|
Konferensi tingkat dunia tentang perubahan iklim di Bali berjalan bersamaan dengan ancaman banjir besar yang melanda ibukota Jakarta. Ancaman kali ini bukan hanya datang dari kawasan "tradisional" seperti Bogor dan Puncak, tapi justru dari laut utara Jakarta. Inikah dampak pemanasan global, gejala alam biasa atau bukti rusaknya lingkungan di ibukota? Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menjawab ancaman ini? Menjelang tutup tahun 2007, Jakarta kembali diterjang banjir. Sumber banjir kali ini bukan lagi curah hujan dari wilayah hulu seperti dari Bogor dan Puncak, melainkan air laut dari Teluk Jakarta yang tiba-tiba menggila. Rob atau air laut pasang ini mulai menyerbu akhir Oktober 2007 dan langsung memberikan pukulan telak bagi warga ibukota khususnya di kawasan Jakarta Utara. Rob yang dibarengi curah hujan lebat ini merendam ribuan pemukiman warga, menghanyutkan puluhan rumah, merendam jalanan kota, serta memutuskan jaringan transportasi umum dan kereta api. Pada akhir November 2007, banjir sempat memutuskan jalur tol menuju bandara sehingga mengacaukan jadual penerbangan. Meskipun belum separah banjir Februari 2007 yang merenggut 55 jiwa dan memaksa seratusan ribu warga Jakarta mengungsi, banjir akhir tahun ini diprediksi meluas dan bisa menenggelamkan ibukota. Seburuk itukah? Mungkin tidak. Tetapi potensi ke arah sana bukannya tidak ada. Misalnya, fakta geografis sekitar 40 persen wilayah ibukota berada di bawah permukaan laut, perubahan iklim secara global yang memperngaruhi iklim tingkat regional, serta belum optimalnya infrastruktur penanggulangan banjir ibukota yang disiapkan pemerintah propinsi DKI. Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) contohnya, baru 70 persen pada tahap pembebasan lahan. Proyek yang menelan dana ratusan miliar ini diperkirakan baru siap pada 2009. Pertanyaannya, jika banjir besar dari laut datang awal 2008, siapkah kita? Menghadapi banjir tahunan saja kelabakan. Bagaimana jika gelombang laut pasang berskala besar menerjang Jakarta? BMG dan Perubahan Iklim Adalah Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pusat yang rajin mengeluarkan data perubahan iklim dan kemungkinan ancaman yang muncul. Dalam rilis menjelang akhir 2007, BMG menyebutkan potensi curah hujan yang tinggi, pergerakan awan dan angin, dan sejumlah titik rawan bahaya mulai dari ancaman banjir, angin kencang, longsor, dan badai, akan terjadi di sejumlah wilayah. Meskipun hanya disebut "ramalan", sudah cukup banyak wilayah yang merasakan ampuhnya peringatan BMG.Prediksi ancaman banjir di tanah air sudah dikeluarkan BMG sejak awal Oktober atau menjelang musim hujan 2007. Disebutkan perubahan iklim -salah satunya dampak dari pemanasan global- akan memunculkan ancaman di kawasan pesisir utara Pulau Jawa termasuk Jakarta. Saat Suara Publik tiba di tangan anda, sebagian Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara mungkin masih terendam rob, mugkin juga telah mengering. Tapi di Jawa Tengah dan Jawa Timur bencana air bah dan longsor sedang berlangsung merenggut puluhan nyawa dan merusak rumah warga. Sepanjang Desember ini, otoritas pelabuhan sejumlah kota membatalkan pelayaran dan melarang kapal nelayan melaut karena ancaman gelombang besar di perairan Jawa dan Sumatera. Ini membuat ratusan truk pengangkut menumpuk di jalur pelabuhan Merak- Bakaeuni akibat kapal ferry dilarang menyeberangi selat Sunda yang sedang menggila. Pada saat yang sama, pemerintah DKI bersama pengelola jalan tol dalam kota sibuk menyiapkan kendaraan angkut pengganti -seperti truk dan bis- untuk mengantisipasi luapan air laut yang bisa memutuskan jalur tol dari dalam kota menuju bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Ancaman banjir dan perubahan iklim jelas mengganggu aktivitas warga secara ekonomi, pendidikan, sosial serta keagamaan. Gema takbir Idul Adha tahun ini misalnya, terdengar parau karena ribuan warga di Jakarta Utara tidak bisa merayakan Hari Raya Kurban secara normal. Beruntung, hari Natal 25 Desember yang diperkirakan terjadi hujan lebat di ibukota, tidak sampai menimbulkan bencana serius. Meskipun begitu, cukup banyak warga yang merayakan natal di rumah karena akses jalanan di perumahan mereka terendam banjir. Keluh kesah wargapun terdengar disana-sini. Hampir setiap hari berita TV, radio dan surat kabar melaporkan kesulitan warga termasuk korban banjir di ibukota. "Boro-boro mikirin takbiran dan kurban. Yang ada kami disibukkan dengan urusan bongkar pindah barang, anak yang tidak bisa sekolah, suami yang tidak bisa dagang. Repot banget," tutur Ibu Warsih, warga RW 15 Kampung Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara kepada Suara Publik. Menurut warga, gelombang pasang mulai merendam kawasan Muara Baru sejak akhir Oktober 2007, belum ada yang tahu kapan berakhir. Siklus Bulan dan Penurunan Air Tanah Selain BMG, peringatan bencana banjir juga dilansir oleh Direktur Pemetaan Komponen Bencana, dari Proyek Penanganan Banjir