kerusakan lingkungan di hulu untuk memfungsikan kembali sebagai resapan air secara optimal. Memang tidak mudah dilakukan, tetapi itu satu keharusan yang juga tidak dapat dibantah. Langkah yang harus dilakukan dalam hal ini, adalah: (1) Menghentikan pemberian berbagai ijin penggarapan kawasan hulu untuk berbagai aktivitas yang diperkirakan dapat merusak lingkungan. (2) Membatalkan ijin yang telah diberikan terhadap berbagai aktivitas yang belum dilaksanakan oleh penerima ijin. (3) Mewajibkan kepada para pihak yang telah beraktivitas di kawasan hulu untuk memelihara dan melindungi lingkungan dari kerusakan yang lebih parah. Misalnya, mewajibkan para pihak yang telah beraktivitas untuk membuat sumur resapan air, serta membuat pori-pori bumi dengan pemasangan paving block pada jalan setapak di kawasan pemukiman demi tetap terpeliharanya prosesi alami siklus air. Hal ini sejalan dengan Pasal 53 Ayat 1 UU 32 Tahun 2009: "Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup." Demikian juga Pasal 54 Ayat (1) yang menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup."
Kedua, membebaskan DAS dari berbagai aktivitas, baik sebagai hunian masyarakat maupun sebagai tempat pembuangan aneka limbah non-organik. Solusi ini memang paling besar mendapat resistensi dari masyarakat, khususnya dari mereka yang telah bertahun-tahun tinggal di sepanjang DAS. Tetapi, apapun alasannya pemerintah harus memiliki nyali untuk bertindak tegas. Tahapan langkah yang harus dilakukan adalah: (1) Menetapkan batas yang tegas kawasan DAS dan mensosialisasikan batas dimaksud termasuk rencana dan waktu pembebasannya kepada masyarakat. (2) Menetapkan beberapa opsi relokasi hunian dengan alternatif: transmigrasi antarpulau; hunian yang layak di kota yang sama; ganti untung atas nilai bangunan yang dihuni selama ini. (3) Penataan lahan pasca pembebasan diikuti upaya perlindungan dan pengelolaan DAS secara konsisten dan konsekuen. (4) Melakukan audit lingkungan terhadap tindakan pembuangan limbah ke sungai, yang umumnya dilakukan kalangan pabrikasi dan industri, bahkan rumah sakit. (5) Membatasi, bila mungkin meniadakan penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan (pestisida dll) yang berdalih pertanian modern.
Ketiga, menegakkan sejumlah sanksi yang telah ditetapkan dalam UU 32 Tahun 2009, baik sanksi administratif (Pasal 76 s/d Pasal 83), maupun sanksi pidana (Pasal 97 s/d Pasal 120). Kalau kita cermati bunyi sejumlah pasal dalam UU 32 Tahun 2009, kemudian kita padankan dengan fakta di lapangan, sangat dimungkinkan pengenaan sanksi baik administratif maupun pidana terhadap para pihak yang ditengarai menjadi penyebab rusaknya prosesi alami siklus air. Misalnya, Pasal 109, yang menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah)."
Air merupakan sumber daya alam yang sangat menentukan kelangsungan hidup dan kehidupan di bumi. Oleh karena itu, prosesi alami siklus air harus dipelihara agar lingkungan hidup tetap lestari dan mampu memberikan sumber kehidupan yang layak bagi manusia. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diamanatkan dalam UU 32 Tahun 2009 harus dapat menjadi spirit mewujudkan upaya sistematis, terpadu dan menyeluruh yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Semoga! H. Kliwon Suyoto (Pemerhati masalah sosial lingkungan, Padang)
Post Date : 13 April 2010
|