BENCANA banjir memaksa ribuan warga Ibukota DKI Jakarta mengungsi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nampaknya kewalahan mengendalikan amarah banjir yang menenggelamkan sejumlah kawasan di Jakarta. Pemerintah pusat diharap turun tangan. Di Kelurahan Cililitan, Jakarta Timur, sekitar 7.000 jiwa terpaksa mengungsi. Hujan deras yang mengguyur Jakarta sejak Selasa (15/1) sore lalu, menyebabkan sebagian rumah warga tergenang air. Ketinggian air di wilayah RW 07 Kelurahan Cililitan misalnya, mencapai 3,5 meter.
Sekretaris RW 07 Kelurahan Cililitan, Chairuddin yang ditemui Jurnal Nasional, di Posko Banjir, Rabu (16/1) mengatakan, warga mengungsi sejak banjir melanda dua hari lalu. Pihaknya bersama sejumlah relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Cililitan telah mengevakuasi warga ke sejumlah tenda darurat. Dapur umum didirikan dan didistribusikan ke posko darurat di Posko Kampus ABA."PMI (Palang Merah Indonesia) dan Dinas Sosial Kota Jakarta Timur juga telah memberikan bantuan berupa tenda dan logistik," kata Chairuddin.
Selain tingginya curah hujan, menurut Chairuddin, banjir terjadi akibat belum dibongkarnya Jembatan Kalibata. Akibatnya, aliran air sungai terhambat lantaran dipenuhi sampah sehingga meluap. Kepala Satuan Tugas (Satgas) Polisi Pamong Praja (Pol PP) Cililitan, Aris Cahyadi mengaku, kesulitan saat warga menolak dievakuasi. Proses evakuasi pun terhambat karena kurangnya perahu karet dan padatnya pemukiman dengan gang yang sempit. Akibatnya, Aris mengaku, kewalahan mengangkut tenda dan logistik untuk korban banjir. Pantauan di lapangan menunjukan, air masih menggenangi wilayah Cililitan sejak pagi kemarin.
Selain mengungsi ke tempat darurat, sebagian warga yang rumahnya bertingkat, terpaksa mengamankan diri dan mengangkut barang-barangnya di bagian atas rumahnya. Banjir di kawasan itu cukup parah. Ketinggian air hingga mencapai atap rumah warga.
Dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir mengenangi 39 kelurahan di Jakarta. Ketinggian banjir bervariasi dari 10 sentimeter hingga tiga meter. Di Kampung Melayu, Cawang, dan Bukit Duri, ketinggian air mencapai 2,5 meter. Banjir juga menerjang 367 RT di 131 RW. Sekitar 20.275 kepala keluarga (KK) yang jumlahnya mencapai 63.686 jiwa terendam banjir. Pengungsi mencapai 9.374 jiwa.
Di Jakarta Timur, jumlah pengungsi mencapai 4.311 jiwa. Para korban banjir berasal dari Kelurahan Kampung Melayu 2.257 jiwa. Mereka ditempatkan di Rumah Sakit Hermina, GOR Jakarta Timur, Masjid Attawabin, Mushola Awabin, Aula Sudinkes Jakarta Timur, dan Aula Masjid Ihttihadul Ikhwan. Sedangkan pengungsi lain tersebar di Bidara Cina (949 jiwa), Kramatjati (500 jiwa), dan Cililitan (605 jiwa).
Di Jakarta Selatan, pengungsi mencapai 2.127 jiwa yang tersebar di Bukit Duri (1.151 jiwa), Pejaten Timur (60 jiwa), Pondok Pinang (48 jiwa), Ulujami (150 jiwa), Pondok Labu (65 jiwa), Tanjung Barat (567 jiwa), dan Lenteng Agung (86 jiwa). Kemudian di Jakarta Barat, pengungsi mencapai 2.926 jiwa yang tersebar di Kedoya Selatan (24 jiwa), Wijaya Kusuma (510 jiwa), Kedaung Kaliangke (300 jiwa), dan Rawa Buaya (2.102 jiwa). Di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara tidak ada pengungsian.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, pihaknya bersama BPBD DKI Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Basarnas, TNI, Polri, dan unsur lainnya, telah memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena korban bencana. BNPB juga mengerahkan 150 personil Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Wilayah Barat untuk memberikan bantuan darurat di 16 posko banjir. “Hingga saat ini tercatat ada 2 orang meninggal yaitu 1 anak di Kel Tanjung Duren yang hanyut di sungai dan 1 orang di Kampung Melayu," jelas Sutopo, kemarin.
