PADA konsideran UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, antara lain disebutkan, bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan (Pasal 1, butir 16).
Konsideran lainnya menyebutkan, penurunan kualitas lingkungan hidup antara lain disebabkan perusakan lingkungan hidup akibat tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal 1, butir 17). Salah satu di antaranya adalah kerusakan lingkungan akibat sampah non-organik (plastik).
Sampah plastik yang berbaur dengan tanah mengakibatkan daya serap air semakin berkurang, tanah yang subur berubah menjadi gersang. Perlu waktu yang lama (1000 tahun) agar plastik dapat terurai oleh tanah secara terdekomposisi atau terurai dengan sempurna. Sungguh waktu yang sangat lama, bahkan saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah.
Sampah plastik juga potensial menyumbat saluran air kotor, sehingga di beberapa kota besar, got tidak lagi berfungsi, ketika hujan datang, air menggenangi jalan, lalulintas menjadi macet, bahkan banjir menjadi ancaman. Sebagian sampah plastik terkadang dibakar, yang menimbulkan zat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) di udara dan merusak oksigen.
Pertimbangan praktis dalam era modern telah membuat plastik menjadi dominan sebagai pilihan untuk pembungkus berbagai kemasan barang konsumsi masyarakat. Aneka snack atau jajanan anak, aneka barang kosmetik, shampo, krim anti nyamuk, aneka bumbu masakan, aneka sabun cuci, dikemas dengan plastik.
Pemerhati lingkungan memperkirakan setiap tahun ada 500 juta hingga 1 miliar kantong plastik digunakan di dunia. Sumber lain memperkirakan setiap orang menghabiskan 170 kantong plastik setiap tahunnya, bahkan lebih dari 17 miliar kantong plastik dibagikan secara gratis oleh supermarket di seluruh dunia setiap tahunnya. Maklum, supermarket merupakan penyebar kantong plastik khususnya di kota besar.
Begitu juga di pasar, semua pedagang menggunakan kantong plastik, hanya sebagian kecil yang menggunakan kertas sebagai pembungkus, bahkan nyaris tidak ditemukan pedagang yang mengemas barang dagangannya dengan kemasan organik seperti dedaunan (jati, waru, pisang) yang diikat tali dari batang pisang yang sudah dikeringkan.
Gerakan Back to Basic
Di beberapa negara mulai dilarang penggunaan kantong plastik, bahkan Kenya dan Uganda secara resmi melarang penggunaan kantong plastik. Sementara di Filipina, Australia, Hongkong, Taiwan, Irlandia, Skotlandia, Prancis, Swedia, Finlandia, Denmark, Jerman, Swiss, Tanzania, Bangladesh, dan Afrika Selatan penggunaan kantong plastik sudah mulai dikurangi.
Singapura, sejak April 2007 dikampanyekan gerakan "Bring Your Own Bag" (bawa langsung kantong anda sendiri), yang diprakarsai oleh The National Environment Agency (NEA). China juga telah mengeluarkan rancangan undang-undang (RUU) mengatasi kantong plastik. Reaksi yang telah disiapkan antara lain pelarangan penggunaan tas plastik di Departement Store. Para pembeli akan dikenakan bayaran untuk kantong plastik dan akan diberlakukan standardisasi produksi tas plastik. Lalu, bagaimana di Indonesia ?
Pemerintah Indonesia belum secara nyata membuat kebijakan terkait dengan "perang" terhadap plastik. Kalau pun ada beberapa komponen masyarakat yang terinspirasi dengan berbagai informasi tentang pelarangan penggunaan kantong plastik dari berbagai negara. Misalnya seperti dilakukan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB, menkampanyekan gerakan "memusuhi" kantong plastik, tetapi itu masih bersifat parsial, belum terpadu dan menyeluruh.
