Salah satu masalah berat yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah penanganan dan pengelolaan sampah. Pemprov DKI telah berhasil mengubah sampah menjadi kompos dan energi listrik. Namun, sampah-sampah yang berada di jalanan, di kali, di gorong-gorong, dan teluk Jakarta masih sangat menakutkan.
Produksi energi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantargebang sampai akhir tahun ini telah mencapai 4 MW dari target 26 MW tahun 2023. Energi listrik ini dihasilkan dari sampah-sampah organik.
Di Bantargebang juga telah dibangun pabrik kompos dari sampah organik. Tahun ini, kemampuan produksinya telah mencapai 60 ton per hari. Produksi kompos tahun 2013 ditargetkan sebesar 300 ton per hari dari hasil pengolahan sampah yang berasal dari pasar-pasar tradisional.
Sementara itu jenis sampah yang belum bisa diolah dengan baik adalah sampah plastik. Penanganan sampah plastik memang cukup memusingkan. Pasalnya, sampah plastik sulit dihancurkan dan sering kali membuat mampat aliran air.
Di muara sungai, sampah plastik menumpuk sangat banyak sehingga mengubah ekosistem karena hewan-hewan air tidak bisa lagi beranak-pinak di sana.
Menurut Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuno, sampah plastik menempati 14 persen dari komposisi sampah anorganik yang ada di Jakarta. Komposisi sampah anorganik ini jumlahnya 45 persen dari total sampah 6.200 ton per hari.
”Jumlah sampah plastik memang cukup tinggi karena penggunaan plastik sangat praktis,” tutur Eko.
300 tahun
Sampah plastik tidak mudah dihancurkan. ”Kira-kira butuh waktu 200-300 tahun untuk menghancurkannya,” papar Eko.
Saat ini, beberapa jenis plastik ada yang bisa diolah lagi menjadi bijih plastik dan dimanfaatkan kembali menjadi barang-barang lain. Namun, masih banyak jenis plastik yang tidak bisa diolah kembali, misalnya tas plastik untuk belanja.
Semula memang ada yang mengolah tas plastik bekas untuk dijadikan tas plastik lagi. Namun, lama-kelamaan tas plastik itu berwarna hitam dan bersifat karsinogen atau zat yang bisa memicu kanker.
Penanganan sampah tas plastik memang seperti buah simalakama. Jika tidak diolah, sampahnya menumpuk dan sulit dihancurkan. Jika diolah, sifatnya menjadi karsinogen.
Pernah ada pemikiran untuk mengganti tas plastik dengan tas kertas, tetapi pilihan ini juga bukan pilihan bijak. Masalahnya, semakin banyak tas kertas dibuat, semakin banyak pohon yang ditebang. Selain itu, biaya produksi tas kertas dan tas kain juga lebih mahal. Belum lagi budaya masyarakat yang memilih menggunakan tas plastik ketimbang tas kertas atau kain.
Data dari Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) menyebutkan bahwa ada 1,8 juta orang pengguna plastik di Indonesia. Dalam satu tahun, satu orang menggunakan 350 kantong belanja plastik.
Zat adiktif
Kini, beberapa pabrik plastik telah menggunakan zat adiktif dalam membuat plastik. Dengan menggunakan zat adiktif, tas plastik akan hancur dalam waktu dua tahun.
Menurut David Gunawan, Manager Marketing dari PT Merindo Makmur, importir zat adiktif dari EPI Environmental Technologies Inc (EPI), Kanada, ”Plastik ini akan hancur jika terpapar matahari atau tertumpuk dengan sampah-sampah yang mengalami fermentasi,” kata David.
Penggunaan zat adiktif ini juga tidak membuat penampilan plastik berubah, tidak membuat plastik berbau, dan tidak merusak isi. Satu-satunya perbedaan adalah plastik ini akan hancur dalam waktu dua tahun. Jadi, plastik ini tidak bisa disimpan dalam waktu lama. ”Jumlah penggunaan adiktif menentukan umur plastik. Semakin banyak adiktif digunakan, plastiknya akan cepat hancur,” papar David.
Dengan munculnya adiktif penghancur plastik itu, kini semakin banyak pabrik plastik yang menggunakannya. Mereka bisa mendapatkan adiktif dari beberapa pemasok, tidak hanya dari EPI.
Agus Susanto, Marketing Logistik PT Gramedia Asri Media, pengelola Toko Buku Gramedia, mengatakan, saat ini Gramedia menjadi salah satu ritel yang menggunakan adiktif penghancur plastik. ”Ini bagian dari keinginan perusahaan kami untuk lebih peka pada lingkungan. Jika tidak segera menggunakan tas plastik lekas hancur, dalam waktu singkat bumi akan dipenuhi tas plastik,” ujar Agus.
Agus mengakui, sebenarnya keinginan menggunakan tas plastik lekas hancur ini sudah lama. ”Tetapi, sekitar lima tahun lalu, harga tas plastik lekas hancur itu lebih mahal 30-40 persen. Sekarang harganya relatif sama,” kata Agus.
Beberapa pasar swalayan dan apotek juga sudah memakai tas plastik lekas hancur. Di catatan dinas kebersihan, setidaknya ada 40 peritel yang menggunakan plastik lekas hancur pada tahun 2010.
Namun, menurut David, saat ini yang belum memakai adiktif adalah produsen pembalut wanita dan popok bayi. Padahal, sampah dari pembalut dan popok itu cukup besar dan sulit diurai. ”Begitu juga dengan tas plastik tanpa merek yang dijual bebas. Mungkin karena penyimpanannya harus lebih baik agar tidak lekas hancur, banyak pabrik plastik yang menolak memakai adiktif untuk tas plastik curah ini,” kata David.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan Eko Bharuno menyambut baik perusahaan-perusahaan yang memakai tas plastik lekas hancur. Rencananya, Pemprov DKI akan memberikan penghargaan bagi para pengguna tas plastik lekas hancur ini pada HUT DKI Jakarta ke-484.
Dengan besarnya manfaat yang diperoleh dari penggunaan adiktif penghancur plastik ini, masyarakat Jakarta juga bisa lebih peduli. Caranya, hanya mau menggunakan produk plastik lekas hancur. Dengan demikian, produsen pun akan terdorong untuk ambil bagian menjaga bumi. (M Clara Wresti)
Post Date : 04 Juni 2011
|