Aktivis Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung, Wanadri mengkritik penanganan korban banjir yang belum terkoordinasi dengan baik. "Sejumlah unsur seperti Dinas Sosial, Taruna Siaga Bencana, Satuan Polisi Pamong Praja dan warga masyarakat perlu disinergikan,‘ kata Wanadri kepada Jurnal Nasional, kemarin. Wanadri menambahkan, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah saat ini adalah pemberian bantuan kepada korban banjir. Setelah itu, pemerintah harus mempersiapkan program rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan rumah warga yang rusak akibat banjir.
Sementara Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menyambangi Wakil Presiden Boediono untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat. Menurut Jokowi, sapaannya, peran pemerintah pusat dalam mengatasi banjir di Jakarta sangat diperlukan, khususnya dalam mendorong pembangunan waduk di Ciawi, Jawa Barat. “(Pembangunan) Waduk Ciawi supaya bisa dipercepat karena di luar Jakarta, sehingga pemerintah pusat turun tangannya sangat diperlukan," kata Jokowi usai bertemu Boediono, di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (16/1). Menurut Jokowi, Wapres akan mengagendakan upaya percepatan pembangunan waduk tersebut.
Jokowi mengaku telah mensinergikan koordinasi antarinstitusi dalam menangani normalisasi Sungai Pesanggrahan. “Di Pesanggrahan, kami yang melakukan non teknisnya, pembebasan tanah, menyiapkan anggaran. Setelah siap, Kementerian Pekerjaan Umum masuk," katanya. Pihaknya juga akan melakukan normalisasi 10.000 sumur resapan setelah APBD DKI Jakarta disahkan. Jokowi yakin DPRD DKI Jakarta akan mengesahkan APBD dalam waktu dekat ini. “Rampung-rampung (APBD), nggak ada masalah," ujar mantan Walikota Solo ini.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Marwan Ja‘far menyentil cara Jokowi yang hanya blusukan dalam mengatasi banjir. Aksi ala Jokowi itu dianggapnya sekadar pencitraan saja. “Kalau masih blusukan pencitraan doang namanya," sindir Marwan di Jakarta, kemarin. Marwan mendesak Jokowi segera membuat kebijakan yang jelas dan melakukan cara yang sangat luar biasa. “Butuh terobosan yang sangat revolusioner. Tidak bisa cara begini (blusukan) saja," tegasnya.
Ketua DPR Marzuki Alie menawarkan ide pemindahan ibukota sebagai opsi realistis menyelesaikan banjir dan kemacetan Jakarta. Menurut dia, Jakarta tidak pernah bisa bebas banjir karena cara yang dilakukan hanya tambal sulam yang memakan biaya tak sedikit. "Ibukota harus dipindahkan terlebih dahulu, baru permasalahan Jakarta akan segera selesai secara bertahap," tegasnya kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Marzuki menyarankan lokasinya tidak perlu jauh dari Jakarta. Dia mencontohkan Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan yang dekat Kuala Lumpur di Malaysia. Menurut dia, pemerintah perlu membuat daerah baru yang tidak dimainkan calo, dengan cara menguruk pantai. "2.000 hektar bisa diuruk di sekitar Jakarta Utara, diurus oleh pemerintah langsung dengan membentuk Badan Otorita," tandasnya.
Pengamat kebijakan publik, Andrinof Chaniago menyatakan pemindahan ibukota merupakan opsi realistis mengatasi masalah Jakarta. Menurut dia, Jakarta tidak bisa berbenah jika masih menjadi pusat pemerintahan. "Tanpa dipindahkan, masalah Jakarta tidak akan diselesaikan. Bagaimana berbenah, jika kegiatan masih terus berlangsung. Ini harus jadi prioritas jangka panjang," jelasnya.
Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso berbeda pandangan. Politisi partai Golkar itu menilai, saat ini yang realistis adalah menata ibukota, bukan memindahkannya. "Saya lihat realitasnya sekarang ini lebih mungkin untuk menata ibukota daripada memindahkannya," tegasnya.
Sementara Ketua Departemen Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DPP Partai Demokrat, Didik Mukriyanto mengingatkan Jokowi jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan studi yang mendalam dalam menghadapi persoalan banjir. "Konsep untuk menangani banjir pada masa Foke (mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo) cukup komprehensif dan bisa dijadikan blue print oleh Pak Jokowi," ujar Didik ketika dihubungi wartawan, Rabu (16/1). Friederich Batari/M. Yamin Panca Setia/Heri Arland/Rhama Deny
Post Date : 17 Januari 2013
|