Jakarta (JFP), Jan Jaap Brinkman, seperti dikutip Kompas (13/12). Brinkman menyebutkan gelombang laut pasang yang melanda Jakarta sejak 22 Desember pagi terus bertambah sampai dua hari berikutnya. Perkiraan masuknya gelombang pasang laut ini merupakan hasil pengamatan tim Brinkman terhadap ketinggian permukaan air laut di Pasar Ikan selama beberapa minggu. Menurut Brinkman, gelombang pasang di Jakarta Utara disebabkan oleh Siklus Bulan (lunar cycle) yang terjadi tiap 18,6 tahun sekali. Menurutnya, Ketinggian normal permukaan air laut di stasiun monitoring Pasar Ikan adalah 190 sentimeter. Namun saat gelombang pasang menerjang pesisir Jakarta 26 November lalu, ketinggian air mencapai 2,20 meter. "Jika gelombang pasang datang bersamaan dengan hujan lebat, sulit diprediksi apa yang akan terjadi di kawasan ini," ujar Brinkman. Peringatan lain dikemukakan pakar perubahan iklim dari Institus Teknologi Bandung (ITB) yang juga Ketua Program Studi Meteorologi ITB Dr. Armi Susandi. Mengutip Koran Tempo (27/12), Armi Susansi mengatakan potensi banjir besar di Jakarta hanya soal waktu. Perhitungan matematisnya cukup simpel. Tingkat curah hujan di kawasan Bogor dan Jakarta rata-rata sebesar 1600 meter kubik per detik. Seandainya Banjir Kanal Barat (yang sudah ada) dan Banjir Kanal Timur (dalam tahap pengerjaan) mampu menampung curah hujan sebesar masing-masing 300 meter per detik, masih ada sisa 1000 meter kubik per detik curah hujan yang tidak tertampung. Dalam kondisi tata lingkungan Jakarta yang amburadul, urusan menampung 1000 meter kubik curah hujan menjadi masalah pelik. Masifnya pembangunan gedung bertingkat berskala raksasa di kawasan Jakarta, serta eksploitasi air tanah yang tidak terkontrol, membuat permukaan tanah di Jakarta turun sebesar 0,80 sentimeter per tahun. Situasi ini diperparah dengan dampak pemanasan global dan siklus bulan yang menaikkan permukaan air laut sebesar 0,57 senti meter per tahun. Artinya potensi banjir di Jakarta setiap tahun cenderung meningkat, bukannya menurun. Ironisnya, belum tampak upaya sunguh-sungguh pemerintah propinsi DKI untuk memecahkan masalah ini. Pakar perubahan iklim dari ITB ini memperingatkan, jika simulasi naiknya permukaan air laut dan turunnya permukaan tanah di Jakarta ini diterapkan, 24 persen wilayah Jakarta akan terendam secara permanen pada 2050. Jika tidak ada perubahan dalam penanganan banjir, pada 2100 kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat diperkirakan terendam air. Warga Jakarta terutama di wilayah Utara dan warga bantaran kali tampaknya harus lebih siap dan waspada karena curah hujan tinggi dan gelombang pasang diramalkan akan kembali datang menjelang pergantian tahun 2007 sampai awal Februari 2008. Kepala Pusat Data dan Informasi BMG Tuwamin Mulyono mengatakan, "Jakarta hampir dipastikan kembali banjir, mengingat daya serap tanahnya sudah tidak mampu lagi menampung curah hujan". BMG juga melansir sejumlah titik rawan banjir di lima kawasan ibukota yang membutuhkan kesiapan penanganan banjir lebih baik. Respon Pemerintah Pemerintah propinsi DKI di bawah Gubernur baru Fauzi Bowo sejauh ini baru menunjukkan upaya reaktif-darurat seperti memasang pompa penyedot air di sejumlah titik rawan banjir, membangun tanggul darurat dari karung pasir, dan menyiapan posko pengungsian warga. Dalam catatan media, banyak posko banjir yang disponsori kelurahan atau kecamatan hanya bertahan 4-5 hari. Padahal penderitaan warga korban banjir di Muara Baru berlangsung sampai berminggu-minggu. Pada saat yang sama, fasilitas tanggul penahan air laut di sekitar Muara Baru Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara masih belum berfungsi normal. Tiga tanggul jebol dan satu drainase rusak, semuanya baru akan diperbaiki secara darurat dengan tumpukan karung pasir. Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Propinsi DKI, Irvan Artha mengatakan panjang tanggul yang harus diperbaiki mencapai 1,5 kilo meter dan drainase sekitar 500 sampai 600 meter. Untuk itu, dibutuhkan dana sekitar 265 milliar untuk perbaikan tanggul. "Saat ini kami belum melakukan perbaikan tanggul secara permanen. Tetapi baru melakukan upaya bersama warga untuk menahan air laut, seperti pemasangan bronjong batu kali dan barikade karung pasir di sekitar tanggul yang jebol," kata Irvan Artha. Pada saat yang sama, pemerintah Jakarta Utara baru akan memasang pompa air di sejumlah titik untuk mengurangi genangan air. Begitulah ancaman banjir di ibukota semakin nyata. Namun semua penanganannya masih bersifat darurat dan tambal sulam. Belum tampak upaya menyeluruh dari pemerintah propinsi DKI untuk menanggulangi. Semoga gubernur baru Fauzi Bowo tidak lagi berkilah banjir di Jakarta ini hanya fenomena alam dan siklus lima tahunan tetapi melakukan upaya yang lebih konkret. Semoga juga pemerintah Jakarta tidak menganggap "Belanda masih jauh", sehingga mempersilakan warga Jakarta menikmati saja banjir yang ada (MAZ/EM). Post Date : 31 Desember 2007 |