Atasi Krisis air , Butuh Biaya Besar

Sumber:Jawa Pos - 03 Agustus 2008
Kategori:Air Minum

PACITAN - Persoalan krisis air bersih yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Pacitan, mulai mendapat kajian serius dari pemkab. Paling tidak, ada tiga variabel penting terkait kasus yang selalu terjadi setiap musim kemarau itu. Yakni, mendeteksi air (sungai bawah tanah), mengangkat air (menyalurkan) dan perawatan jaringan air.

Seperti diungkapkan H.G. Sudibyo, Wakil Bupati (Wabup) Pacitan, kemarin (2/8). Mendeteksi keberadaan air di bawah tanah tidaklah mudah. Sebab, Pacitan (khususnya kawasan barat), merupakan daerah kars . Sehingga, struktur tanahnya tiadak bisa menyimpan air dalam jangka waktu tertentu.

Sebenarnya, ketersediaan air cukup banyak banyak. Hanya saja, keberadaan air sulit dideteksi. Persoalannya, air berada di dalam batu kars (sungai-sungai bawah tanah). Dan tentunya, untuk menemukan sumber air bukan pekerjaan mudah. Apalagi, biasanya, air tersebut berada dalam kedalaman sekitar 150-an meter di bawah tanah. "Pemerintah, LSM, maupun donatur luar negeri, sering melakukan pengeboran air sungai bawah tanah. Ada yang berhasil. Namun, tidak sedikit yang gagal," jelas H.G. Sudibyo.

Persoalan kedua yang tidak kalah sulitnya adalah mengangkat air sungai bawah tanah. Sebab, untuk menyedot air dari kedalaman ratusan meter, butuh genset dengan kapasitas cukup. Selain itu, juga harus menyediakan bak penampungan yang relatif besar, sebelum air dialirkan ke kunsumen.

Berdarkan hasil survei, ditemukan beberapa sungai bawah tanah dengan debit air yang besar. Namun, kondisinya tidak memungkinkan untuk dikelola. Seperti sungai bawah tanah di pantai Bluwih, Desa Candi, Kecamatan Pringkuku.

Begitu juga dengan keberadaan jaringan (pipanisasi) air, juga butuh anggaran yang tidak sedikit. Baik penambahan pipa air maupun perawatannya. Terlebih, geografis Pacitan terdiri dari perbukitan, dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi.

Karena itu, H.G. Sudibyo menandaskan, masalah air harus dilakukan secara bertahap dan mengandalkan anggaran APBN (Pusat) maupun donatur luar negeri. Terbukti, di Pacitan sudah berapa kali berganti bupati. Pun demikian, tetap tidak bisa mengatasi masalah air secara tuntas. Artinya, setiap tahun, kasus klasik itu selalu muncul. "Sedang pemkab hanya bisa mengatasinya dengan memberikan bantuan air secara bergilir. Sebab, jumlah armada tangki air juga terbatas," jelasnya.

Lebih lanjut, Sudibyo mengungkapkan, selama ini, perhatian pemerintah pusat terhadap persoalan air bersih di Pacitan relatif tinggi. Terbukti adanya proyek pipanisasi yang sudah menjangkau sebagian besar desa-desa di wilayah barat. Hanya saja, tidak semua fasilitas itu dapat berfungsi maksimal. Penyebabnya, pipanya bocor, atau mesin gensetnya rusak lantaran tidak ada biaya perawatan.

Realita itu harus dipahami semua pihak. Sehingga, masyarakat setempat juga harus ikut melakukan perawatan terhadap pipa jaringan air yang sudah ada. Misalnya, saat menebang pohon jangan sampai mengenai pipa dan sebagainya. Sebab, semua itu juga diperuntukkan bagi masyarakat sendiri.

Sementara, Iwan Setiawan, pemerhati lingkungan hidup setempat, menilai krisis air bukan hanya masalah klasik. Tetapi, juga sangat kompleks. Sebab, krisis air berhubungan dengan sumber air. Dan sumber air erat kaitannya dengan keseimbangan alam dan lingkungan.

Dijelaskan, dulu, tingkat krisis air tidak separah seperti saat ini. Sebab, masih banyak pohon-pohon besar di hutan-hutan. Dan biasanya, di bwah pohon besar selalu ditemukan sumber air. Namun, lantaran tuntutan ekonomi, pohon-pohon besar banyak yang ditebang. Akibatnya, sumber air pun menjadi kering. " Ada baiknya, semua pihak berintrospeksi," tandasnya. (wit) 



Post Date : 03 Agustus 2008