Salah satu hal yang mungkin dilakukan untuk "memerangi" penggunaan plastik, adalah melakukan gerakan "back to basic." Mengembalikan budaya penggunaan plastik kepada penggunaan pembungkus organik, daun pisang, daun jati, daun waru dapat dibudidayakan sebagai pembungkus di pasar. Begitu juga tali dari batang pisang, kembali digunakan sebagai pengganti tali plastik yang disebut rafia. Singkatnya, pasar tradisional tidak diperkenankan menggunakan kantong plastik dan tali plastik.
Jangan anggap enteng dengan pasar tradisional, karena peredaran kantong plastik paling besar jumlah di lokasi ini. Sebuah ilustrasi, seorang ibu ke pasar membeli tomat, cabe, bawang, sayuran, ikan, yang masing-masing dikemas dengan kantong plastik. Artinya, ada lima kantong plastik calon limbah non-organik. Belum lagi kalau diikuti dengan membeli menu sarapan pagi (lontong sayur), aneka kue dan sebagainya.
Dengan gerakan "back to basic," si Ibu tidak lagi membawa sejumlah sampah plastik. Daun jati, dapat digunakan untuk membungkus cabe, bawang, tomat, sayuran, bahkan ikan. Mungkin hanya lontong sayur saja yang masih perlu pembungkus plastik, sehingga telah terjadi pengurangan jumlah plastik yang digunakan sebagai pembungkus, yang kemudian menjadi sampah. Lalu, bagaimana dengan pasar modern ?
Gerakan "back to basic" masih mungkin dilakukan dengan mempersiapkan kantong berbahan non-plastik, misalnya dari kertas karton. Bukankah semen dengan berat 50 kg dapat dikemas dengan kertas, mengapa barang belanjaan di pasar modern tidak menggunakan kantong berbahan kertas seperti di Singapura dan sejumlah negara yang care terhadap bahaya limbah plastik. Demikian juga dengan kemasan makanan dan minuman, dapat menggunakan kertas berbalut lilin yang steril dan bebas dari unsur plastik.
Implementasikan UU 32 Tahun 2009
UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup sebenarnya dapat dijadikan "payung" untuk mengimplementasikan gerakan "memerangi" plastik. Apalagi setelah era otonomi daerah, yang memungkinkan para Kepala Daerah, minimal Pemkab dan Pemko untuk berlomba-lomba mengimplementasikan gerakan "memerangi" plastik ini. Caranya, terbitkan Peraturan Daerah yang melarang penggunaan kantong dan tali plastik sebagai kemasan aneka barang di pasar tradisional.
Kalau hal ini dilakukan, akan terbuka lapangan usaha/kerja bagi masyarakat papan bawah, yaitu mencari daun pisang, jati atau waru, serta membuat tali dari batang pisang untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional. Memang, ada konsekuensinya, yaitu kemungkinan "bangkrutnya" industri kantong dan tali plastik, sehingga perlu dipikirkan alternatif produk baru untuk kelanjutan usahanya.
Terkait dengan hal ini, ada beberapa pasal pada UU 32 Tahun 2009 yang dapat dijadikan rujukan untuk menerbitkan Perda. Misalnya, Pasal 53 Ayat (1), yang menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup."
Demikian juga Pasal 54 Ayat (1) yang menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup." Bahkan UU 32 Tahun 2009 juga memuat sanksi pidana berupa hukum penjara dan denda bagi siapa saja yang terbukti melakukan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Oleh karena itu, sangat diharapkan agar sejumlah Pemda dengan kekuatan semangat Otonomi Daerah memanfaatkan UU 32 Tahun 2009 sebagai payung, kemudian menelorkan kebijakan lokal (daerah) dalam bentuk Peraturan Daerah, yang berorientasi pada upaya "memerangi" plastik. Siapa yang akan memulai? Tentu sangat tergantung bagaimana visi dan misi seorang pemimpin (Bupati atau Walikota) di masing-masing daerah. Tetapi, harus disadari, bahwa limbah plastik sangat berbahaya bagi kelestarian lingkungan hidup. Yuk, kita hentikan bersahabat dengan plastik, Semoga..!! H. Kliwon Suyoto (Tebing Tinggi)
Post Date : 23 Maret 2010
|