|
JAKARTA (Media): Tim Mitigasi Cuaca dan Bencana Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menilai kejadian banjir di DKI Jakarta disebabkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak tahu berapa kapasitas seluruh sungai yang masuk ke Jakarta dan berapa daya serap permukaan wilayah tersebut sehingga menimbulkan banyak genangan. Pendapat itu disampaikan Baginda Patar Sitorus, salah satu anggota Tim Mitigasi Cuaca kepada wartawan beberapa waktu lalu, di Jakarta. Untuk itu, lanjutnya, dalam mencegah banjir Pemprov DKI perlu menggunakan pendekatan teknologi. ''Selama ini masyarakat hanya disuruh membersihkan selokan yang mampet atau tidak membuang sampah sembarangan. Ini memang penting, tetapi mengapa setiap kali musim hujan selalu banjir?'' Lebih lanjut, Baginda menjelaskan yang dimaksud memakai pendekatan teknologi adalah bagaimana menghitung daya serap permukaan wilayah yang rawan banjir dan berapa kapasitas seluruh sungai yang masuk ke Jakarta. ''Demikian juga perlu diketahui berapa kapasitas saluran yang direncanakan agar tidak banjir. Semua itu bisa dihitung dan diukur. Di samping itu telah banyak teknologi yang menggunakan satelit untuk mengetahui prediksi curah hujan dan tinggi permukaan air muka,'' jelasnya. Bahkan, untuk mengetahui berapa air masuk dari hilir DKI, tambahnya, air pasang maupun buangan dari industri dan MCK (mandi, cuci, kakus) tidak pernah diketahui, karena tidak pernah dihitung. ''Syarat untuk tidak banjir adalah air masuk harus lebih kecil dari alir yang keluar dan berapa daya tampungnya. Bila semua telah dihitung, sebelum memasuki musim hujan, Pemda DKI sudah mengantipasi supaya tidak terjadi banjir.'' Menurut Baginda, berdasarkan perkiraan cuaca melalui satelit, diperkirakan 2006 akan terjadi badai el nino atau la nina, seperti halnya banjir besar 2002 lalu. ''Mestinya mulai sekarang harus sudah dipikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi banjir. Perlu perhitungan yang cermat, karena teknologi untuk menghitung ini sudah ada di Indonesia 20 tahun lalu.'' Perihal Pemprov DKI yang menolak teknologi mitigasi cuaca dan bencana alam ini disebabkan harganya yang mahal, Baginda menilai itu terlalu berlebihan. ''Biaya untuk teknologi ini tidak mahal apabila dibandingkan kerugian yang ditanggung masyarakat. Banjir besar 2002 lalu, misalnya, masyarakat menanggung kerugian Rp7,7 triliun. Sementara biaya teknologi ini sekitar Rp5 miliar karena harus sewa pesawat.'' Selanjutnya, Baginda mengemukakan, penelitian di 30 lokasi, yaitu terdiri dari dua kecamatan dan 12 kelurahan di Jakarta Timur, serta tiga kecamatan, dan 18 kelurahan di Jakarta Selatan menunjukkan, terjadinya banjir atau genangan lokal sudah dimulai sejak dari hulu. Ia menambahkan perhitungan yang diterapkan oleh TMC BPPT ini cukup mudah untuk mengetahui apakah daerah itu akan banjir atau tidak. Cara menghitungnya, kapasitas saluran pada tiap sub-DAS Sungai Citarum pada sistem aliran drainase kota dikalikan dengan besarnya debit puncak hasil analisis curah hujan pada periode ulang 5-10 tahun, maka akan menghasilkan suatu perbandingna debit hasil analisis. (Nda/V-1) Post Date : 02 Maret 2004 |